Keniscayaan Menepati Janji Pernikahan

Publish

3 February 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
499
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Keniscayaan Menepati Janji Pernikahan

Oleh: Ahsan Jamet Hamidi, PRM Legoso

Minggu lalu, saya menghadiri pernikahan keponakan laki-laki yang mempersunting kekasihnya di Lampung. Saya terkesan dengan prosesi pernikahan yang—menurut saya—unik namun penuh keharuan. Tanpa terasa, air mata saya keluar saat seorang ayah calon pengantin perempuan meminta keteguhan komitmen dan janji calon pengantin pria, yaitu keponakan saya.

Ketika semua orang yang terlibat dalam prosesi akad nikah sudah duduk di tempatnya dan sang penghulu siap untuk memulai prosesi, tiba-tiba ayah calon pengantin perempuan meminta mikrofon dari tangan penghulu.

Permintaan mikrofon itu membuat puluhan orang yang hadir terdiam sejenak. Mungkin mereka terkejut, sekaligus bertanya-tanya tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Dalam keheningan itu, sang ayah memulai pernyataannya dengan ekspresi yang sangat serius, bahkan sedikit tegang. Ucapannya tersusun dengan runtut, apik, dan diucapkan dengan diksi yang jelas serta artikulasi yang tegas. Tangannya sedikit gemetar saat menggenggam mikrofon, lalu dengan tarikan napas berat, dia menyampaikan pesan seriusnya kepada calon pengantin pria:

"Sebelum saya menikahkan kamu dengan anak perempuan saya, bersediakah kamu berjanji untuk menjaga tiga syarat yang akan saya berikan? Jika tidak, maka lebih baik pernikahan ini dibatalkan.

Pertama, jika kalian menghadapi masalah rumah tangga, jangan sekali-kali memukul atau menyakiti anak perempuan saya. Saya akan merasakan sakitnya sepuluh kali lipat jika anak perempuan saya disakiti.

Kedua, jika suatu saat kamu sudah tidak lagi mencintai anak perempuan saya, berjanji-lah untuk mengembalikannya kepada saya dan ibunya. Karena saya dan ibunya adalah orang pertama yang paling mencintainya.

Ketiga, jika kalian menghadapi masalah rumah tangga, maukah kalian berdua menyelesaikannya dengan cara musyawarah baik-baik? Berjanji-lah untuk datang kepada kedua orang tua untuk membicarakan semuanya dengan cara musyawarah."

"Apakah kamu sanggup memegang janji terhadap syarat-syarat ini?" tanyanya.

"Saya sanggup memegang janji itu!" jawab calon pengantin pria.

Jawaban tegas calon pengantin pria itu disambut dengan jabat tangan erat antara calon menantu dan mertua, lalu dimulailah proses akad nikah dengan lancar.

Selama puluhan kali saya mengikuti prosesi akad nikah, baru kali ini bulu kuduk saya merinding dan air mata saya keluar tanpa bisa dibendung. Peristiwa itu sungguh mengharukan. Mungkin suatu saat saya akan meniru praktik baik itu.

Dua Kesia-siaan

Dalam hajatan itu, saya didaulat untuk memberi sambutan atas nama keluarga laki-laki. Terus terang, saya merasa skeptis. Biasanya, omongan para pemberi sambutan dalam acara seperti ini sering diabaikan. Para tamu yang hadir dalam hajatan pernikahan itu akan sibuk dan larut dalam perbincangan dengan teman dan kerabat yang lama tidak bertemu. Saya memaklumi, karena hajatan pernikahan itu sekaligus menjadi momen reuni. Tanpa berniat menyempurnakan kesia-siaan, saya akhirnya hanya mengenalkan latar belakang keluarga calon pengantin laki-laki, tanpa nasihat.

Kesia-siaan lainnya adalah pernyataan janji yang lebih sering dibaca oleh pengantin pria usai akad nikah. Poin-poin janji yang dibaca itu sangat umum, dibuat oleh petugas pernikahan, sehingga tidak terasa sebagai sebuah janji pernikahan yang suci dan harus ditepati. Proses pengucapan janji itu juga terasa sebagai ritual biasa-biasa saja dan hambar, karena proses ijab kabul yang dianggap sakral itu sudah selesai. Menurut saya, mengucapkan janji pernikahan adalah sama sakralnya dengan ijab kabul.

Janji yang biasanya diucapkan oleh pengantin laki-laki terasa seperti janji para pejabat atau kepala daerah yang harus mengikuti rangkaian pembacaan janji dalam sebuah upacara pelantikan. Janji yang seharusnya sakral tetapi menjadi sekadar syarat yang harus dipenuhi dalam sebuah upacara pelantikan. Pengucapan sumpahnya jauh dari sebuah pengucapan janji yang sejatinya memiliki makna sangat dalam. Oleh sebab itu, orang bisa memaklumi ketika semua janji yang diucapkan oleh orang yang dilantik akhirnya diabaikan, meskipun isinya sangat berat dan selalu mengatasnamakan Allah.

Begitulah praktik pembacaan sumpah jabatan atau janji pernikahan. Perkara yang seharusnya keramat, sarat tanggung jawab, dan harus ditepati, telah berubah menjadi sekadar formalitas untuk memenuhi standar sebuah upacara pernikahan atau pelantikan. Saya bersyukur, dalam prosesi akad nikah kali ini, ucapan janji itu diteguhkan di awal, sehingga marwah janji yang suci itu bukan basa-basi, tetapi harus ditepati nanti.

Usai akad nikah berlangsung, saya mendatangi keponakan, pengantin laki-laki. Saya memeluknya lalu membisikkan pesan di telinganya, "Semoga kamu selalu memiliki niat kuat untuk merawat dan menepati janji pernikahanmu."

Saya memberi pesan kepada pasangan ini, bahwa salah satu syarat untuk bisa menjalani pernikahan dengan bahagia adalah dengan menepati janji.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Pesan Kemanusiaan Zakat Fitrah Oleh: Dr. Irwandi Nashir, Dosen UIN Bukittinggi / Ketua PD Muha....

Suara Muhammadiyah

19 March 2025

Wawasan

Pesan Kakek untuk Sang Presiden  Oleh: Ahsan Jamet Hamidi, Wakil Sekretaris LPCRPM Pimpinan Pu....

Suara Muhammadiyah

22 November 2024

Wawasan

Puasa Ramadhan Momentum Merawat Hati dan Menata Pikiran Oleh: Dwi Kurniadi/Kader IMM Pondok Shabran....

Suara Muhammadiyah

10 March 2025

Wawasan

Menelaah Gerakan Ilmu dalam Gerakan Islam Berkemajuan  Oleh: Sutopo Ibnoris, PC IMM AR Fakhrud....

Suara Muhammadiyah

8 May 2024

Wawasan

Anak Saleh (27) Oleh: Mohammad Fakhrudin "Anak saleh bukan barang instan. Dia diperoleh melalui pr....

Suara Muhammadiyah

23 January 2025

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah