Kontroversi Yesus dalam Zealot Karya Reza Aslan
Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Buku Zealot: The Life and Times of Jesus of Nazareth (2013) karya Reza Aslan telah menjadi sorotan sejak kemunculannya yang kontroversial di Fox News. Penulis Muslim yang mengupas tokoh sentral agama Kristen ini menuai banyak pertanyaan tentang kredibilitasnya. Namun, kontroversi tersebut justru melambungkan popularitas buku ini, menjadikannya salah satu buku terlaris di Amazon.com dan New York Times.
Apa yang membuat karya Aslan begitu menarik? Apakah analisis sejarahnya akurat? Bagaimana tanggapan dari para ahli Alkitab, umat Kristen, dan Muslim? Setelah membaca buku ini, saya menemukan daya tariknya yang unik. Berbeda dari banyak buku ilmiah lainnya, Zealot memadukan ketelitian akademis dengan gaya penulisan yang memikat, layaknya sebuah novel yang menegangkan. Aslan berhasil menyajikan kesimpulan-kesimpulan ilmiah tentang kehidupan Yesus dengan bahasa yang mudah dipahami oleh pembaca awam.
Buku ini menawarkan perspektif segar tentang Yesus, tidak hanya sebagai tokoh religius, tetapi juga sebagai seorang manusia yang hidup dalam konteks sosial dan politik yang kompleks. Aslan menggali lebih dalam tentang latar belakang sejarah dan budaya Yesus, serta motivasi di balik tindakan-tindakannya.
Aslan menggambarkan Yesus sebagai seorang "zelot", sebuah istilah yang seringkali kita asosiasikan dengan fanatisme atau bahkan ekstremisme. Namun, Aslan menggunakan istilah ini dalam konteks sejarah yang lebih luas. Pada masa Yesus, banyak individu yang mengklaim diri sebagai Mesias atau menyerukan perlawanan terhadap penjajahan Romawi, dan mereka dikenal sebagai "zelot". Aslan berargumen bahwa Yesus juga termasuk dalam kelompok ini, memperjuangkan pembebasan bangsanya dari penindasan Romawi.
Ini mungkin bertentangan dengan gambaran Yesus yang sering kita kenal sebagai sosok yang cinta damai dan menolak kekerasan. Namun, Aslan menunjukkan bahwa Perjanjian Baru sendiri mencatat adanya kelompok-kelompok "zelot" yang berjuang untuk menegakkan kerajaan Allah di bumi. Pertanyaannya kemudian, bagaimana kita menyelaraskan dua gambaran Yesus yang tampaknya kontradiktif ini? Apakah Yesus seorang revolusioner yang berjuang untuk kemerdekaan politik, atau seorang pembawa pesan spiritual yang mengajarkan cinta kasih dan pengampunan?
Aslan berpendapat bahwa Injil, sumber utama informasi tentang Yesus, ditulis beberapa dekade setelah kematiannya. Injil Markus, yang paling awal, ditulis sekitar tahun 70 M, empat dekade setelah Yesus wafat. Sementara itu, Injil Matius, Lukas, dan Yohanes ditulis bahkan lebih lama lagi. Dalam rentang waktu tersebut, terjadi peristiwa besar yang mengubah lanskap Yudaisme: penghancuran Yerusalem oleh Romawi. Umat Yahudi yang selamat harus beradaptasi dengan tekanan penjajahan Romawi. Mereka berusaha menampilkan agama mereka sebagai sesuatu yang tidak bertentangan dengan kekuasaan Romawi.
Umat Kristen awal, yang merupakan salah satu sekte dalam Yudaisme, juga merasakan tekanan ini. Mereka percaya bahwa Yesus adalah Mesias, namun mereka tetaplah orang Yahudi yang hidup di bawah kekuasaan Romawi. Dalam situasi seperti ini, para penulis Injil, seperti Markus, harus berhati-hati dalam menggambarkan Yesus. Mereka ingin menunjukkan bahwa Yesus bukanlah ancaman bagi Romawi, sehingga mereka cenderung menekankan sisi Yesus yang cinta damai dan menghindari gambarannya sebagai seorang revolusioner. Dengan demikian, citra Yesus yang kita kenal sekarang, menurut Aslan, sebagian besar dibentuk oleh konteks sejarah dan politik pada masa penulisan Injil.
Apakah citra Yesus yang kita kenal sekarang berbeda dengan sosok aslinya? Menurut Aslan, jawabannya adalah ya. Citra Yesus telah mengalami evolusi selama bertahun-tahun, dipengaruhi oleh komunitas Kristen yang menghasilkan tulisan-tulisan tentangnya. Ini menimbulkan pertanyaan menarik: apakah Yesus di masa lalu memiliki kemiripan dengan Nabi Muhammad yang kita kenal saat ini? Muhammad adalah seorang reformis politik yang berusaha membangun sebuah negara atau pemerintahan Islam.
