Mengapa Menanam Pepohonan

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
1063
Pepohonan

Pepohonan

Cerpen Sucipto Jumantara

Pohon-pohon di belakang rumah selalu membawa anganku terbang jauh ke suasana masa kecil dulu. Terbayang sesosok lelaki berkulit gelap dan berhidung mancung. Melihatku dengan mata sedikit sayu. Lelaki tua yang tenang dan tak banyak bicara. Aku memanggilnya “Bapak”.   

Ia suka bercelana pendek warna hitam dan  berkaos putih. Menyusuri pematang sawah di pagi hari. Tubuhnya berlumuran tanah. Menjelang senja pulang ke rumah. Memanggul cangkul di pundaknya. Memakai caping yang sudah lusuh. Kaki-kaki yang mulai melemah. Melangkah membawa petuah. Gusti ora sare. Urip iki mung mampir ngombe.

Bapakku adalah seorang petani. Lebih tepatnya buruh tani. Ia menggarap sawah yang bukan miliknya sendiri. Sawahnya adalah sawah tadah hujan. Sawah yang sistem pengairannya sangat mengandalkan curah hujan. Sehingga sawah ini hanya menghasilkan di musim hujan saja. Kadang ditanami padi kadang kedelai dan jagung. Jika musim kemarau datang, tanahnya bisa pecah-pecah. Hingga kakiku bisa masuk kesela-sela tanah. 

Aku suka membantu Bapak saat musim tanam tiba. Terutama saat menanam kedelai, Bapak membuatkanku alat. Sebuah tongkat kayu. Tingginya hampir sama dengan tinggiku. Di bagian bawahnya dibuat runcing. Aku mengamati bagaimana Bapak membuat lubang tanam dengan tongkat kayu itu. Aku menirunya. Kuhantamkan tongkat itu ke tanah dengan diputar sedikit ke kanan dan ke kiri secara cepat. Maka akan membentuk satu lubang tanam untuk ditanami dua atau tiga butir biji kedelai. 

Kadang aku diam-diam menyusul Bapak ke sawah. Ia nampak kelelahan, tubuhnya bermandikan keringat. Ia duduk istirahat di gubuk kecil yang beratapkan jerami. Ia mengipas-ngipaskan capingnya sambil menatap awan berarak. Dan terus menerus memanjatkan doa kepada Tuhan. Berharap semoga tanamannya subur, berhasil panen dan mendatangkan keberkahan bagi keluarganya.

Jika malam hari menghampiri, aku suka ikut Bapak tidur di luar beratapkan cakrawala. Menatap angkasa diterangi cahaya rembulan. Menyaksikan gugusan bintang-bintang yang setia menunggu Bapak untuk diajaknya bercerita tentang perjalanan hidupnya. 

“Urip iku mung sakdermo ngelakoni. Kudu semeleh.” Bapak menanam pesan itu didalam hatiku.

Ia banyak menghabiskan waktu malam yang sepi. Bercengkerama dengan langit yang luas untuk mengusir rasa sedih. Menjauhi sempitnya hati dalam kesendirian. Menghibur diri melukis wajah istri yang telah lama meninggalkannya karena sebuah kecelakaan. Melepas anak-anaknya dan membiarkannya menari-nari bersama benda-benda langit yang beterbangan di awang-awang.  Menumbuhkan kesyukuran bersama alam membentang. 

“Ora usah meri karo kancane. Nerima ing pandum wae.” Ia menulis pesan itu di langit. Tiap kali aku menatap ke atas aku mengingatnya untuk tidak mudah iri dan dengki.

Aku merebahkan tubuh kecilku disamping Bapak yang kulihat semakin renta. Kuusap-usap tangannya yang kasar dan kulitnya yang sering terbakar panasnya mentari. Ia memandang jumantara yang setia. Pelan ia lantunkan tembang mocopat menyatu dengan gulita. Dengan udara. Dengan makhluk-makhluk Tuhan yang selalu mengabdi, mengagungkan sang pencipta. Sayup-sayup kudengar suara Bapak nembang pocung. 

Bapak pocung, cangkemu marep mendhuwur,

Sabamu ing sendhang,

Pencokanmu lambung kering,

Prapteng wisma, Si pocung mutah guwaya.

 

Aku hafal tembang itu. Tapi tak pernah tahu apa maknanya. Suara Bapak nembang dan gugusan bintang-bintang itu menghiburku, membuatku terlelap dalam gelap. 

Kadang sebelum larut, ketika angin malam membelai tubuh. Bapak mengumpulkan dedaunan dan ranting-ranting kering. Membakarnya dan memasukan ubi kayu ke dalamnya. Bau ubi yang telah matang dibakar hingga kulitnya hitam gosong. Masih begitu lekat dalam ingatanku. Kami menikmatinya berdua ditemani teh hangat dalam satu cangkir yang sama. 

Saat shubuh tiba, Bapak mengibaskan tikar berkali-kali. Kurasakan hembusan angin menerpa tubuhku sampai aku terbangun.

***

Waktu aku masih kecil, beberapa kali Bapak menyuruhku menanam pohon. Bapak yang menggali lubangnya, lalu menyiapkan tunas kelapa, tunas pisang atau pohon lainnya. Ia biarkan lubang itu. Kemudian Bapak memanggilku. Menyuruhku menanam pohon.

