KH Azhar Basyir: Benteng Maksiat, Merangkul Melintas Generasi
Oleh: Babay Parid Wazdi, Kader Muhammadiyah & Aktifis IPM 1988 sd 1991
Beberapa waktu lalu, seorang teman bercerita bahwa ia gagal menemuiku karena satpam kantor tidak mengizinkan masuk. Cerita sederhana itu menampar perasaanku. Aku teringat pada masa lalu, pada sebuah rumah, tidak jauh dari Kantor PP Muhamamdiyah di Yogyakarta, rumah KH. Azhar Basyir, rumah yang pintunya selalu terbuka, bahkan untuk seorang anak SMA yang datang dengan sepeda tua.
Kenangan itu membawa aku kembali ke awal tahun 1990-an. Saat itu aku baru kehilangan ayah. Sebagai anak yatim, pikiranku sering ruwet, hatiku sering kosong. Dalam kegalauan itu, aku mendengar nama besar KH. Azhar Basyir yang baru saja terpilih jadi Ketua Umum Muhamamdiyah. Beliau dikenal sederhana dan bersahaja, bukan hanya dalam ucapan, tapi dalam kehidupan nyata.
Suatu sore, sepulang dari sekolah, ku kayuh sepeda tuaku dari Jln. Kapas Semaki menuju Jln. KH Ahmad Dahlan, sebelum toko roti yang wangi dekat Kantor PP Muhamamdiyah aku belok kanan menju rumah beliau. Dengan masih berseragam abu-abu putih, aku memberanikan diri mendatangi rumah KH. Azhar Basyir. Tujuanku sederhana: ingin meminta beliau mengisi pengajian di SMA Muhammadiyah II. Aku belum mengenalnya secara pribadi, tapi entah kenapa, langkah kakiku begitu ringan, seolah ada dorongan batin.
Saat itu yang membuka pintu adalah Ibu Maria, istri beliau. “Pak Kiai belum ada, Nak. Datang saja lagi setelah Isya,” katanya lembut. Aku mengangguk, pamit, lalu pulang mengayuh sepeda tuaku. Seusai Magrib, aku kembali ke rumah itu. Dan akhirnya, bisa berbincang langsung dengan KH. Azhar Basyir — tokoh besar yang kala itu menjabat Ketua Umum PP Muhammadiyah.
Pertemuanku dengan keluarga KH Azhar Basyir tidak terjadi sekali dua kali. Aku beberapa kali ke rumah beliau kadang pintu dibukakan oleh Ibu Maria, kadang oleh Mbak Evi, putri beliau yang kuliah di Fakultas Psikologi UGM.
Bayangkan, seorang anak SMA, yatim, miskin, datang hanya untuk “curhat” tentang masa depan yang tak pasti. Namun beliau menerimaku dengan wajah teduh dan mata yang penuh kasih. Tidak ada sedikit pun raut terganggu atau lelah. Bahkan obrolanku yang remeh temeh didengarkan dengan sabar, seolah aku ini tamu penting.
Dari perjumpaan itu, aku menyaksikan keteladanan yang nyata. Keluarga KH. Azhar Basyir bukan hanya berilmu, tapi berjiwa lapang. Wajah mereka seirama — ramah, teduh, ikhlas. Tak ada sekat antara ulama besar dan anak muda kecil. Aku baru menyadari kemudian: keteduhan itu lahir karena mereka satu visi, satu ruh, satu keikhlasan dalam mengabdi kepada Allah.
Tiga puluh tahun berlalu, tapi wajah-wajah itu masih terekam jelas di ingatanku. Dari sana aku belajar arti kearifan yang sesungguhnya. Bahwa kebesaran seseorang tidak diukur dari jabatan atau gelar, melainkan dari sejauh mana ia membuat orang lain merasa diterima.
