Makna Filosofi Hidup dalam Islam
Oleh: Dr. Rohmansyah, S.Th.I., M.Hum, Dosen UMY, Anggota MTT-PWM DIY dan Anggota Majelis Tabligh PP Muhammadiyah
Manusia sebagai makhluk Tuhan pasti akan menghadapi ujian atau cobaan dalam hidup. Tidak ada seorang pun yang terlepas dari ujian Allah. Allah akan menguji manusia yang hidup di dunia dengan segala isinya. Sebagian manusia ada yang terperdaya oleh dunianya, namun sebagian yang lain tetap istiqamah terhadap Allah.
Orang yang Istiqamah, ia gunakan dunianya sebagai batu loncatan untuk menggapai kebahagian di akhirat. Selangkah demi langkah ketika dia menginjak dunia terus berhati-hati, bagaikan ia berjalan di jalan yang penuh duri. Manusia yang berhati-hati itulah manusia yang bertakwa. Itulah kehidupan dunia, terkadang menjadi musuh dan melukai pemiliknya, namun juga terkadang membawa kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Perjalanan di dunia terasa lama, namun sejatihnya hanya sebentar. Banyak orang yang dipanggil oleh Allah tidak kembali dan tidak merasakan lagi kehidupan dunia ini. Ia tidur dan tidak akan bangkit kembali sampai datangnya hari kebangkitan. Karena itu, agar kehidupan dunia fana ini selamat dan bahagia, maka gunakanlah kehidupan dunia ini sebagai kendaraan menuju tujuan hidup yang lebih baik dan lebih kekal.
Orang akan senang dan bahagia dunia dan akhirat sangat tergantung kepada pengguna dan pemiliknya, sebagaimana kita memiliki kendaraan mobil atau motor. Ketika pemilik nya berhati-hati dalam menggunakan kendaraan tersebut, maka tentu selamat dan mencapai tujuan yang dicita-citakan. Namun sebaliknya, jika tidak berhati-hati, maka pasti akan mengalami kesulitan dan kebinasaan.
Allah SWT mengingatkan kepada manusia yang beriman, bahwa dunia adalah tempat permainan, senda gurau, tempat sementara atau tempat yang menipu. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ (الحديد 57: 20)
“Ketahuilah bahwa kehidupan dunia itu hanyalah permainan, kelengahan, perhiasan, dan saling bermegah-megahan di antara kamu serta berlomba-lomba dalam banyaknya harta dan anak keturunan. (Perumpamaannya adalah) seperti hujan yang tanamannya mengagumkan para petani, lalu mengering dan kamu lihat menguning, kemudian hancur. Di akhirat ada azab yang keras serta ampunan dari Allah dan keridaan-Nya. Kehidupan dunia (bagi orang-orang yang lengah) hanyalah kesenangan yang memperdaya.” (QS. Al-Hadīd 57: 20).
Ayat di atas menurut Ibnu Katsir, Allah menegaskan bahwa kehdupan dunia ini hina dan rendah di hadapan-Nya dan hanya dipandang mulia dan dicintai oleh makhluk-Nya. Hal ini sebagaimana Allah tegaskan dalam ayat yang lain:
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ (أل عمران 3: 14)
“Dijadikan indah bagi manusia kecintaan pada aneka kesenangan yang berupa perempuan, anak-anak, harta benda yang bertimbun tak terhingga berupa emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik.” (QS. Ali Imran 3: 14).
Ayat tersebut dikuatkan oleh hadis berikut:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولُ اللهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : أَلاَ إنَّ الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ ، مَلْعُونٌ مَا فِيهَا ، إِلاَّ ذِكْرَ اللهِ تَعَالَى ، وَمَا وَالاهُ ، وَعالِماً وَمُتَعَلِّماً )رواه الترمذي (
“Dari Abi Hurairah RA berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: Ingatlah bahwa dunia itu dilaknat dan dilaknat pula semua isinya, kecuali ingat kepada Allah Dzat Yang Maha Tinggi, apa yang mengikutinya, orang alim dan orang yang belajar.” (HR. At-Tirmiżi).
