Oleh: Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Tulisan ini terkait dengan bagaimana melihat atau memahami sesuatu dari sudut pandang orang lain. Untuk itu, saya ingin memulai dengan sebuah cerita menarik dari kehidupan Nabi Muhammad SAW. Beliau dilahirkan di Makkah, namun beliau tidak disambut baik di kampung halamannya saat mendakwahkan Islam. Karenanya, Nabi SAW mesti hijrah.
Nabi SAW dan para sahabat setianya hijrah ke Madinah. Mereka disebut Muhajirin (orang yang hijrah). Begitu sampai di Madinah, mereka disambut hangat oleh penduduk Madinah. Nabi, para sahabat dan kaum Muslimin yang hijrah diberi tempat tinggal. Warga Madinah ini disebut Anshar (penolong). Nabi, kaum Muhajirin dan Anshar berkembang di kota baru ini. Nabi SAW akhirnya kembali ke Makkah dan meraih kemenangan tanpa pertempuran. Peristiwa ini dikenal Fathul Makkah.
Nabi SAW sudah menguasai kota Makkah, tetapi masih ada ancaman dari sejumlah suku di kawasan pinggiran, seperti Bani Hawazin dan Bani Thaqif. Maka Nabi SAW bergerak untuk melawan mereka. Ketika Nabi SAW menakulukan Makkah, orang-orang yang sudah lama menentangnya di sana akhirnya menyadari bahwa perlawanan mereka bakal sia-sia. Akhirnya mereka memeluk Islam.
Banyak yang memeluk Islam saat setengah hati. Mereka baru saja masuk dalam agama ini. Ketika Nabi SAW bergerak memerangi Bani Hawazin dan Bani Thaqif, beberapa orang dari suku Quraisy, suku Nabi sendiri yang pernah menentang Islam dan sekarang baru menerima Islam, berjuang bersama-sama dengannya. Kaum Quraisy menjadi bagian dari pasukan itu.
Ketika Nabi akhirnya mengalahkan Bani Hawazin dan Bani Thaqif, tibalah saatnya membagi harta rampasan perang. Nabi memberikan bagian yang besar kepada kelompok ‘Muslim baru’ ini, banyak di antaranya yang punya pertalian dengan Nabi. Nah, Anda bisa membayangkan kegelisahan yang timbul di antara orang-orang Anshar, para penolong yang berasal dari Madinah yang telah menerima Nabi ketika dia ditolak oleh orang-orangnya sendiri. Mereka merasa tidak nyaman dan mulai berbisik satu sama lain.
Kabar ini akhirnya sampai di telinga Nabi SAW. Bahkan salah satu dari mereka datang dan mengutarakan masalah ini kepada Nabi. Kemudian Nabi bertanya, “Bagaimana denganmu? Apa pendapatmu?” Orang itu berkata, “Saya punya pandangan yang sama.” Nabi memanggil mereka semua dan berkata, "Lihatlah, bukankah kalian dulu terlantar, tetapi Allah telah mencukupi kalian? Bukankah kalian tersesat, dan Allah telah menunjukkan jalan kepada kalian lewat aku?" Dan seterusnya.
Nabi SAW mengingatkan mereka tentang manfaat iman yang mereka terima. Menariknya, beliau berkata, “Sekarang, silahkan bicaralah kepadaku. Bagaimana tanggapan kalian.” Mereka terkejut, “Wahai Rasulullah, apa yang bisa kami katakan kepada engkau?" Nabi berujar, “Kalian bisa memberi tahu aku, dan bahwa apa yang kalian katakan benar dan dipercayai. Kalian bisa memberi tahuku bahwa saat aku dan kaum Muhajirin diusir maka kalian menerima aku, saat aku ditolak oleh kaumku tapi kalian percaya kepada kami, dan manakala kami terlantar maka kalian memberikan perlindungan kepada kami.”
Nabi kemudian menjelaskan kepada kaum Anshar pelbagi nikmat yang mereka peroleh lewat kehadiran seorang Rasul. Di ujung penjelasannya, Nabi SAW berkata, “Bukankah sudah cukup bahwa orang-orang lain mendaatkan domba dan kambing, tetapi kalian membawa Nabi Allah kembali bersama kalian ke kota kalian?” Ketika Nabi berbicara seperti ini, orang-orang Anshar tercengang dan tangis mereka pecah. Ini adalah kisah yang menyentuh.
Semua ini menggambarkan kemampuan Nabi untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain. Beliau memiliki perspektif dan mampu melihat gambaran besar Islam dan umat Islam yang baru tumbuh. Lalu ada orang-orang yang baru masuk Islam. Mereka perlu dihibur. Dalam surah At-Taubah ayat 60 disebutkan zakat secara khusus boleh diberikan kepada orang-orang yang baru masuk Islam. Mereka disebut mualaf.
Hati mereka perlu didamaikan dan diperkokoh. Salah satu cara untuk memperkokoh komitmen mereka terhadap Islam adalah memberi mereka zakat dan uang. Maka Nabi melakukannya. Tetapi beliau bisa membaca raut kegelisahan dari pihak Anshar. Itu berarti dia beliau bisa melihat masalah dari perspektif kaum Anshar untuk kemudian menguraikan permasalahan ini kepada mereka.
Seringkali kita hanya melihat sesuatu dari perspektif kita sendiri, dan ini menyebabkan alienasi antara kita dan orang lain. Kita tidak memahami mereka, dan mereka tidak mengerti kita, selalu ada semacam ketegangan. Tetapi Nabi SAW memiliki kemampuan memahami ini. Karenanya, kita perlu mengasah diri mengembangkan kemampuan ini sebagai salah satu kebiasaan.
Kita perlu mencoba melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain. Saat melihat seseorang melakukan kesalahan, apa tanggapan kita? Kita bisa mengatakan, “Orang-orang ini tidak tahu apa yang mereka lakukan. Mereka tidak punya otak.” Tetapi juga ada cara lain yang bisa dikatakan, “Mereka pasti memiliki alasan tertentu melakukan itu. Mari kita mencoba memelajarinya. Ayo kita mencoba berpikir dan mencari tahu alasan apa yang mereka miliki untuk melakukan itu.”
Dengan membalikkan masalah itu dan melihatnya dari sudut pandang orang lain, kita dapat mencapai pemahaman dan penghargaan yang lebih baik terhadap orang lain. Ketegangan dan ketidakpahaman antara kita dan orang lain akan berkurang secara signifikan.