Agama Sebagai Pandangan Hidup
Oleh: Prof Dr Syamsul Anwar, MA
Agama dapat didefinisikan dari beberapa sudut pandang. Bisa dilihat dari sudut pandang agama sebagai fait objectif, yaitu sebagai kenyataan objektif yang berada di luar manusia, yakni sebagai petunjuk bagi manusia yang diturunkan dari Allah SwT. Ini dapat dilihat dalam putusan Tarjih, yang menegaskan, “Agama adalah apa yang disyariatkan Allah dengan perantaraan nabi-nabi-Nya, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan berupa petunjuk untuk kebaikan manusia di Dunia dan Akhirat.” (HPT).
Pada sisi lain agama juga dapat didefinisikan dengan melihatnya sebagai kondisi subjektif (etat subjektif) pada orang yang mengalaminya, mempraktikkannya, atau menghayatinya. Jadi agama dilihat sebagai sebuah pengalaman yang diinternalisasi dan sekaligus diekspresikan oleh penggantinya. Dalam pengertian ini agama dapat didefinisikan sebagai, “Pengalaman imaniah atas kehadiran ilahi yang termanifestasikan dalam amal shalih yang dijiwai dengan ihsan dan dikerangkakan oleh norma-norma tertentu.” Dalam agama Islam norma-norma tersebut adalah apa yang didefinisikan dalam definisi pertama berikut perluasannya melalui ijtihad.
Menurut pengertian ini agama itu merupakan sebuah pengalaman dalam diri manusia yang dicirikan oleh (1) adanya kesadaran, (2) bersifat mendalam, (3) melibatkan totalitas diri manusia, dan (4) mendesak, dalam artian mendorong untuk melakukan tindakan. Dengan kata lain manifestatif.
Jadi agama sebagai pengalaman itu bukan suatu kesadaran pasif belaka, melainkan suatu yang aktif dalam pengertian selalu terdorong keluar dan termanifestasikan dalam suatu perbuatan, yang dalam agama Islam disebut amal shalih.
Manifestasi pengalaman agama dalam wujud amal shalih itu dari segi cakupannya dapat mengambil tiga segi manifestasi: (1) manifestasi yang berwujud tindak berfikir (manifestasi intelektual), (2) manifestasi yang berwujud tindak berperilaku (manifestasi aksional) dan ini dapat berupa (a) perilaku dalam lingkungan diri pribadi dan (b) perilaku dalam lingkungan persekutuan (kolektif), dan (3) manifestasi tindak berekpresi kreatif (manifestasi ekspresional kreatif).
Dari segi bentuknya manifestasi pengalaman agama itu dapat dibedakan menjadi dalam dua pola (1) manifestasi pengalaman agama yang terpolakan secara ketat dan (2) manifestasi pengalaman agama yang tidak terpolakan secara ketat.
Pola manifestasi pengalaman agama itu ditentukan oleh norma-norma, berupa perintah-perintah, larangan-larangan, dan petunjuk-petunjuk yang diwahyukan Allah yang sering disebut syariah. Syariah adalah kumpulan norma-norma agama dalam Islam untuk memolakan manifestasi pengalaman agama tersebut agar ia terlembagakan secara benar. Norma-norma syariah sebagai koridor pemolaan manifestasi pengalaman agama diwahyukan oleh Allah. Akan tetapi norma-norma yang diwahyukan itu terbatas adanya, dan karena itu sering diperluas dengan menambah norma-norma subside melalui proses ijtihad (dan proses ijtihad ini merupakan manifestasi intelektual pengalaman agama).
Norma yang melarang pengembalian berlebih atas suatu pinjaman yang terjadi antara individu (yang disebut riba) diperluas melalui ijtihad ekonomi Islam kontemporer sehingga meliputi juga larangan pemberian bunga yang dipraktikkan oleh perbankan modern. Norma-norma pokok yang berasal dari wahyu disebut syariah, dan norma subside sebagai pendamping dan perluasan terhadap norma pokok disebut fikih. Antara keduanya tidak terpisahkan. Keduanya menjadi acuan yang memberi bentuk kepada manifestasi pengalaman agama baik intelektual, aksional maupun ekspresional.
Jadi struktur agama sebagai pengalaman mencakup tiga elemen: pertama, elemen substansi berupa kesadaran terhadap keberadaan, kehadiran dan keberhadapan dengan Allah; kedua, elemen manifestasi dalam wujud amal shalih baik secara intelektual, aksional, dan ekspresional-kreatif; dan ketiga, bentuk, yaitu berupa norma-norma pelembagaan manifestasi pengalaman agama.
Seperti disinggung terdahulu, manifestasi pengalaman agama ada yang terpolakan secara ketat di mana tidak boleh dilakukan penambahan atau pengubahan terhadap kaifiat, detail, dan bentuk-bentuk spesifiknya yang ditentukan.
Disarikan dari makalah pengajian Ramadhan 1445 H.
Sumber: Majalah SM Edisi 8/2024