Namun, menjawab pertanyaan ini tidaklah sederhana. Agenda Nabi Muhammad sendiri adalah topik yang kompleks dan multi-interpretasi. Dalam pandangan saya, seperti yang pernah saya jelaskan sebelumnya, Al-Qur`an menggambarkan Nabi Muhammad sebagai seorang nabi, sama seperti nabi-nabi sebelumnya. Al-Quran tidak menggambarkan Yesus sebagai seorang revolusioner, begitu pula dengan nabi-nabi lainnya. Hanya beberapa nabi dalam Al-Qur`an yang secara eksplisit memimpin sebuah negara, seperti Musa, Daud, dan Sulaiman. Bahkan Abraham, yang dalam Alkitab digambarkan pernah berperang, tidak digambarkan demikian dalam Al-Quran. Jadi, meskipun ada kemiripan antara konteks sosial-politik yang dihadapi Yesus dan Nabi Muhammad, peran mereka sebagai pemimpin agama dan utusan Tuhan tetap menjadi fokus utama dalam narasi kitab suci masing-masing.
Apakah buku Reza Aslan memberikan gambaran yang tidak akurat tentang Yesus? Pandangan Aslan tentang Yesus sejalan dengan konsensus di kalangan ahli sejarah. Injil, sebagai sumber utama informasi tentang Yesus, sebenarnya berisi berbagai lapisan interpretasi dari berbagai penulis dan tradisi lisan yang berbeda. Masing-masing penulis Injil memiliki agenda dan harapan tertentu, sehingga mereka memilih dan menyusun cerita-cerita yang sesuai dengan tujuan mereka.
Ini menciptakan tantangan besar bagi para ahli yang berusaha merekonstruksi sosok Yesus yang sebenarnya. Mereka harus mengupas lapisan-lapisan interpretasi ini, seperti mengupas bawang, untuk menemukan inti kebenaran di baliknya. Namun, proses ini tidaklah mudah. Seringkali, gambaran Yesus yang dihasilkan oleh para ahli lebih merupakan refleksi dari pandangan dan asumsi mereka sendiri, karena fakta-fakta tentang Yesus yang tersedia sangat terbatas. Pemilihan fakta-fakta tersebut, yang digunakan untuk membangun narasi tentang Yesus, tak lepas dari bias dan orientasi sang ahli.
Dengan demikian, Zealot menawarkan satu perspektif dalam upaya memahami sosok Yesus yang kompleks dan multi-faceted. Meskipun tidak mungkin mencapai gambaran yang sepenuhnya objektif, buku ini memberikan kontribusi berharga dalam membuka diskusi tentang siapa Yesus sebenarnya dan bagaimana konteks sejarah dan politik mempengaruhi cara kita memahaminya.
Apakah penggambaran Yesus dalam Zealot dipengaruhi oleh bias pribadi Reza Aslan? Meskipun tak dapat dipungkiri bahwa setiap penulis memiliki perspektif dan harapan tertentu, saya berpendapat bahwa dalam kasus ini, Aslan telah berupaya menyajikan gambaran Yesus yang sejalan dengan konsensus ilmiah. Menariknya, dalam wawancara Fox News, Aslan justru dipertanyakan tentang kredibilitasnya sebagai seorang Muslim yang menulis tentang Yesus. Namun, ia dengan tegas menyatakan bahwa keislamannya tidak mempengaruhi analisis sejarahnya.
Memang, buku ini tidak mencerminkan pandangan Islam tradisional tentang Yesus. Sebagai contoh, Aslan menganggap kisah kelahiran Yesus dari seorang perawan sebagai mitos, sementara umat Islam meyakininya sebagai mukjizat. Begitu pula dengan penyaliban Yesus, yang bertentangan dengan narasi Al-Qur`an.
Namun, apakah ini berarti gambaran Yesus dalam Zealot semata-mata merupakan proyeksi harapan pribadi Aslan? Saya pikir tidak. Pandangan Aslan tentang Yesus sebagai seorang "zelot" yang terlibat dalam perjuangan politik melawan Romawi sebenarnya didukung oleh banyak ahli, terlepas dari latar belakang agama mereka. Pandangan ini didasarkan pada fakta historis yang kuat, yaitu penyaliban Yesus oleh pemerintah Romawi dengan tuduhan penghasutan. Dengan demikian, meskipun tidak sepenuhnya bebas dari bias, Zealot tetap merupakan karya yang berharga karena menghadirkan perspektif ilmiah yang kuat tentang Yesus, terlepas dari afiliasi agama penulisnya.