Pengalaman sederhana itu ternyata membentuk karakterku sepanjang hidup. Dalam perjalanan karierku kemudian, aku berusaha menjaga diri agar tetap terbuka pada siapa pun. Aku tidak ingin menjadi pejabat yang sulit dijangkau, atau pemimpin yang membuat orang takut mendekat. Aku belajar dari rumah KH. Azhar Basyir: pintu rumah yang terbuka adalah cerminan hati yang lapang.
Dalam rumah tangga, aku juga berusaha meneladani keteduhan itu. Aku berusaha menjaga kenyamanan anak-anak dan istri, tidak kasar, tidak mendua, apalagi selingkuh , tidak berlebihan dalam gaya hidup. Ketika ada jadwal olahraga golf bersama rekan kerja, aku sering berpamitan dan kadang mengajak istri ikut. Di lapangan pun aku menjaga pandangan dan perilaku — tidak mencatat nomor telepon caddy, tidak menggoda, tidak bermain-main di luar niat olahraga. Aku sadar, kesetiaan dan kesederhanaan adalah pondasi rumah tangga yang tenang.
Begitu pula dalam pekerjaan. Relasi kerja dengan sekretaris dan staf didasarkan murni pada profesionalisme. Tidak ada ruang untuk hal-hal yang bisa mencederai amanah. Aku yakin, menjaga diri dari maksiat bukan sekadar kewajiban moral, tapi juga bentuk syukur atas kepercayaan yang diberikan Allah.
Keteladanan KH. Azhar Basyir dan keluarganya telah menjadi benteng moral bagiku. Aku belajar bahwa kemuliaan bukan datang dari harta atau kekuasaan, melainkan dari kesanggupan menahan diri. Dari beliau aku paham, seorang pemimpin sejati tidak pernah membeda-bedakan kelas sosial; ia memuliakan siapa pun yang datang dengan niat baik.
Tokoh-tokoh Muhammadiyah pasca-kemerdekaan banyak yang meneladani hal serupa: hidup sederhana, setia pada satu pasangan, tidak tergoda kemewahan. Bukan berarti menolak poligami, tetapi memilih monogami sebagai wujud kesyukuran atas apa yang telah diberikan Allah. Aku melihat kesetiaan dan kesederhanaan itu sebagai cara menjaga diri dari kerakusan, dari cinta dunia yang sering menjerumuskan banyak orang. Kerakusan dan cinta dunia adalah bibit utama dari korupsi.
Kini, ketika aku sedang menjalani ujian hidup di tempat yang terbatas ini, kenangan itu menjadi pelipur dan penguat. Aku berdoa, semoga amal kebaikanku — menahan diri dari godaan dunia, menjaga keluarga, tidak tergoda oleh maksiat dan kemewahan — menjadi wasilah bagi kebebasanku dari segala fitnah, tuntutan, dan dakwaan.
Aku percaya, Allah Maha Melihat. Ia tahu niat dan perjuangan hamba-Nya. Jika KH. Azhar Basyir telah mengajariku arti kesederhanaan dan keterbukaan, maka hari ini aku ingin meneladani beliau dengan cara lain: tetap teduh, sabar, dan lapang dalam menghadapi cobaan. Karena pada akhirnya, seperti yang sering diucapkan beliau dulu, “Hidup ini bukan soal status atau jabatan, tapi sejauh mana kita memberi manfaat dan ketenangan bagi orang lain.”
Semoga dari balik tembok ini, aku tetap bisa menebar keteduhan, yang pernah kuterima di rumah itu — rumah yang pintunya selalu terbuka, tempat di mana seorang anak yatim pernah diterima dengan kasih dan keikhlasan.
(Salemba, 25 Oktober 2025)
Note: Penulis pernah menjabat Direktur Bank DKI (2018 sd 2022) dan Direktur Utama Bank Sumut (2023 sd 2025). Esay ini merupakan Manisfesto tulisan tangan ayah saya yg berjudul Tawasul Sang Burung Pipit. (The Bright Way to Freedom and Faith). Saya ketik dan edit ulang untuk redaksi SM. Salam, AHMAD RAIHAN HAKIM (Alumni SMA Muhammadiyah 3 Jakarta tahun 2018)


