Stunting Ideologi Kader Muhammadiyah: Refleksi Tantangan di Era Digital
Oleh: dr. Rifan Eka Putra Nasution, Sekretaris PCM Aek Kanopan, Kab. Labuhanbatu Utara Sumatera Utara
Stunting dalam dunia kesehatan adalah masalah gizi kronis yang menyebabkan pertumbuhan fisik anak-anak terhambat. Mereka tidak tumbuh sesuai dengan potensi maksimalnya. Namun, ketika dalam konteks ideologi Muhammadiyah, maka istilah stunting ideologi dapat bermakna terhambatnya pertumbuhan spiritual, intelektual, dan karakter kader dalam menyerap dan menerapkan nilai-nilai ideologi Muhammadiyah.
Istilah stunting ideologi diungkapkan oleh Dr. Bachtiar Dwi Kurniawan, S.Fil.I., M.P.A., Ketua Majelis Pembinaan Kader dan Sumber Daya Insani (MPKSDI) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, saat beliau memberikan materi dalam Pelatihan Instruktur Tingkat Wilayah Muhammadiyah Sumatera Utara di Hotel Madani, Medan pada 5 September 2024. Beliau berpandangan bahwa stunting ideologi menjadi gambaran nyata tantangan yang dihadapi Muhammadiyah dalam mempertahankan relevansi kaderisasi yang berkualitas terutama di era digital.
Perserikatan Muhammadiyah, sebagai organisasi Islam terbesar tentu memiliki misi besar dalam membangun umat yang cerdas, peduli, dan memiliki integritas moral. Oleh sebab itu, Kaderisasi adalah motor penggerak utama perserikatan. Namun, dalam perjalanannya, Muhammadiyah menghadapi tantangan serius dalam mempertahankan kualitas kader. Banyak kader Muhammadiyah yang tidak berkembang sesuai harapan. Mereka tertinggal dalam memahami dan mengamalkan ideologi Muhammadiyah.
Fenomena ini tidak hanya mempengaruhi individu kader, tetapi juga mengganggu kelangsungan organisasi secara keseluruhan. Berapa banyak ranting dan cabang Muhammadiyah mengalami kesulitan dalam menentukan pimpinan dan unsur pembantu pimpinan? Hal ini menunjukkan bahwa regenerasi kepemimpinan di berbagai tingkatan mengalami stagnasi. Kader yang seharusnya siap memimpin dan melanjutkan perjuangan Muhammadiyah sering kali tidak memiliki kapasitas ideologis dan kemampuan kepemimpinan yang memadai. Krisis kepemimpinan di tingkat akar rumput ini menandakan bahwa Muhammadiyah sedang menghadapi tantangan serius dalam upaya membentuk kader-kader yang berkualitas.
Lebih jauh lagi, kader yang mengalami stunting ideologi berpotensi membawa dampak buruk bagi organisasi. Beberapa oknum bahkan menjadikan Muhammadiyah sebagai alat untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu. Bila hal tersebut terjadi tentu akan berisiko merusak integritas organisasi. Muhammadiyah, yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan atas dasar kepentingan mengatasi isu sosial keumatan dan komitmen untuk memberikan kontribusi positif bagi masyarakat, dapat tergelincir menjadi milik segelintir orang yang memanfaatkan nama besar Perserikatan Muhammadiyah untuk keuntungan pribadi.
Ada beberapa faktor utama yang menyebabkan fenomena stunting ideologi ini terjadi. Pertama adalah kesenjangan antara teori dan praktik dalam proses kaderisasi. Banyak kader Muhammadiyah yang mungkin memiliki pemahaman dasar tentang ideologi Muhammadiyah, tetapi pengetahuan tersebut sering kali hanya berhenti pada tataran teori. Sekadar mengikuti pengkaderan Baitul Arqam, lulus, dan mendapat sertifikat kelulusan tanpa kesempatan atau dorongan untuk mengaplikasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan nyata.
Kedua, kurangnya pembinaan kader yang berkelanjutan hingga tingkat Cabang dan Ranting. Pembinaan kader yang hanya bersifat seremonial dan tidak diikuti dengan program jangka panjang menyebabkan kader-kader Muhammadiyah tidak mendapatkan dukungan yang memadai untuk terus mengembangkan kemampuan dan wawasan mereka. Padahal, pembinaan seharusnya menjadi proses yang terus menerus dan sistematis, memastikan bahwa setiap kader mendapatkan bimbingan yang tepat dalam setiap fase perkembangan organisasinya.
Selain itu, kurangnya figur teladan yang dapat dijadikan panutan juga menjadi penyebab lain dari stunting ideologi. Kader-kader muda Muhammadiyah sering kali membutuhkan sosok yang bisa menjadi inspirasi dalam menjalankan kehidupan berlandaskan nilai-nilai organisasi. Faktor lain yang turut memperparah kondisi ini adalah pengaruh budaya modern di era digital yang cenderung materialistis dan hedonistis. Kader muda Muhammadiyah yang hidup dalam era digital dan globalisasi sering kali terpengaruh oleh gaya hidup yang bertolak belakang dengan nilai-nilai keislaman dan ke-Muhammadiyah-an.
Untuk mengatasi fenomena stunting ideologi, Muhammadiyah perlu mengambil langkah strategis. Pertama, proses pembinaan kader harus lebih menekankan pada aspek praktik dan pengamalan. Kader-kader Muhammadiyah harus diajak terlibat aktif dalam kegiatan sosial, pendidikan, dan dakwah yang memungkinkan mereka untuk menerapkan nilai-nilai Muhammadiyah secara langsung. Dengan demikian, ideologi Muhammadiyah tidak hanya menjadi teori di kepala mereka, tetapi juga menjadi pedoman hidup yang nyata. Kedua, pembinaan kader harus dilakukan secara berkelanjutan hingga tingkat akar rumput. Muhammadiyah perlu memastikan bahwa program kaderisasi bersifat jangka panjang dan terus menerus. Selain itu, peran teladan dari pemimpin Muhammadiyah sangat penting. Para pemimpin Muhammadiyah di setiap jenjang harus menjadi contoh nyata bagaimana nilai-nilai Muhammadiyah diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Akhirnya, Fenomena stunting ideologi dalam kader Muhammadiyah adalah masalah serius yang harus segera ditangani. Jika dibiarkan, hal ini tidak hanya akan menghambat pertumbuhan kader secara individu, tetapi juga mengancam keberlanjutan organisasi dalam jangka panjang. Dengan pembinaan yang lebih terstruktur, konsisten, dan berfokus pada praktik nyata seperti yang saat ini diprogramkan oleh MPKSDI Pusat, Muhammadiyah dapat mengatasi tantangan ini dan kembali mencetak kader-kader yang siap memimpin organisasi dalam mewujudkan visi besar Muhammadiyah untuk membangun masyarakat Islam yang berkemajuan.