Oleh: Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Sekitar 1400 tahun silam, di Kota Makkah, lahirlah seorang manusia yang kelak akan membawa perubahan besar bagi dunia: Nabi Muhammad SAW. Namun, seperti apakah keadaan Arab pada saat itu? Agama apa yang mendominasi lanskap spiritual masyarakat Arab dan sekitarnya?
Pada tahun 570 Masehi, ketika Nabi Muhammad lahir, agama-agama besar dunia telah memiliki pijakan yang kuat. Hindu, salah satu agama tertua, telah memiliki kitab suci Rig Veda yang diperkirakan ditulis sekitar 1500 SM. Abad ke-6 SM, yang dikenal sebagai Zaman Aksial, menjadi saksi munculnya berbagai aliran pemikiran keagamaan yang berpengaruh. Buddhisme, Jainisme, Konfusianisme, Taoisme, dan Shinto adalah beberapa di antaranya.
Kitab suci Yudaisme, Taurat, juga mengalami perkembangan penting pada periode ini. Setelah berakhirnya Pengasingan Babilonia pada abad ke-6 SM, Taurat ditulis dalam bentuknya yang sekarang kita kenal. Ketika Islam muncul melalui Nabi Muhammad SAW, agama-agama besar dunia telah mapan dan memiliki pengikut yang setia. Namun, Islam hadir membawa pesan universal yang relevan bagi seluruh umat manusia, menawarkan jalan keselamatan dan petunjuk hidup yang abadi.
Di tengah lanskap agama yang beragam ini, Islam hadir sebagai cahaya baru yang menerangi dunia, membawa pesan perdamaian, keadilan, dan kasih sayang. Meskipun Nabi Muhammad SAW lahir di tengah lanskap agama yang beragam, ada satu agama yang memiliki pengaruh signifikan pada masa itu, yaitu Kristen.
Kelahiran Nabi Muhammad SAW pada tahun 570 Masehi, atau sekitar 500 tahun setelah kenaikan Yesus ke surga, menandai periode di mana Kristen telah berkembang pesat dan membentuk doktrin-doktrin utamanya. Pada abad ke-4 Masehi, Konsili Nicea menjadi tonggak penting dalam sejarah Kristen dengan merumuskan dasar-dasar keyakinan Trinitas. Doktrin ini kemudian diperkuat pada Konsili Kalsedon pada tahun 451 Masehi.
Dengan demikian, ketika Nabi Muhammad SAW memulai dakwahnya pada tahun 610 Masehi, Kekristenan telah mapan sebagai agama Trinitas. Dalam konteks inilah Al-Qur`an hadir dengan pesan yang tegas tentang keesaan Tuhan. Al-Qur`an menolak konsep Trinitas dan menyerukan kembali kepada tauhid, keyakinan bahwa Tuhan hanya satu. Pesan ini menjadi landasan utama ajaran Islam, membedakannya dari agama-agama lain yang ada pada masa itu.
Dengan memahami latar belakang sejarah ini, kita dapat lebih menghargai pesan-pesan Al-Qur`an tentang keesaan Tuhan dan peran Nabi Isa (Yesus) dalam Islam. Al-Qur`an mengakui Yesus sebagai nabi yang diutus Allah, namun menolak konsep ketuhanannya. Islam mengajak umat manusia untuk kembali kepada ajaran tauhid yang murni, menyembah hanya kepada Allah Yang Maha Esa.
Ketika Nabi Muhammad SAW memulai dakwahnya di tengah masyarakat yang majemuk, Al-Qur`an menawarkan perspektif yang menarik tentang iman. Berbeda dengan pandangan sempit yang menganggap hanya satu agama yang benar, Al-Qur`an justru menghadirkan pandangan yang lebih inklusif.
Al-Qur`an menyatakan bahwa siapa pun yang berserah diri kepada Tuhan dan berbuat baik akan mendapatkan rahmat-Nya. Ini menunjukkan bahwa kebaikan dan keimanan adalah nilai universal yang melampaui batas-batas agama tertentu.
Ayat lain dalam Al-Qur`an menegaskan bahwa orang-orang beriman dari berbagai agama, termasuk Muslim, Yahudi, dan Kristen, akan mendapatkan kedamaian dan kebahagiaan jika mereka beriman dan berbuat baik. Ini menunjukkan bahwa meskipun terdapat perbedaan keyakinan, tujuan akhir semua agama adalah sama, yaitu mencapai ridha Tuhan.
Namun, di tengah pluralisme ini, Al-Qur`an juga menegaskan bahwa pesan yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW adalah ratifikasi dan penyempurnaan dari wahyu-wahyu sebelumnya. Al-Qur`an mengajak umat manusia untuk meninggalkan penyimpangan dan kembali kepada ajaran murni yang disampaikan oleh para nabi terdahulu.
Islam hadir bukan untuk menghapuskan agama-agama sebelumnya, tetapi untuk menyempurnakannya. Nabi Muhammad SAW diutus untuk menyatukan umat manusia di bawah satu bendera tauhid, yaitu keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan pendekatan yang bijaksana dan penuh kasih sayang, Nabi Muhammad SAW berhasil menyampaikan pesan Islam di tengah masyarakat yang beragam. Beliau mengajak manusia untuk merenungkan kebenaran, meninggalkan fanatisme buta, dan bersatu dalam kebaikan.
Istilah "jahiliyyah" sering kita dengar dalam konteks sejarah Islam, merujuk pada periode sebelum Nabi Muhammad SAW menerima wahyu Al-Quran. Secara harfiah, "jahiliyyah" berarti "kebodohan" atau "ketidaktahuan". Namun, maknanya lebih dalam dari sekadar ketidakmampuan membaca atau menulis.
Umat Islam memandang jahiliyyah sebagai era kegelapan spiritual, di mana manusia terjerumus dalam penyembahan berhala, praktik-praktik sosial yang tidak adil, dan ketidaktahuan akan kebenaran sejati. Ini mirip dengan bagaimana orang Barat memandang "Abad Kegelapan" sebagai periode kemunduran intelektual dan moral sebelum Renaisans.
Al-Qur`an hadir sebagai cahaya pengetahuan yang menerangi kegelapan jahiliyyah. Melalui Nabi Muhammad SAW, Allah SWT menurunkan petunjuk-Nya agar manusia dapat keluar dari kebodohan dan menuju jalan yang benar.
Islam membawa transformasi besar bagi masyarakat Arab pada masa itu. Ajarannya menghapuskan praktik-praktik jahiliyyah yang tidak adil, seperti diskriminasi terhadap perempuan dan perbudakan, serta mengajarkan nilai-nilai luhur seperti keadilan, kesetaraan, dan kasih sayang.
Nabi Muhammad SAW, sebagai pembawa wahyu, menghadapi tantangan besar dalam menyebarkan ajaran Islam di tengah masyarakat yang terbiasa dengan tradisi jahiliyyah. Namun, dengan kesabaran, kebijaksanaan, dan keteguhan hati, beliau berhasil membawa perubahan yang luar biasa, mengubah Arab dari zaman kegelapan menjadi pusat peradaban yang gemilang.
Melihat sejarah Islam, kita dapat menemukan pelajaran berharga tentang bagaimana Islam tidak hanya mengubah keyakinan, tetapi juga praktik sehari-hari menuju kebaikan. Salah satu contoh yang menarik adalah bagaimana Islam mengajarkan dan mempromosikan kebersihan, bahkan dalam hal-hal yang tampaknya sepele seperti menyikat gigi.
Pada masa jahiliyyah, menyikat gigi mungkin bukan kebiasaan yang umum dilakukan secara teratur. Namun, Nabi Muhammad SAW memperkenalkan dan menekankan pentingnya kebersihan gigi sebagai bagian dari praktik Islam. Kini, menyikat gigi telah menjadi kebiasaan yang mendarah daging bagi umat Muslim, bahkan dianggap sebagai ibadah. Transformasi ini menunjukkan bahwa Islam tidak hanya peduli pada aspek spiritual, tetapi juga kesehatan fisik. Ajaran Nabi Muhammad SAW tentang kebersihan gigi adalah salah satu contoh bagaimana Islam mendorong umatnya untuk hidup sehat dan bersih.
Pelajaran ini tetap relevan hingga saat ini. Di tengah kemajuan teknologi dan pengetahuan, kita diingatkan untuk tidak melupakan pentingnya menjaga kebersihan diri sebagai bagian dari ibadah kita kepada Allah. Selain menyikat gigi, Islam juga mengajarkan banyak praktik kebersihan lainnya, seperti mencuci tangan sebelum makan, menjaga kebersihan lingkungan, dan mandi wajib setelah hadas besar.
Semua ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang komprehensif, memperhatikan kesejahteraan manusia secara menyeluruh, baik fisik maupun spiritual. Mari kita terus menjaga kebersihan sebagai bagian dari identitas kita sebagai Muslim, mengikuti teladan Nabi Muhammad SAW dalam menerapkan gaya hidup sehat dan bersih.