Kemudahan dan Kesempurnaan Agama Islam
Oleh: Drs. Seneng Waluyo, M.H.I.,MM., Warga Muhammadiyah tinggal di Getasan, Kab. Semarang
Agama Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada umat manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir. Islam tidak hanya mengajarkan tata cara ibadah yang benar, tetapi juga memberikan panduan hidup yang lengkap dan menyeluruh. Salah satu aspek yang menjadi ciri khas agama Islam adalah kemudahan dan kesempurnaan yang terkandung dalam ajarannya.
Secara keseluruhan, Islam adalah agama yang menawarkan kemudahan dan kesempurnaan dalam segala aspek kehidupan. Islam tidak menuntut umatnya untuk melakukan hal-hal yang berat atau memberatkan, tetapi memberikan kelonggaran dan jalan keluar bagi setiap kesulitan yang dihadapi. Begitu juga dengan kesempurnaan yang terkandung dalam ajaran Islam, yang mencakup segala aspek kehidupan, baik itu dalam hubungan dengan Allah, dengan sesama manusia, maupun dengan alam sekitar.
Islam sangat memahami kondisi manusia dan memberikan kemudahan dalam menjalankan ibadah. Salah satu contoh kemudahan yang ditawarkan adalah dalam hal kewajiban shalat. Meskipun shalat lima waktu merupakan kewajiban utama bagi setiap Muslim, Islam memberikan kelonggaran bagi mereka yang menghadapi kesulitan, seperti bepergian jauh atau sakit. Misalnya, bagi musafir atau orang yang sedang dalam perjalanan jauh, boleh untuk menggabungkan dan mengqasar shalatnya. Selain itu, bagi yang sakit, mereka dibolehkan untuk melaksanakan shalat dengan cara yang lebih mudah, seperti dengan duduk atau bahkan berbaring, sesuai kemampuan.
Dan apabila kamu bepergian di bumi, maka tidaklah berdosa kamu meng-qasar shalat, jika kamu takut diserang orang kafir. Sesungguhnya orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu. (An-Nisa' [4]: 101)
Aisyah radhiallahu 'anha menceritakan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah menggabungkan dan mengqasar shalat ketika sedang bepergian. Dalam riwayatnya, Aisyah mengatakan: "Nabi SAW menggabungkan antara shalat Zuhur dan Ashar, serta Maghrib dan Isya' ketika dalam perjalanan, tanpa khawatir, tanpa hujan, dan tanpa alasan lainnya." (HR. Muslim)
Islam juga mengatur tentang kewajiban zakat, yang merupakan salah satu pilar utama dalam agama ini. Zakat diwajibkan hanya bagi mereka yang mampu, yaitu yang memiliki harta lebih dari nisab (batas minimal yang ditetapkan). Bagi orang yang tidak memiliki harta yang cukup, mereka tidak diwajibkan untuk membayar zakat. Bahkan, zakat pun dapat diberikan dalam bentuk barang atau bantuan kepada yang membutuhkan, sehingga lebih fleksibel dan mudah dilaksanakan sesuai dengan kondisi individu.
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (At-Taubah [9]: 60)
Dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Nabi SaW mengutus Muadz r.a. ke Yaman, kemudian beliau bersabda: "Ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dn bahwa aku adalah utusan Allah. Apabila mereka mau menuruti ajakanmu itu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah SWT mewajibkan mereka sholat lima kali sehari semalam. Apabila mereka telah menaatinya, maka beritahukan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan mereka zakat yang dipungut dari orang-orang kaya di antara mereka, dan diberikan kepada orang-orang yang miskin di antara mereka." (HR Bukhari dan Muslim).
Zakat merupakan kewajiban bagi Muslim yang mampu, yang harus disalurkan kepada mereka yang membutuhkan, seperti fakir miskin, orang terlilit utang, atau musafir. Sedekah dan wakaf juga berfungsi sebagai instrumen untuk mendistribusikan kekayaan secara lebih merata di masyarakat. Dengan adanya kewajiban ini, akumulasi kekayaan di tangan segelintir orang dapat diminimalkan.
Dalam aspek kehidupan sehari-hari, Islam memberikan aturan yang sederhana mengenai makanan dan minuman. Makanan yang halal dan thayyib (baik) sangat ditekankan dalam ajaran Islam. Namun, Islam tidak membuat aturan yang rumit atau menyusahkan umatnya dalam mencari makanan yang halal. Sebagai contoh, makanan yang berasal dari hewan yang disembelih dengan cara yang sesuai dengan syariat Islam (halal) diperbolehkan. Jika seseorang berada dalam situasi yang sulit dan tidak dapat menemukan makanan halal (darurat), maka Islam memberikan kelonggaran untuk mengkonsumsi makanan yang tersedia, selama tidak membahayakan kesehatan dan keselamatan jiwa.
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, (Al-Baqarah [2]: 173)
Contoh dari keadaan darurat ini ialah tidak adanya makanan lain atau jika makanan haram tersebut tidak dimakan, maka akan berdampak bahaya pada orang tersebut seperti kematian. Padahal, mereka tidak ingin memakannya, hal itu semata-mata dilakukan untuk menyelamatkan nyawa mereka.
Selain pengecualian di atas, memakan makanan yang diharamkan hukumnya haram dan dilarang keras. Menurut jumhur ulama, makanan yang haram dimakan juga haram untuk diperjualbelikan karena najis.
Islam juga mengajarkan bahwa setiap individu adalah saudara satu sama lain, dan hubungan antar sesama manusia harus dibangun dengan dasar saling menghormati, tolong-menolong, dan menjaga kedamaian. Islam sangat menekankan pada konsep persaudaraan yang universal tanpa memandang ras, suku, atau latar belakang. Dalam berinteraksi dengan sesama, Islam juga memberikan pedoman untuk menjaga adab, seperti berbicara dengan kata-kata yang baik, tidak berbohong, dan selalu berusaha mendamaikan jika terjadi perselisihan. Semua ini memberikan kemudahan bagi umat Islam untuk hidup berdampingan secara harmonis.
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa -bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Al-Hujurat [49]: 13).
Tidak kurang dari 1.072 suku-suku derivative besar dan kecil yang berkembang di Indonesia. Dari segi bahasa , terdapat ratusan bahasa yang digunakan diseluruh wilyah Indonesia , yang tersebar kedalam beribu-ribu pulau yang dihuni oleh masyarakat Indonesia dari sabang sampai merauke. Begitupun dari segi agama terdapat sejumlah agama besar dunia dan sejumlah sistem kepercayaan lokal yang tersebar di seluruh pelosok tanah air dengan networking nya masing-masing baik di dalam maupun di luar negeri. Kesemua itu memerlukan adanya suatu sistem yang dapat menjamin koeksistensi atau kerjasama dalam kemajemukan.
Dalam kontek seperti ini, 14 abad yang lalu Islam telah memberikan petunjuk kepada kita seperti yang dapat kita baca dalam Al-Quran surat Al-Hujurat ayat 13 diatas. Untuk mewujudkan kebersamaan dalam keragaman khususnya dalam kontek kehidupan berbangsa dan bernegara sekurang-kurangnya terdapat dua perfektif besar petunjuk Al-Quran yang mesti kita amalkan dalam mewarnai kehidupan bersama dalam keragaman yaitu ; Pertama; mengamalkan prinsif as-syu’ub, yaitu menerima eksistensi dan perbedaan suku bangsa lain sebagai anugerah rahmad dari Allah swt. Kedua; nahdhariyah al-nahdha, yaitu menerima eksistensi kemanusiaan. Bahwa manusia merupakan ciptaan Allah swt yang memiliki kesamaan hak satu sama lain.
