Latihan Instruktur Dasar, Milad IMM, dan Jas yang Tak Pernah Kupakai
OLeh: dr Nurhira Abdul Kadir, MPH., PhD, Ketua Divisi Pelayanan Majelis Pembina Kesehatan Pimpinan Wilayah Aisyiyah Sulawesi Selatan / Ketua Prodi Pendidikan Dokter FKIK UIN Alauddin Makassar
Saya tidak sadar bahwa hari pada saat saya diundang membawakan materi di acara Latihan Instruktur Dasar Nasional, yang dihelat Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (PC IMM) Gowa, Sulawesi Selatan, adalah hari istimewa. Jumat, 14 Maret 2025, ternyata itu adalah hari yang sangat Istimewa, hari ulang tahun ke-61 IMM!
Saya bahkan memakai baju merah hati. Awalnya, saya kepikiran mau seragaman dengan moderatornya nanti. Moderator pasti ber-jas merah hati.
Tak tahunya, berbaju merah hati akan membawa arti dan makna tersendiri. Terlebih lagi, seumur hidupku, meski telah menjalani perkaderan hingga tingkat Darul Arqam Madya (DAM) di era 90-an, saya tak pernah punya jas merah tua yang membanggakan itu.
Bahkan mungkin, saya tak pernah mengenakan jas keren itu seumur hidup. Hanya bisa memandang kagum pada kakak-kakak senior IMM masa itu, Kak Amirah Mawardi (sekarang sebagai Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Makassar) dengan jas merah maroonnya, Kak Fatmawati Rahim (mantan anggota KPU Sulawesi Selatan) dengan jas merah maroonnya. Keduanya telah menjadi perempuan yang menjadi inspirasi banyak orang hingga kini.
Itu pertanda, keber-IMM-an saya di masa itu tak pernah sampai di garis puncak yang layak disandangi jas merah maroon. Meskipun demikian, saya ikut bersekitaran juga dengan kegiatan IMM di sela-sela kegiatan laboratorium dan kuliah anak kedokteran 90-an yang terkenal ketat dan riskan.
Ber-IMM membuat saya harus belajar hal lain di luar materi-materi berkuliah. Meskipun saya telah menjadi Ketua OSIS SMP Negeri 1 Sendana, lalu Wakil Ketua OSIS di SMA Negeri 1 Majene, kemampuan organisasi saya masih saja cetek. Kemampuan mengelola pertemuan apa lagi.
Suatu hari saya ingat, karena sudah ikut DAM, saya boleh menjadi asisten instruktur untuk kegiatan Darul Arqam Dasar (DAD). Sore itu, akan ada pemateri yang masuk. Selama masa yang dijadwalkan, ada atau tidak ada pemateri, sayalah yang didapuk memegang kendali atas apapun yang terjadi dalam kelas DAD-nya.
Saya gemetaran ketika palu sidang diserahkan ke saya dan instruktur sebelumnya meninggalkan ruangan. Saya tahu, anak-anak dalam DAD kali ini sangat kritis, cenderung menyerang dalam lontaran ide dan pertanyaan mereka. Lima menit pertama, saya aman. Menit selanjutnya, habis bahan, sedang pemateri tak kunjung datang.
Saya sudah lupa persisnya apa saja yang kulakukan dalam kelas selama pemateri belum tiba. Tapi itu termasuk menit-menit paling berat dalam hidup.
Rumitnya lagi, ketika selesai membawakan materi, pematerinya tinggal dalam ruangan enggan beranjak. Saya yang sudah ngos-ngosan mengelola kelas menjadi semakin berat bebannya.
Maksudku, tak mengapa saya tak menguasai ruang sidang, asal saya sendiri yang harus menanggung dan mengetahuinya. Ini ditambahi pula harus kikuk dan grogi di hadapan pemateri.
Saking groginya, tak tahu cara ‘mengusir halus’ pemateri, saya berterima kasih bahkan hingga 4 – 5 kali. Dan sang pemateri tetap tak beranjak.
Untunglah, hari itu telah berlalu. Aku kini bukan kanak lagi, seperti kata Chairil Anwar dalam "Derai-derai Cemara"-nya. Meski ber-IMM berat dalam berbagai aspek, ia tetap menjadi satu hal terbaik dalam riwayat kebersekolahan saya di S1.
Walhasil, selesai membawa materi Latihan Instruktur kemaren, saya sempat duduk bersama panitia yang telah bersusah payah menjadikan kegiatan besar ini. Mereka menyampaikan tantangannya ber-IMM di masa ini.
Katanya, jangankan mau mengajak bergabung ke IMM, adik-adik mereka bahkan semakin sulit untuk diajak berorganisasi, organisasi apapun itu.
Salah satu menyatakan bahwa ini mungkin dampak sosial media yang menggembar-gemborkan bahwa berorganisasi bukan lagi opsi yang valuable untuk mahasiswa.
Dibanding magang ke perusahaan, atau buat usaha sendiri, pengalaman berorganisasi tak lagi menjadi daya tarik bagi calon employer saat melamar kerja. Mereka lebih suka melihat pengalaman terkait kerja, dibanding pengalaman berorganisasi.
Katanya juga, situasi kampus secara keseluruhan tidak kondusif untuk tumbuhnya organisasi-organisasi kemahasiswaan yang bukan resmi dikelola kampus seperti HMJ, Senat, Dewan Mahasiswa, dan lainnya.
Ada kampus yang mengatur agar mahasiswa baru boleh berorganisasi setelah lepas batas DO, ada yang mengatur bahwa jika sudah bergabung organisasi kampus tak boleh lagi double organisasi dengan masuk organisasi lain. Selanjutnya, ada pula yang mengatur bahwa organisasi ‘yang berbendera’ lain tak boleh masuk kampus karena akan menjadi sumber perpecahan.
Miris juga mendengar keluhan itu. Tetapi sebenarnya keluhan ini adalah lagu-lagu lama yang terus ditabuh dengan nada yang berbeda dan penabuh yang berbeda saja. Organisasi seperti IMM memang tak pernah tumbuh tanpa tantangan. Tidak di jaman now, tidak di jaman old.
Hanya ketulusan, keikhlasan dan kegigihan yang menyebabkan ia tetap tumbuh menjadi ruang belajar untuk menjadi lebih dewasa, berakhlak, beriman, dan berilmu.
Saya ingat di waktu hari ketiga DAM, di Gedung Fort Rotterdam, Makassar, 1998 lalu. Dengan tubuh sempoyongan didera kantuk dan tugas yang tak habisnya dari instruktur DAM, saya mendekati Kak Dahlan Lamabawa (sekarang Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan), Master of Training kami, agar diijinkan berhenti DAM dan saya pulang saja ke rumah untuk tidur.
Kak Dahlan mungkin heran, ada peserta minta berhenti kegiatan dengan alasan ngantuk. Sungguh menggelikan. Tapi ditahannya tawanya dan menyahut, “Tak apa, Hira, kau boleh berhenti, tapi kau harus melapor dulu kepada pimpinan Cabang yang menyerahkan namamu dalam mandat di pembukaan yang lalu.”
“Di mana pimpinan cabangnya, Kak?” Tanya saya ngotot. Itu hanya ditanggapi senyum oleh beliau.
Walhasil, saya tetap bertahan dan tak pulang. Walaupun dapat dipastikan, materi yang tertinggal sebelum dan sesudah keluar DAM saat itu tak sampai 50% karena saya kebanyakannya tidur saja. Tapi saya meyakini, sesedikit itupun, jika berkah, tak mengapa.
Kembali ke LID Nasional, hari Ramadan dan ikut pelatihan tentu sulit. Saya sampaikan pada peserta LID hari itu. Tak apa kau tidur, tidurlah jika memang tak mampu bertahan terjaga. Satu saja, jangan lari. Jangan menyerah. Semengantuk apapun, bertahanlah. Mungkin ilmunya tak kau dapat, tetapi berkahnyalah yang akan membawamu terus menuju ke arah yang lebih baik.
Selamat ulang tahun ke-61, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Fastabiqul Khayrat!