Oleh: Muhammad Akhyar Adnan, Dosen Prodi Akuntansi FEB Universitas Yarsi
MABIMS (Menteri-Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) didirikan pada 1988 untuk menyatukan penentuan awal bulan hijriah, khususnya Idulfitri dan Iduladha, guna memperkuat solidaritas umat Islam di Asia Tenggara. Namun, perbedaan penetapan Iduladha 1446 H/2025—Indonesia pada 6 Juni dan Malaysia pada 7 Juni—mengungkap kelemahan organisasi ini. Meskipun Idulfitri 1446 H serentak pada 31 Maret 2025, ketidakselarasan Iduladha menimbulkan pertanyaan kritis: apakah MABIMS hanya simbol birokratis yang gagal menjalankan misi pemersatuannya? Artikel ini menganalisis perbedaan Iduladha, meneliti penyebab ketidakselarasan antara Indonesia dan Malaysia, dan mempertanyakan relevansi MABIMS dengan sikap skeptis terhadap narasi harmonisasi regional.
MABIMS, Antara Visi dan Realitas
MABIMS menggunakan kombinasi rukyat (pengamatan hilal) dan hisab (perhitungan astronomis), dengan kriteria yang diperbarui pada 2021: ketinggian hilal minimal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat. Kriteria ini seharusnya menjamin keseragaman, tetapi implementasinya sering terhambat oleh faktor lokal seperti geografi, otoritas keagamaan, dan dinamika nasional. Perbedaan Iduladha 2025 menunjukkan bahwa narasi pemersatu MABIMS rapuh, terutama ketika kepentingan nasional mengalahkan konsensus regional.
Gejala Ketidakkompakan: Perbedaan Iduladha 1446 H/2025
Pada 1446 H/2025, Indonesia menetapkan Iduladha pada 6 Juni 2025, berdasarkan Sidang Isbat Kementerian Agama (Kemenag) pada 27 Mei 2025. Pengamatan hilal di 114 lokasi, termasuk Aceh, menunjukkan ketinggian hilal 3,29 derajat dan elongasi 6,78 derajat, memenuhi kriteria MABIMS, sehingga 1 Zulhijah ditetapkan pada 28 Mei 2025, sejalan dengan wukuf di Arafah pada 5 Juni 2025. Malaysia, menurut pengumuman Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM) pada 26 Mei 2025, menetapkan Iduladha pada 7 Juni 2025, dengan 1 Zulhijah pada 29 Mei 2025, karena hilal tidak terlihat di 29 lokasi pengamatan, sehingga Zulkadah digenapkan 30 hari.
Perbedaan ini bukan fenomena baru. Pada 1443 H/2022, Indonesia merayakan Iduladha pada 10 Juli, sedangkan Malaysia pada 9 Juli. Pada 1444 H/2023, Indonesia menetapkan 29 Juni dan Malaysia 28 Juni. Pola berulang ini menantang klaim MABIMS sebagai alat pemersatu, menunjukkan bahwa organisasi ini kesulitan menjembatani perbedaan nasional.
Analisis Penyebab Perbedaan Indonesia-Malaysia
Indonesia mengutamakan rukyat lokal melalui Sidang Isbat, dengan Aceh sebagai penentu utama pada 2025 karena posisi hilal yang optimal. Pengamatan pada 27 Mei 2025 memenuhi kriteria MABIMS, mendukung penetapan 6 Juni. Malaysia juga menggunakan rukyat, tetapi lebih konservatif, menggenapkan Zulkadah jika hilal tidak terlihat, seperti pada 2025. Meskipun Malaysia kadang fleksibel dengan hisab, keputusan mereka untuk Iduladha 2025 menunjukkan ketergantungan pada rukyat lokal yang ketat, menyebabkan perbedaan satu hari.
Dinamika Keagamaan Lokal
Di Indonesia, Muhammadiyah memainkan peran kunci dengan menetapkan Iduladha pada 6 Juni 2025 jauh hari berdasarkan hisab hakiki (wujudul hilal), yang menghitung visibilitas hilal secara astronomis. Pemerintah dan NU, yang biasanya mengutamakan rukyat melalui Sidang Isbat, pada 2025 akhirnya mengikuti Muhammadiyah setelah pengamatan hilal di Aceh mengkonfirmasi hisab. Dinamika ini mencerminkan pengaruh Muhammadiyah dalam mendorong keputusan yang selaras dengan wukuf global. Sebaliknya, Malaysia, dengan otoritas terpusat di bawah JAKIM dan mufti negara bagian, memiliki konsensus lebih kuat, tetapi keputusan mereka sering dipengaruhi oleh keinginan menjaga otoritas nasional, terutama ketika rukyat lokal tidak mendukung wukuf.
