Ketika Ateis dan Mantan Ekstremis Berdialog tentang Islam

Publish

20 January 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
73
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Ketika Ateis dan Mantan Ekstremis Berdialog tentang Islam

Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Saya menemukan buku yang menarik untuk dibahas, yaitu Islam and the Future of Tolerance (2015). Buku ini merupakan dialog antara dua penulis: seorang ateis ternama dan seorang mantan ekstremis. Maajid Nawaz, salah satu penulisnya, juga menulis buku Radical (2012) yang menceritakan perjalanan hidupnya menuju radikalisme dan kemudian kembali ke Islam moderat. Di buku ini, ia menunjukkan pemahamannya tentang radikalisasi dan dampaknya bagi Islam serta toleransi.

Buku ini menyerupai debat dalam bentuk dialog yang saling berbalas argumen. Sayangnya, tidak dijelaskan bagaimana dialog ini disusun. Apakah mereka bertemu langsung dan dialognya direkam, atau berkorespondensi melalui email, atau mungkin melalui platform daring? Yang jelas, buku ini terasa seperti dialog yang mengalir dengan lancar.

Meskipun format penulisannya tidak dijelaskan, hal itu bukanlah masalah besar. Buku ini tetap enak dibaca karena penyajiannya bergantian antara kedua penulis. Intinya adalah Maajid Nawaz berdialog dengan Sam Harris. Di akhir dialog, Sam Harris menantang Maajid dengan mengatakan bahwa pandangan Maajid tentang Islam yang toleran terkesan dibuat-buat dan bertentangan dengan kenyataan bahwa Islam pada dasarnya adalah agama yang penuh kekerasan dan intoleransi. Hal ini memicu perdebatan di mana Maajid dengan gigih membela Islam sebagai agama yang cinta damai dan toleran.

Dalam buku ini, Maajid lebih banyak menanggapi argumen Sam Harris. Sam Harris hanya melontarkan kritik, komentar, dan pertanyaan, terkadang dengan nada sinis. Maajid membalasnya dengan pembelaan yang kuat. Sayangnya, Maajid tidak mempertanyakan balik pandangan ateis Sam Harris. Padahal, seharusnya kedua belah pihak saling menguji argumen masing-masing. Jika fondasi ateisme lemah, hal itu perlu diungkap. Misalnya, apa dasar moralitas dalam ateisme jika agama ditiadakan? Sam Harris sendiri menulis buku yang menyatakan bahwa kehendak bebas itu tidak ada, sebuah pandangan yang patut dipertanyakan.

Di buku ini, Sam Harris menyerang Islam dan Maajid membelanya. Meskipun terkesan menyerang, sebenarnya Sam Harris hanya mempertanyakan dan terkadang menyindir. Maajid tidak meladeni sindiran tersebut dan fokus pada fakta bahwa ada banyak kelompok dalam komunitas Muslim global. Ada kelompok Islamis yang ingin memaksakan pandangannya pada orang lain, ada jihadis yang menggunakan kekerasan untuk tujuan Islamis, dan ada ekstremis. Maajid menjelaskan bahwa ekstremisme adalah masalah yang lebih luas dan dapat memicu Islamisme dan jihadisme.

Dalam menganalisis Islam, Maajid Nawaz mengajukan sebuah perspektif yang menarik dan menyegarkan. Ia menyamakan Islam dengan sebuah "kanvas kosong", sebuah entitas yang tidak secara bawaan cenderung pada perdamaian atau kekerasan. Dengan kata lain, esensi Islam tidak terpaku pada satu sifat tunggal, melainkan dibentuk dan diwarnai oleh tindakan dan interpretasi dari para penganutnya sendiri.

Seperti halnya sebuah kanvas yang menanti sentuhan kuas seniman, Islam menawarkan fleksibilitas dalam penafsiran dan pengamalannya. Sebagaimana pepatah "kecantikan ada di mata yang melihatnya", pemahaman dan penghayatan terhadap Islam dapat beragam dan berbeda-beda bagi setiap individu. Ada yang melihat Islam sebagai agama yang penuh kedamaian dan toleransi, namun ada pula yang menafsirkannya sebagai agama yang keras dan kaku. 

Meskipun mengakui adanya keragaman interpretasi tersebut, Maajid dengan tegas menyatakan bahwa mayoritas umat Muslim memahami dan mengamalkan Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai perdamaian, kesetaraan, dan keadilan. Pandangan ini menegaskan bahwa Islam, pada hakikatnya, adalah agama yang rahmatan lil 'alamin, rahmat bagi seluruh alam.

Lebih lanjut, ia menunjukkan bahwa Al-Qur'an dan teks-teks klasik Islam sarat akan pesan-pesan perdamaian. Menariknya, Maajid menyoroti dinamika internal dunia jihadis, di mana al-Qaeda, yang dikenal keras, justru menentang ISIS karena kekejamannya yang melampaui batas. Perpecahan ini menunjukkan bahwa tafsir tentang kekerasan pun bervariasi di kalangan jihadis.

Islam and the Future of Tolerance bukanlah sekadar buku yang menyajikan dialog antara dua individu dengan pandangan yang berbeda. Lebih dari itu, buku ini menawarkan sesuatu yang jauh lebih berharga, yaitu sebuah model ideal tentang bagaimana seharusnya sebuah perdebatan dilakukan. Di tengah maraknya perdebatan yang seringkali diwarnai oleh pertukaran argumen yang keras dan emosional, buku ini tampil sebagai oase yang menyejukkan. 

Maajid Nawaz, melalui gaya berdialognya yang menyegarkan, menunjukkan kepada kita bahwa perbedaan pendapat bukanlah alasan untuk saling menyerang dan merendahkan. Ia mampu menyampaikan argumennya dengan tegas, berani, dan penuh keyakinan, namun tanpa meninggalkan kesantunan dan rasa hormat terhadap lawan bicaranya. Sikap Maajid ini, yang oleh para pengulas dianggap memberikan warna baru dalam diskursus Islam dan toleransi, sejatinya merupakan cerminan dari akhlak mulia yang seharusnya dimiliki oleh setiap individu, terutama ketika berhadapan dengan mereka yang berbeda keyakinan.

Dalam konteks dialog lintas keyakinan, sikap yang ditunjukkan oleh Maajid menjadi semakin relevan dan penting. Di tengah meningkatnya polarisasi dan intoleransi di berbagai belahan dunia, buku ini menawarkan sebuah panduan berharga tentang bagaimana caranya berinteraksi dan berkomunikasi secara efektif dengan mereka yang berbeda keyakinan. Dengan meneladani gaya Maajid, kita dapat menciptakan ruang dialog yang kondusif, di mana perbedaan pendapat dihormati dan dihargai, serta menghindari perdebatan yang tidak produktif dan merugikan.

Bayangkan sebuah perdebatan yang bukan hanya tajam dan cerdas, tetapi juga menyegarkan karena disampaikan dengan penuh kesantunan. Itulah yang ditawarkan oleh buku ini. Tak heran jika banyak pembaca yang terkesima dengan gaya Maajid Nawaz dalam berdialog. Salah satu pengulas bahkan menyebutnya sebagai angin segar di tengah perdebatan yang seringkali diwarnai oleh emosi dan saling serang. 

Maajid, dengan kemampuannya berargumentasi yang kuat namun tetap santun, menunjukkan bahwa perbedaan pendapat bukanlah halangan untuk berdialog secara beradab. Ia membuktikan bahwa seorang Muslim dapat menyampaikan pandangannya dengan tegas tanpa harus mengorbankan etika dan rasa hormat. Buku ini seolah menjadi oasis di tengah gurun perdebatan yang gersang, mengingatkan kita akan pentingnya menjaga kesantunan dalam menyampaikan argumen, sekalipun berhadapan dengan pihak yang berseberangan.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Berita

MALANG, Suara Muhammadiyah – Malam itu, tiga dosen UMM mendapat anugerah academik leader pada ....

Suara Muhammadiyah

6 September 2024

Berita

BANDUNG, Suara Muhammadiyah — Komisi Pemilihan Umum Mahasiswa (KPUM) dan Badan Pengawas Pemili....

Suara Muhammadiyah

12 July 2024

Berita

JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr H Abdul Mu&r....

Suara Muhammadiyah

30 May 2024

Berita

JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Dalam rangka memperingati Hari Santri Nasional, Lembaga Pengemba....

Suara Muhammadiyah

8 November 2023

Berita

MAKASSAR, Suara Muhammadiyah - Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar mengadakan sosialisasi me....

Suara Muhammadiyah

28 December 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah