Kemenangan Zohran Mamdani dan Harapan Baru
Oleh : Haidir Fitra Siagian, Dosen Komunikasi Politik Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar
Kemenangan seorang Muslim yang terpilih sebagai Wali Kota New York membawa gelombang euforia hingga ke berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia. Awalnya, saya sendiri belum begitu mengenal sosok Zohran Kwame Mamdani. Justru putri saya yang pertama kali menyebut namanya, setelah melihat beritanya viral di TikTok beberapa waktu lalu. Nama itu kemudian kembali saya dengar dari Imam Syamsi Ali, tokoh Muslim kelahiran Bulukumba, Indonesia di Amerika, yang menyebut Mamdani dalam beberapa pertemuan Pesantren Muhammadiyah/Aisyiyah yang kebetulan saya pandu pada Juni 2025.
Kemenangan Mamdani bukan sekadar berita politik biasa, justru ini adalah simbol perubahan sosial yang lebih luas. Saya melihat ini adalah salah satu bukti tanda keterbukaan masyarakat Amerika atau Barat terhadap keberagaman dan pengakuan terhadap peran Muslim dalam kehidupan publik. Euforia yang muncul di kalangan umat Islam, termasuk di Indonesia, bukan pula semata karena agamanya, tetapi karena ia membawa pesan keadilan sosial dan kepedulian terhadap rakyat kecil, sesuatu yang sejalan dengan ajaran Islam.
Dari penelurusan saya, diketahui bahwa Zohran Kwame Mamdani lahir di Kampala, Uganda, dan pindah ke Amerika Serikat saat berusia tujuh tahun. Menempuh pendidikan di Bronx High School of Science, setelahnya melanjutkan studi di Bowdoin College dengan jurusan Africana Studies. Sempat bekerja sebagai konselor perumahan di Queens, membantu warga berpenghasilan rendah menghadapi ancaman penggusuran. Rupanya pengalaman tersebut membentuk pandangan politiknya yang berakar pada keadilan sosial dan hak-hak masyarakat bawah. Mamdani menjadi warga negara Amerika pada 2018, dan kini mencatat sejarah sebagai Wali Kota Muslim pertama dan keturunan Asia Selatan pertama di New York.
Dari sisi komunikasi politik, kemenangan Mamdani menjadi contoh bagaimana strategi kampanye yang autentik dan empatik bisa memenangkan hati rakyat. Ia tidak tampil sebagai politisi elitis, melainkan sebagai bagian dari masyarakat yang memahami kesulitan hidup mereka. Pola yang hampir sama pernah diterapkan mantan Presiden Joko Widodo saat memimpin Indonesia.
Mamdani turun langsung ke komunitas, berdialog dengan warga, dan berbicara menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Strategi bottom-up communication yang ia terapkan menunjukkan bahwa komunikasi politik yang efektif bukan tentang retorika besar, tetapi tentang mendengarkan dan memberi ruang bagi suara rakyat.
Program unggulan Zohran Mamdani menjadi daya tarik utama dalam kampanyenya. Dua di antaranya yang paling banyak dibicarakan adalah bus kota gratis dan perluasan layanan penitipan anak umum. Program transportasi gratis dirancang untuk meringankan beban ekonomi warga serta membuka akses yang lebih luas terhadap pekerjaan dan pendidikan. Sementara layanan penitipan anak membantu keluarga pekerja, terutama para ibu, agar bisa bekerja tanpa terbebani biaya perawatan anak. Kedua kebijakan ini menunjukkan bahwa Mamdani tidak hanya berbicara soal keadilan sosial, tetapi berusaha menerapkannya dalam bentuk kebijakan nyata yang langsung dirasakan masyarakat.
Bus gratis memang sangat penting. Ketika saya tinggal di Australia selama empat tahun, beberapa pemerintah negara bagian juga menerapkan kebijakan serupa. Ada yang memberikan transportasi gratis sepenuhnya, ada pula yang hanya berlaku pada hari-hari tertentu. Di kota Wollongong, misalnya, bus gratis beroperasi dari pagi hingga malam di rute tertentu. Sementara di New South Wales, tiket gratis atau potongan harga sering diberlakukan pada hari-hari penting. Salah satu tujuannya adalah mendorong warga untuk lebih banyak beraktivitas bersama keluarga. Dengan semakin seringnya keluarga berwisata atau berekreasi, diharapkan hubungan mereka menjadi lebih harmonis, sehingga terhindar dari perceraian.
Kemenangan Mamdani juga berkat dukungan yang tidak ringan dari komunitas Muslim dan Asia Selatan. Dalam kampanyenya, ia aktif mendatangi masjid-masjid, berbicara langsung di hadapan jamaah, dan bahkan merilis iklan kampanye dalam bahasa Arab untuk menjangkau pemilih Muslim. Dukungan moral dan finansial dari komunitas ini menjadi modal penting dalam memperluas basis dukungan politiknya. Pendekatan Mamdani bukan sekadar memanfaatkan identitas agama atau etnis, tetapi menjadikannya jembatan untuk membangun solidaritas lintas komunitas imigran dan minoritas yang terasa kurang terwakili dalam politik Amerika.
Dalam hal ini, Imam Syamsi Ali, imam besar Jamaica Muslim Center di New York, berperan penting. Ia dikenal aktif mendorong umat Islam agar terlibat dalam politik secara positif. Menurutnya, partisipasi politik adalah bagian dari tanggung jawab sosial umat. Doa bersama yang digelar di komunitas Muslim New York menjelang hari pemilihan menjadi simbol bahwa umat Islam kini semakin sadar akan pentingnya mengambil peran dalam kehidupan publik.
Menariknya, Mamdani tidak menonjolkan simbol agama, tetapi nilai-nilai universal Islam seperti keadilan (adl) dan kepedulian sosial (rahmah), menjadikannya contoh politik identitas yang adil dan beradab. Ia menunjukkan bahwa politik identitas dapat dijalankan secara positif, bukan untuk membedakan, melainkan untuk memperluas ruang representasi. Dengan cara itu, ia mampu menarik dukungan dari berbagai latar belakang etnis dan agama, terutama mereka yang peduli pada isu-isu universal.
Euforia kemenangan Mamdani dirasakan oleh banyak umat Islam di seluruh dunia. Setelah dua dekade menghadapi stigma negatif pasca tragedi 9/11, terpilihnya seorang pemimpin Muslim di kota besar seperti New York menjadi simbol penerimaan dan kebangkitan citra Islam di Barat. Bagi generasi muda Muslim, kemenangan ini menjadi inspirasi bahwa politik identitas Islam bukanlah penghalang untuk berkontribusi dalam sistem demokrasi. Sebaliknya, nilai-nilai Islam seperti keadilan, kepedulian, dan kesetaraan dapat diterjemahkan ke dalam kebijakan publik yang modern dan inklusif.
Namun, perjalanan Mamdani tentu tidak mudah. Ia akan menghadapi tantangan besar untuk mewujudkan janji-janji kampanyenya. Walaubagaimanapun, kemenangan Zohran Mamdani telah memberi harapan baru bagi wajah politik modern. Ia membuktikan bahwa politik bisa dijalankan dengan ketulusan, keberpihakan pada rakyat, dan komunikasi yang terbuka. Kemenangannya bukan hanya milik komunitas Muslim, tetapi kemenangan nilai-nilai kemanusiaan yang universal.*