Faktor Geografis dan Cuaca
Wilayah Indonesia yang luas menyulitkan pengamatan hilal seragam. Pada 2025, hanya 2,7% wilayah (terutama Aceh) berpotensi melihat hilal Zulhijah, tetapi cuaca berawan di lokasi seperti Lhoknga dapat mengganggu. Malaysia, dengan wilayah lebih kecil, memiliki koordinasi lebih mudah, tetapi keputusan mereka untuk menggenapkan Zulkadah pada 2025 menunjukkan interpretasi konservatif terhadap data rukyat, berbeda dengan Indonesia.
Pengaruh Wukuf dan Rukyat Global
Indonesia menyelaraskan Iduladha dengan wukuf di Arafah (5 Juni 2025), didukung oleh hisab Muhammadiyah dan rukyat Sidang Isbat, mencerminkan pendekatan pragmatis untuk jamaah haji. Malaysia, meskipun biasanya mengikuti wukuf, pada 2025 menetapkan 7 Juni, menyimpang dari wukuf karena prioritas rukyat lokal. Ini menunjukkan inkonsistensi dalam mengadopsi standar global, mengungkap ketegangan antara otoritas nasional dan harmonisasi regional.
Implikasi: MABIMS di Ambang Keretakan?
Perbedaan Iduladha 2025 bukan sekadar ketidaksesuaian tanggal, tetapi gejala kelemahan struktural MABIMS. Ketidakselarasan ini mengganggu solidaritas regional, mempersulit koordinasi hari libur nasional, dan berdampak pada perdagangan, pariwisata, serta mobilitas jamaah haji lintas batas. Dengan pola berulang pada 1443 H/2022 dan 1444 H/2023, MABIMS tampak lebih sebagai fasad diplomatik daripada mekanisme efektif. Skeptisisme terhadap narasi pemersatu MABIMS wajar: ketika Indonesia dan Malaysia tidak bisa menyamakan Iduladha—hari raya yang terkait erat dengan wukuf global—bagaimana organisasi ini bisa mengklaim keberhasilan? Ketidakkompakan ini mengancam relevansi MABIMS, terutama ketika otoritas nasional lebih mengutamakan legitimasi lokal.
Solusi: Reformasi atau Sekadar Ilusi?
MABIMS membutuhkan reformasi radikal untuk bertahan:
Harmonisasi Kriteria: Tim ahli astronomi dan syariat regional harus menyeragamkan interpretasi kriteria MABIMS, bukan hanya menetapkan angka tanpa implementasi ketat.
Berbagi Data Real-Time: Platform digital untuk data rukyat dan hisab dapat mengurangi ambiguitas, tetapi memerlukan komitmen politik yang sulit dicapai.
Rukyat Global untuk Iduladha: Menyelaraskan Idul Adha dengan wukuf di Arafah, seperti dilakukan Indonesia pada 2025, dapat meminimalkan perbedaan, tetapi Malaysia harus mengatasi resistensi terhadap rukyat global.
Edukasi Masyarakat: Transparansi proses penetapan diperlukan, tetapi tanpa perubahan struktural, ini hanya kosmetik.
Tanpa langkah konkret, MABIMS hanya akan menjadi retorika harmonisasi yang terus dipertanyakan.
Perbedaan Idul Adha 1446 H/2025 (Indonesia: 6 Juni, Malaysia: 7 Juni), meskipun Idulfitri serentak pada 31 Maret 2025, menunjukkan kerapuhan narasi pemersatu MABIMS. Di Indonesia, Muhammadiyah memimpin dengan hisab hakiki, diikuti Pemerintah dan NU melalui rukyat, sementara Malaysia bertahan dengan rukyat lokal yang konservatif. Penyebab perbedaan—pendekatan rukyat-hisab, dinamika keagamaan, geografi, dan inkonsistensi rukyat global—menggemakan ketidakselarasan sebelumnya pada 1443 H/2022 dan 1444 H/2023. Tanpa reformasi substansial, MABIMS berisiko menjadi simbol birokratis yang kehilangan relevansi, meninggalkan umat Islam di Asia Tenggara dalam fragmentasi kalender. Pertanyaan kritis tetap: apakah MABIMS mampu menyatukan, atau hanya menunggu waktu untuk pecah?