Diantara pohon yang masih tumbuh hingga kini adalah pohon kelapa. Ada dua pohon kelapa di pojokan belakang rumah yang masih tersisa. Pohon kelapa itu masih subur dan berbuah. Kami anak-anaknya sering menikmati buahnya saat bulan puasa. Kelapa muda dikasih gula jawa. Kami menyebutnya rucuh. 

Berulang kali Bapak menyuruhku menanam pohon. Ada tujuh pohon kutanam dalam waktu yang berbeda. Kadang berjarak hari, pekan, bulan dan bahkan tahun. Kadang menanam di pagi hari kadang di sore hari. 

“Mengapa Bapak menyuruhku menanam pohon di usianya yang sudah tua?” tanyaku dalam hati. 

Selang beberapa tahun, pohon-pohon mulai tumbuh besar. Bapak mulai sering sakit sakitan. Badannya melemah. Lebih banyak tinggal di rumah. Tak lagi mampu mengolah sawah. Tak ada lagi yang menyuruhku menanam pohon. 

***

Bapak sekarang sudah tiada. Aku dan anak-anaku serung menikmati buah dari pohonan yang kutanam bersamanya. 

“Ayah, sedang apa? Kok menangis?” tanya anakku yang datang tiba-tiba di sampingku.

“Enggak. Ayah hanya ingat Mbah.”

“Memang ada apa dengan Mbah?” tanya anakku.  

            “Sini, Ayah mau cerita tentang Mbah. Tapi sambil injak-injak Ayah ya.”     Aku teringat kebiasaan Bapak menyuruhku menginjak-injak tubuhnya yang kecapekan setelah seharian di sawah. 

Aku tengkurap sambil bercerita tentang Mbahnya. Anakku mendengarkanku bercerita sesekali menyela bertanya. Kaki-kaki kecil anakku mulai melaju cepat di atas punggungku. Rasanya tak enak. Tak seperti dipijat-pijat lagi. Ia sudah tak mau lagi melanjutkan menginjak-injakku. Mengingatkanku yang kadang tak sabar menginjak-nginjak punggung Bapak. 

Anakku terdiam sesaat. Dan kemudian bertanya.

“Yah, mengapa Mbah menyuruh Ayah menanam pohon?” 

Aku kini yang terdiam. 

“Mengapa Mbah tidak menanam pohon-pohon itu sendiri? Kan Mbah yang gali tanah, mengapa harus menyuruh Ayah menanam pohonnya?” tanya anakku bertubi-tubi. 

Aku bangkit dari tidur. Aku mengajak anakku pergi.

“Mau kemana kita Yah?” tanyanya.

“Kita akan membeli bibit pohon. Nanti kita tanam bersama.”

“Berapa pohon yang akan kita tanam, Ayah?”

“Banyak. Engkau hitung saja nanti.” 

“Kita beli satu dulu saja, Ayah. Kita tanam satu pohon dulu ya.” 

Sesampainya di pasar tanaman, aku memilih beberapa bibit pohon. Aku memilih bibit pohon. Anakku menghimpun dan menghitungnya. Ada 2 pohon pisang, 2 pohon mangga dan  1 pohon jambu dan 1 tunas kelapa. 

“Yah, cukup ini saja. Sudah enam pohon. Sudah banyak.” katanya padaku yang masih asyik memilih 

“Satu lagi, tunas kelapanya baru satu, masih butuh satu lagi.”

Anakku menangis. Entah kenapa. Menghadangku dengan badannya yang kecil. Menghalangiku. 

“Sudah Ayah, jangan beli pohon ketujuh.” Pinta anakku berulang kali di bawah sengatan matahari yang membakar tubuh kami. 

Aku menggendongnya di punggungku. Aku membawanya berjalan menyusuri  pepohonan. Ia memelukku erat-erat. Anak itu nampak ketakutan jika aku mengambil pohon ketujuh. 

“Aku tak peduli berapapun jumlah pohonnya. Aku hanya ingin menanam pohon-pohon itu bersamamu, Nak.” [] 

 

Sucipto Jumantara, Penulis kelahiran Wonogiri, kini tinggal di Yogyakarta. Mengajar di Universitas Ahmad Dahlan. Beberapa karya cerpen dan puisi dimuat di media cetak dan online.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Humaniora

In Memoriam: dr. H. Subari Damopolii – Dokter Langka, Ustaz, dan Akademisi Oleh: Haidir Fitra....

Suara Muhammadiyah

12 November 2024

Humaniora

Cerpen Suyanto *) Di TK ABA 8 itu, Abidah masih setia memimpin 7 guru perempuannya tanpa jenuh. Seo....

Suara Muhammadiyah

12 January 2024

Humaniora

Oleh: Mahli Zainuddin Tago Trondheim-Norwegia, Senin 1 Desember 2024. Hari sudah gelap meski jam ....

Suara Muhammadiyah

6 December 2024

Humaniora

Proyek 1 Triliun Oleh: Joko Intarto  Permata Bank Syariah (PBS) sebagai wakif sistem informas....

Suara Muhammadiyah

20 November 2023

Humaniora

Cerpen R Toto Sugiharto  Saya tersesat. Terpisah dari kawan-kawan. Kami baru survei untuk loka....

Suara Muhammadiyah

23 February 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah