Lebaran Terakhir
Cerpen Affan Safani Adham
Siapa yang tahu kalau saat ini adalah waktu terakhir kita di dunia. Siapa yang bisa menebak kapan berakhirnya kata. Bahkan memperkirakan saja pun kita tak bisa. Kita hanya mampu melihat banyaknya tanda-tanda yang diberikan Sang Pencipta. Mampukah kita membacanya?
Pagi begitu sangat sibuknya berdandan; mempercantik rumah, pagar dan taman-taman rumah. Semua terasa baru dengan polesan cat dinding yang baru. Perabotan yang habis dicuci; meja-kursi, gelas-toples. Semua dipersiapkan untuk menyambut lebaran. Suasana kampung yang ramai dengan celoteh anak-anak beradu tampil mengumandangkan takbir kemenangan. Tak ketinggalan berbagai ondel-ondel (tiruan naga, pesawat, jerapah, unta, masjid) yang dibuat dari paduan bambu dan kertas. Hiasan warna-warni lampu tak ketinggalan untuk memeriahkan menyambut hari lebaran malam nanti.
Bapak yang sejak pertengahan puasa hanya bisa terbaring, karena kedua kakinya tak kuat lagi menahan tubuhnya hanya bisa mengomando kita, anak-anaknya dari tempat tidur.
“Bu, itu pagarnya dicat. Karpetnya dicuci, besok kalau ada tamu biar rumah sudah bersih semua. Jangan lupa ke pasar beli kue-kue lebaran untuk suguhan tamu. Besok tamunya banyak yang datang, bu.” Wajah Bapak terlihat Bahagia.
“Ya, pak. Bapak istirahat saja ya.” Kata ibu. Kami, anak-anaknya pun langsung bekerja tanpa menunggu komando lagi.
Waktu Zhuhur sudah berkumandang. Seluruh pekerjaan bersih-bersih rumah sudah hampir selesai. Kami dibantu tukang bayaran untuk merampungkannya. Karena kami akan berganti gotong royong di masjid kampung sehabis berjamaah Zhuhur.
Terik matahari begitu panas di hari terakhir puasa. Ramainya suasana kesibukan di akhir Ramadhan, menyambut lebaran dan rasa haus yang memenuhi tenggorokan menghimpit keimanan ketepian jurang. Di tengah panasnya udara tengah hari, siapa tak ingin berdekat-dekat dengan kesejukan air. Betapa nikmatnya. Seperti tingkah anak-anak bergotong royong membersihkan masjid, mereka bergembira sambil bermain air, menggosok lantai masjid, lantai tempat wudhu dan bak kamar mandi semua dibersihkannya. Mereka tak merasakan lagi lelah dan hausnya tenggorokan, karena kegembiran berkumpul teman-temannya.
Beduk Asyar bertalu, suara adzan dikumandangkan. Anak-anak di teras masjid bersorai, berebutan mencapai pancuran wudhu, satu-satu berjajar di depan kran membasuh wajah dan kakinya hingga hampir basah seluruh tubuhnya. Mereka kenakan sarung setengah basah membentuk shaf-shaf di barisan terbelakang di dalam masjid menunggu iqomah, tanda imam memulai menjalankan rukun islam dan bertakbir.
Bapak masih terbaring. Mulutnya komat kamit melafaldkan ayat-ayat Allah. Bapak menjalankan shalat di tempat tidur. Sedang bersucinya dengan bertayamum kalau di antara kami belum ada yang membantunya bersuci dengan air.
Ibu dengan seorang tetangga menyiapkan nasi bungkus spesial untuk pengajian jelang buka puasa. Semua menyukai nasi bungkus spesial ini. Saya namakan spesial karena adanya hanya ketika bulan Ramadhan. Nasi dengan lauk sambel goreng tempe-soun terkadang ditambah satu dua ekor udang yang menjadi istimewa. Nikmatnya luar biasa untuk buka puasa dengan minuman teh manis.
“Bu, Ibu ..,” suara Bapak memanggil Ibu.
“Iya, Pak,” Ibu bergegas menghampiri bapak. “Ada apa, Pak?”
“Sudah masak belum nasinya. Ini sudah Maghrib, saatnya berbuka.” Kata bapak seperti anak-anak minta makan.
“Sebentar lagi, Pak.” Ibu dengan sabar menjawab permintaan Bapak.
“Ya sudah kalau tidak dikasih makan. Puasa saja.”
Kata-kata Bapak mengharukan. Terlalu cepat Bapak mengalami seperti penyakit tua ini. Baru saja tadi pagi Bapak bersemangat mengomando kami, anak-anaknya untuk bersih-bersih menyambut hari Lebaran, tiba-tiba sore hari sudah lupa dan bertingkah seperti anak kecil merengek.
“Minta minum juga tidak boleh? Apa tidak ada air?” Kata bapak merajuk lagi.
“Bapak mau makan sekarang?”
“Apa sudah maghrib?”
“Belum,” Jawab Ibu dengan membawa piring yang sudah terisi nasi dan lauknya.
“Ya sudah kalau tidak boleh makan. Bapak mau tidur saja.” Kata bapak seperti ngambek karena salah pemahaman.
“Boleh, Pak.” Kata Ibu. Tapi Bapak sudah membalikkan tubuhnya membelakangi Ibu yang menenteng piring. Ibu pun diam tak bisa memaksa Bapak untuk makan.
Adzan Maghrib sudah terdengar berkumandang. Sorak gembira anak-anak menenteng nasi bungkus spesial dan berjajar di teras masjid melahapi nasi bungkus di hadapannya yang didahului mengucapkan doa makan bersama-sama. Kemudian mereka berburu wudhu dan membuat shaf-shaf memanjang di barisan belakang.
Suara takbir lebaran pun mulai terdengar dari masjid sambung menyambung bagai tali yang tak terputus sampai ke haribaanNya.
“Allahu Akbar, Allahu Akbar, ...”
Ibu tergopoh-gopoh menuju masjid mencari Pak Kaum.
“Ada apa, Bu Sahid.” Tanya marbot masjid mendahului ibu yang terlihat panik.
“Tolong, Pak. Tolong Bapak.” Kata Ibu gemetaran suaranya.
“Bapak di mana, Bu.”
“Di rumah.”
Kami anak-anaknya pun bergegas mengikuti Ibu ke rumah. Di rumah hanya ada Kang Karim yang biasa membantu di rumah. Kang Karim mendekatkan wajahnya ke telinga Bapak sambil mulutnya komat-kamit mengucapkan kalimat talqin.
“La ilaha Illaallah. Allah, Allah.” Kata Kang Karim menalqin Bapak. Kami pun hanya bisa berdoa memohon yang terbaik untuk Bapak.
Allah yang menciptakan kami, kepadaNya pula kami akan kembali. Beduk terus bertalu, gema takbir berkumandang mengagungkan asmaNya. Allahu Akbar. Allahu Akbar! Hari Lebaran sudah tiba dan Bapak pun tiada. Allahummaghirlahu warkhamhu wa’afihi wa’fuanhu. Amin.•