KUPANG, Suara Muhammadiyah - Kiai Dahlan, selain telah mempelopori gerak langkah dan legacy bagi Persyarikatan, beliau juga mengajarkan teologi yang luar biasa dinamis dan progresif. Mulai dari QS. Ali Imran ayat 104 dan 110, QS. Al-Ashr hingga QS. Al-Maun yang menjadi inspirasi dengan semangat melampaui zaman. Hal ini ia sampaikan dalam pidato iftitah Tanwir Muhammadiyah yang berlangsung Rabu malam, 4 Desember 2024.
QS. Ali Imran ayat 104, berbicara tentang segolongan umat terpilih. Dari situ muncul tafsir terkait pentingnya berorganisasi, dan kemudian lahirlah Muhammadiyah. Ada ayat 110 yang mengulas tentang cita-cita dari umat terbaik yang diterjemahkan Muhammadiyah sebagai masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Di antara ciri masyarakat Islam yang sebenar-benarnya menurut Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir tertuang di dalam QS. Al-Baqarah ayat 103, yaitu menjadi umat tengahan yang bersaksi atas manusia.
“Pada tahun 1968, ketika Muktamar Muhammadiyah ke-37 di Yogyakarta. Di situ “masyarakat Islam yang sebenar-benarnya diberi pemaknaan resmi, bahwa yang dimaksud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya itu memiliki 10 ciri keutamaan,” tegasnya.
10 ciri tersebut di antaranya bertuhan, beragama, bersaudara, berhukum syar’i, berkesejahteraan, tertib, berkepemimpinan, berkemajuan dan lain sebagainya. Sehingga 10 ciri dari masyarakat Islam yang sebenar-benarnya ini menjadi parameter bagi warga Muhammadiyah yang perlu untuk terus diinternalisasikan menjadi amal nyata.
“Kesimpulannya, ayat-ayat Al-Qur’an yang diajarkan Kiai Dahlan memang tidak banyak, tapi inspirasinya (dari ayat-ayat yang diajarkan) sangat luar biasa,” ujar Haedar saat menyampaikan pidato iftitah agenda Tanwir Muhammadiyah di Kupang Nusa Tenggara Timur (NTT).
Berbeda dengan era Kiai Dahlan, menurutnya Muhammadiyah saat ini berada di tengah dinamika kehidupan yang jauh lebih kompleks. Dalam konteks ini, Haedar menekankan beberapa hal penting. Pertama, terkait dinamika persyarikatan Muhammadiyah. Rentang waktu 112 tahun merupakan sesuatu yang patut untuk disyukuri. Kemajuan Muhammadiyah dengan seluruh komponennya menjadi tonggak sejarah yang membanggakan.
Terkait agenda-agenda persyarikatan ke depan, ia menyoroti perlunya Muhammadiyah melakukan dinamisasi, rekonstruksi, revitalisasi, hingga transformasi.
Dinamika ini juga menyangkut masalah keanggotaan Muhammadiyah. Dalam hal ini Haedar menilai bahwa sejatinya jumlah keanggotaan Muhammadiyah lebih besar dari temuan lembaga survei. Ia pun mendorong seluruh amal usaha untuk menciptakan relasi positif dengan masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat secara luas merasa menjadi bagian dari Muhammadiyah. “Jika itu tidak terjadi, berarti ada masalah,” ujarnya.
Haedar pun mempertanyakan, bagaimana agar Muhammadiyah bisa berada di segmen sosial yang penting dalam piramida kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ada pun dinamika persyarikatan yang lain adalah terkait dengan diaspora kader, dimana secara kuantitas, persebaran kader Muhammadiyah mulai mengalami peningkatan dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya. Peningkatan ini merupakan implikasi dari kepemimpinan Muhammadiyah di era Buya Syafii Maarif dan Din Syamsuddin, dimana Muhammadiyah menjadi tenda besar bangsa.
“Hal ini memerlukan rekontruksi pemikiran kita untuk lebih inklusif,” tegas Haedar. (diko)