Al-Mubarakfuri mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan dunia dilaknat adalah dibenci oleh Allah karena menjadikan dunia sebagai sembahan, semua isi dunia juga dilaknat karena ia terjebak dengan dunia sehingga sibuk dengan dunianya dan tidak ada waktu lagi untuk beribadah kepada Allah SWT.
Fenomena kehidupan dunia yang telah mencapai klimaks, membuat manusia lupa terhadap Pencipta-Nya dan cenderung mengabaikan apa yang menjadi tugasnya sebagai khalifah di bumi. Semakin derasnya gesekan kehidupan, harusnya semakin bertahan dan bersabar serta terus meningkatkan iman dan takwa kepada Allah. Imam al-Ghazali mengatakan dalam kitab Ihya Ulumuddin, beliau mengutip perkataan Ali bin Abi Thalib, ketika Ali mengirim surat kepada Salman al-Farisi tentang perumpama-an dunia:
“Perumpamaan dunia sama seperti ular, lembut bila dipegang tetapi racunnya mematikan. Sebab itu, berpalinglah engkau dari bagian dunia yang membuatmu terpesona karena hanya sedikit saja darinya yang akan menemanimu. Hindarilah kesusahan dengan keyakinanmu bahwa engkau pasti akan berpisah dengannya. Jadilah orang yang paling menjauhinya dan paling waspada terhadapnya. Sebab ketika pemiliki dunia itu merasa tenang dalam kesenangan, maka dunia telah menjerumuskan kepada hal-hal yang disukai.”
Hidup manusia hanya sekali di dunia, dan akan hidup selamanya di akhirat setelah melewati pase kematian. Manusia akan dibangkitkan lagi menuju kepada hidup yang sesungguhnya yakni kehidupan akhirat. Maka pertanyaannya, apakah kita akan bahagia di akhirat, jawabannya sangat tergantung pada perbuatan kita di dunia ini. Maka perbanyaklah kebaikan, baik kebaikan kepada Allah maupun kepada sesama manusia.
Dua pilar vertikal dan horizontal yakni ḥablum minallāh (حَبْلٌ مِّنَ اللهِ) dan ḥablum mina al-Nās (حَبْلٌ مِّنَ النَّاسِ) yang harus dijadikan pegangan utama dalam menjalani hidup dan kehidupan. Allah memberikan solusi terbaik bagi manusia yang beriman, sebagaimana tersebut dalam surat al-Qashash ayat 77:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ (القصص 28: 77).
“Dan, carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (pahala) negeri akhirat, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia. Berbuatbaiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash 28: 77).
Solusi yang disampaikan dalam ayat tersebut merupakan solusi Ilahi untuk menyeimbangkan antara kehidupan duniawi dan ukhrawi agar berjalan sesuai kehendak dan Ridha-Nya. Allah menghendaki manusia berbuat baik dan tidak menghendaki berbuat kerusakan. Hidup di dunia hanya sebentar dan harus dimanfaatkan secara maksimal. Memaksimalkan mencari harta dunia dengan sungguh-sungguh demi memaksimalkan ibadah dengan Ikhlas karena Allah.
Ibadah yang dijalankan harus sesuai tata aturan yang benar untuk mendapat kebahagian hakiki yakni kehidupan akhirat. Karena itu, gembira dan bahagia tidak dapat ditentukan dengan banyaknya harta, namun hidup bahagia hanya bisa diukur dan ditentukan dengan kekayaan hati, ketenangan dan kenyamanan dalam melakukan aktivitas tanpa bersandar kepada harta dunia. Allah akan memanggil dan menyambut manusia yang memiliki jiwa dan hati yang suci untuk masuk ke dalam surga-Nya.