Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Dalam lanskap pemahaman teks-teks suci, seringkali terdapat lapisan makna yang tersembunyi, menunggu untuk diungkap melalui analisis mendalam dan refleksi kritis. Kisah Nabi Luth (Lot), sebagaimana diceritakan dalam Al-Qur`an, adalah salah satu contoh klasik yang memerlukan peninjauan ulang yang cermat, terutama dalam konteks Surah Al-A'raf (7:80). Ayat ini berbunyi:
"Dan (ingatlah kisah) Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya, 'Mengapa kamu melakukan perbuatan keji yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun di dunia ini sebelum kamu?'"
Sekilas, terjemahan ini mungkin tampak lugas, namun ada nuansa linguistik dan teologis yang mengubah pemahaman kita secara fundamental.
Pusat dari perbedaan tafsir ini terletak pada pemahaman kata "sabaq" dalam bahasa Arab. Secara harfiah, "sabaq" bisa diartikan dalam dua cara penting: "mendahului" atau "mengungguli." Mayoritas terjemahan cenderung memilih makna "mendahului," sehingga menyiratkan bahwa kaum Nabi Luth adalah yang pertama kali dalam sejarah manusia yang mempraktikkan perbuatan keji yang mereka lakukan. Implikasi dari tafsir ini adalah bahwa mereka adalah inovator atau pencetus perilaku tersebut.
Klaim kaum Luth sebagai "yang pertama" secara historis tidak konsisten dengan bukti-bukti yang tersedia. Dari sudut pandang antropologis dan sejarah sosial, berbagai bentuk perilaku seksual yang menyimpang dari norma-norma umum telah dicatat di berbagai budaya sepanjang sejarah peradaban manusia. Bahkan, studi-studi ilmiah modern menunjukkan bahwa perilaku non-heteroseksual dapat diamati pada berbagai spesies di alam, termasuk primata, menunjukkan bahwa fenomena ini bukanlah "inovasi" manusia yang tiba-tiba muncul di zaman Nabi Luth.
Sejumlah ulama condong pada terjemahan "mengungguli" yang digunakan oleh Abdul Halim: "tidak ada yang mengungguli kamu dalam hal ini." Pemahaman ini mengubah fokus dari "siapa yang pertama kali melakukannya" menjadi "seberapa ekstrem mereka melakukannya." Ini berarti kaum Nabi Luth dihukum bukan karena mereka menemukan atau memprakarsai perbuatan tersebut, tetapi karena mereka telah melampaui batas, membawa praktik tersebut ke tingkat yang berlebihan, dan secara terbuka melakukan pelanggaran moral yang merusak tatanan sosial mereka.
Ayat Al-Qur`an sendiri secara umum menyebut perbuatan kaum Luth sebagai "fahisyah" atau "perbuatan keji," tanpa merincinya secara eksplisit dalam ayat 7:80. Meskipun ayat-ayat berikutnya dan tradisi tafsir secara luas mengidentifikasinya sebagai homoseksualitas dan praktik-praktik amoral terkait, penting untuk dicatat bahwa Al-Qur`an menekankan pada sifat "keji" dan "ekstrem" dari tindakan tersebut. Keekstreman ini tidak hanya terletak pada tindakan individual, tetapi mungkin juga pada skala penerimaannya, sifat pemaksaan, atau bahkan penolakan terhadap setiap seruan untuk perbaikan.
Ketika Nabi Luth menegur kaumnya, intinya adalah bahwa mereka telah melampaui batas kewajaran. Keunggulan mereka dalam kemaksiatan ini mencerminkan tidak hanya tindakan pribadi, tetapi kemungkinan juga pembangkangan kolektif, kurangnya rasa malu, dan kegagalan mereka untuk mempertimbangkan konsekuensi dari jalan yang mereka pilih.
Ini menunjukkan kemerosotan moral yang mendalam dalam komunitas mereka, di mana perbuatan yang dianggap melanggar norma-norma ilahi dan sosial justru dipraktikkan secara terang-terangan dan meluas. Dengan demikian, teguran Nabi Luth adalah seruan untuk kembali pada keseimbangan dan kesucian, sebelum kerusakan moral menjadi tidak dapat diperbaiki.
Islam secara tegas menetapkan norma-norma moral, termasuk larangan hubungan seksual di luar ikatan pernikahan antara pria dan wanita. Oleh karena itu, perbuatan kaum Luth, dalam perspektif Al-Qur`an, jelas merupakan pelanggaran serius.
Namun, kita perlu menekankan sebuah prinsip penting: mengutuk suatu perbuatan tidak berarti harus mendemonisasi atau berlaku tidak adil terhadap individu yang melakukannya. Prinsip keadilan dalam Islam berlaku untuk semua, bahkan bagi mereka yang telah melakukan kesalahan. Sama seperti sistem peradilan modern menjamin hak-hak dasar bagi terdakwa, Islam juga menuntut perlakuan yang adil dan seimbang terhadap semua manusia, terlepas dari dosa atau kesalahan mereka.
Memahami bahwa kaum Luth dihukum karena "mengungguli" atau "melampaui batas" dalam kemaksiatan – bukan karena mereka adalah "pionir" – memungkinkan kita untuk mempertahankan prinsip keseimbangan ini. Ini mencegah kita untuk secara berlebihan mengecam atau menghakimi individu, sambil tetap teguh dalam mengutuk tindakan yang melanggar norma-norma ilahi.
Pendekatan ini mengajarkan empati tanpa mengkompromikan prinsip-prinsip moral. Ini adalah panggilan untuk membedakan antara tindakan dan pelaku, mengutuk kejahatan tetapi mempertahankan martabat manusia dan hak-hak dasar bagi semua.
Interpretasi ulang kisah Nabi Luth ini memiliki relevansi yang sangat besar dalam diskusi kontemporer tentang seksualitas, iman, dan keadilan sosial. Di tengah polarisasi dan seringnya misinterpretasi narasi keagamaan, kita butuh pandangan yang menawarkan jalur yang lebih nuansa dan manusiawi. Ini membantu mencegah pembacaan Al-Qur`an yang kaku dan tidak berbelas kasihan yang dapat menyebabkan penolakan, ujaran kebencian, atau pengucilan sosial.
Dengan fokus pada "ekstremitas" dan bukan pada "kebaruan" perbuatan, kita dapat lebih memahami bahwa murka Ilahi mungkin ditujukan pada keruntuhan moral kolektif, pembangkangan yang disengaja, dan penolakan terhadap seruan kebenaran, bukan hanya pada keberadaan suatu perilaku. Ini memungkinkan umat Muslim untuk terlibat dalam diskusi yang lebih produktif dan empatik mengenai isu-isu moral modern, tanpa mengorbankan prinsip-prinsip dasar Islam, namun tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kasih sayang dan keadilan.
Kisah Nabi Luth, ketika dilihat melalui lensa tafsir yang lebih dalam, mengajarkan kita lebih dari sekadar larangan moral. Ia menekankan pentingnya keseimbangan, keadilan, dan menghindari ekstremitas dalam segala bentuk. Teguran Nabi Luth dan konsekuensi yang menimpa kaumnya adalah peringatan terhadap bahaya melampaui batas-batas moral yang ditetapkan oleh Tuhan, yang pada akhirnya dapat merusak tatanan masyarakat.
Kita perlu mendorong diri kita untuk tidak hanya membaca teks Al-Qur`an secara harfiah, tetapi juga merenungkan konteks linguistik, historis, dan etisnya. Dengan demikian, kita dapat mencapai pemahaman yang lebih kaya, yang tidak hanya meneguhkan iman tetapi juga membimbing kita untuk bertindak dengan kebijaksanaan, kasih sayang, dan keadilan dalam menghadapi kompleksitas dunia modern. Ini adalah shadaqah jariyah, amal berkelanjutan, yang terus memberikan manfaat bagi komunitas Muslim dan kemanusiaan secara luas.