Dengan adanya kebersamaan tercipta peluang atau kesempatan untuk mengekspresikan diri , hidup berdampingan , dan bekerjasama antar berbagai kelompok masyarakat. Hal ini tentunya sejalan pula dengan petunjuk Al-Quran untuk ber-taawun ( tolong menolong ) saling bekerja sama dalam membangun kebaikan.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. ( Qs.Al-Maidah : 2 ).
Dari ayat tersebut, terdapat pelajaran bahwa substansi kehidupan ini adalah untuk kebersamaan yang akan kita persembahkan secara peribadi kepada Allah swt. Substansi itu tidak lain adalah pola hidup Qur’ani yang dibangun atas dasar keragaman. Inilah ciri masyarakat Qurani, yaitu masyarakat yang mampu mengendalikan diri untuk kebersamaan dalam membentuk budaya dan peradaban yang berazaskan demokrasi. Masyarakat yang dibangun diatas prinsif gotong royong untuk kebajikan, sehingga sikap menghargai Hak Azasi Manusia akan tumbuh dan berkembang dengan baik. Disamping itu energi keragaman akan melahirkan tegaknya keadilan dan hukum, terwujudnya nilai budaya dan etos, kebersamaan, kesedrajatan, penghargaan atas keyakinan, kesempatan berprestasi, penghindaran tindak kekerasan fisik dan keyakinan, rasa aman dengan identitas dan sebagainya.
Islam memberikan panduan yang sangat lengkap bagi umatnya, baik dalam urusan ibadah, sosial, ekonomi, maupun urusan pribadi. Tidak ada aspek kehidupan yang terlewat dari perhatian Islam. Mulai dari cara beribadah yang benar, hingga cara mengelola keluarga dan negara, semuanya sudah diatur dalam ajaran Islam. Misalnya, dalam hal muamalah (hubungan antar sesama manusia), Islam mengajarkan prinsip keadilan, transparansi, dan saling memberi hak. Islam juga mengatur cara berbisnis, jual beli, dan keuangan yang tidak hanya menguntungkan satu pihak, tetapi juga adil bagi semua pihak yang terlibat.
Sistem keluarga dalam Islam juga dianggap sempurna karena memberikan hak dan kewajiban yang jelas bagi setiap anggotanya. Dalam Islam, suami dan istri memiliki peran yang saling melengkapi dan tidak saling mendominasi. Seorang suami memiliki kewajiban untuk memberikan nafkah dan perlindungan bagi keluarga, sementara istri memiliki kewajiban untuk menjaga rumah tangga dan mendidik anak-anak. Namun, keduanya juga diberikan hak-hak yang adil dan seimbang, termasuk hak untuk saling menghormati, mendukung, dan berbagi tugas dalam rumah tangga.
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (At-Tahrim [66]: 6)
Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula seorang ayah (men-derita) karena anaknya. Ahli waris pun (berkewajiban) seperti itu pula. Apa-bila keduanya ingin menyapih dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (Al-Baqarah [2]: 233)
Islam juga memberikan pedoman yang jelas tentang bagaimana sebuah masyarakat seharusnya dibangun. Masyarakat Islam ideal adalah masyarakat yang didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan, persamaan, dan kesejahteraan. Salah satu contoh penerapan prinsip keadilan dalam Islam adalah pembagian harta warisan, yang diatur secara rinci dalam Al-Qur'an. Selain itu, Islam juga mengajarkan pentingnya pemerintahan yang adil dan amanah, di mana pemimpin bertanggung jawab untuk menjaga kesejahteraan rakyatnya.
Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat. (An-Nisa' [4]: 58)
Sistem ekonomi Islam adalah sistem yang mengutamakan keadilan sosial, transparansi, dan pembagian kekayaan yang merata. Dalam Islam, ada larangan terhadap praktik riba (bunga), yang dianggap merugikan pihak yang lemah. Islam menganjurkan transaksi yang saling menguntungkan, dengan prinsip saling menghormati dan berkomitmen untuk tidak merugikan pihak lain. Zakat, sebagai bagian dari sistem ekonomi Islam, adalah salah satu contoh bagaimana Islam menjaga keseimbangan antara kekayaan dan kepedulian terhadap sesama. Dengan sistem ini, kekayaan dapat tersebar merata dan tidak hanya terkonsentrasi pada segelintir orang saja.
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allâh dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allâh dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (al-Baqarah [2]: 278-279)
Dari ‘Auf bin Malik, dia berkata: Rasulullah SaW bersabda, “Jauhilah dosa-dosa yang tidak terampuni: ghulul (mengambil harta rampasan perang sebelum dibagi; khianat; korupsi). Barangsiapa melakukan ghulul terhadap sesuatu barang, dia akan membawanya pada hari kiamat. Dan pemakan riba. Barangsiapa memakan riba akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan gila, berjalan sempoyongan.” Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca, “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila” (al-Baqarah/2:275). (HR. Thabrani)
Riba dalam sistem ekonomi konvensional seringkali menjadi penyebab terjadinya eksploitasi terhadap masyarakat miskin dan memperkaya kelompok tertentu. Sistem ekonomi Islam melarang riba, sehingga menciptakan mekanisme yang lebih adil dalam transaksi keuangan. Dalam sistem ekonomi Islam, konsep bagi hasil (mudharabah dan musyarakah) menjadi alternatif bagi sistem pinjaman berbunga. Hal ini memungkinkan pihak yang memiliki modal dan pihak yang memiliki keahlian untuk berbagi risiko dan keuntungan secara proporsional.
Intinya ekonomi Islam bertujuan menciptakan keadilan sosial dan mendorong pembangunan ekonomi yang inklusif. Hal ini memastikan bahwa manfaat dari kemajuan ekonomi dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya segelintir orang yang memiliki akses atau kekuatan ekonomi lebih besar.
Harta rampasan (fai') dari mereka yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (yang berasal) dari penduduk beberapa negeri, adalah untuk Allah, Rasul, kerabat (Rasul), anak-anak yatim, orang-orang miskin dan untuk orang-orang yang dalam perjalanan, agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya. (Al-Hasyr [59]: 7)
Aspek spiritual dalam Islam juga sangat diperhatikan. Ibadah dalam Islam tidak hanya terbatas pada ritual seperti shalat, tetapi juga mencakup setiap tindakan baik yang dilakukan oleh umat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan niat yang ikhlas karena Allah SWT, baik itu bekerja, belajar, maupun berbuat baik kepada orang lain, dianggap sebagai ibadah. Oleh karena itu, kehidupan seorang Muslim dapat dipenuhi dengan keberkahan karena setiap aktivitasnya bisa bernilai ibadah jika dilakukan dengan niat yang benar.
Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya. [Yunus [10]: 26]
Kemudahan dan kesempurnaan yang ada dalam agama Islam bukan hanya sekadar teori atau ajaran, tetapi juga praktik yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi umat Islam, mengikuti ajaran agama ini berarti menjalani hidup yang penuh berkah, adil, damai, dan seimbang. Dengan memahami dan menerapkan ajaran Islam secara menyeluruh, setiap individu akan merasakan kemudahan dan kesempurnaan yang ditawarkan agama ini, baik di dunia maupun di akhirat.
Ajaran Islam yang penuh dengan kasih sayang dan keadilan menjadikannya agama yang sesuai dengan fitrah manusia. Islam tidak hanya mengajarkan bagaimana cara beribadah, tetapi juga bagaimana cara hidup yang harmonis dengan sesama, menjaga kesejahteraan sosial, dan mencapai kebahagiaan sejati. Dengan begitu, Islam adalah agama yang tidak hanya sempurna dari segi ajaran, tetapi juga mudah diterima dan diterapkan dalam kehidupan manusia yang penuh dengan dinamika ini.