Makna Hijab
Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Ketika kita berbicara tentang pakaian wanita atau syal yang dipakai di atas kepala untuk menutup rambut, kita menyebutnya hijab atau jilbab. Banyak yang mengacu pada surah ke-33 (Al-Ahzab) ayat 53 terkait dengan kewajiban hijab bagi wanita dalam Islam. Bagaimana sebetulnya Al-Qur’an berbicara tentang hijab?
Kata ‘hijab’ digunakan dalam Al-Qur’an sebanyak tujuh kali. Tiga kata mengacu pada semacam penghalang psikologis antara Nabi SAW dan mereka yang tidak beriman kepadanya. Allah mengatakan bahwa antara Nabi dan mereka hijab atau penghalang.
“Dan apabila kamu membaca Al-Qur'an, wahai Nabi, maka Kami akan membuatkan antara kamu dan orang-orang yang tidak mengimani akhirat sebuah ‘hijab’ (dinding penghalang) yang menghalangimu dari mereka, sehingga mereka tidak bisa melihatmu” (QS 17:45). Ini menyangkut penghalang psikologis, mental block.
Ada tabir antara penghuni surga dan penghuni neraka. Allah berfiman, “Dan di antara keduanya (penghuni surga dan neraka) ada batas; dan di atas A'raaf itu ada orang-orang yang mengenal masing-masing dari dua golongan itu dengan tanda-tanda mereka” (QS 7:46). Dalam kisah Nabi Sulaiman AS dalam surah ke-30 ayat ke-32 kata hijab ini juga ditemukan, “maka dia berkata, "Sesungguhnya aku menyukai segala yang baik (kuda), yang membuat aku ingat akan (kebesaran) Tuhanku, hattâ tawârat bil hijâb” (QS 30:32). Pada ayat ini berbunyi ‘hattâ tawârat bil hijâb’—yang secara harfiah bermakna ‘hingga mereka terhalangi/tersembunyi/tertutup oleh tirai/penghalang (hijab).’ Apa artinya? Beberapa ahli tafsir mengatakan bahwa kuda-kuda tersebut melesat dan ketika sudah jauh, kuda-kuda ini tidak bisa lagi dilihat karena terhalang oleh cakrawala. Beberapa mufasir berpendapat ini merujuk kepada terbenamnya matahari yang tidak lagi dapat dilihat melewati cakrawala.
Maka kita dapat melihat makna hijab secara umum; sesuatu yang menghalangi seseorang dari pandangan. Kata hijab juga ada hubungannya dengan seorang wanita menyembunyikan dirinya. Ini ada dalam kisah Maryam. Dalam surah Maryam, Al-Qur’an menyatakan, “lalu dia memasang tabir (yang melindunginya) dari mereka; lalu Kami mengutus roh Kami (Jibril) kepadanya, maka dia menampakkan diri di hadapannya dalam bentuk manusia yang sempurna” (QS 19:17). Di sini ada kalimat “fattakhadzat min dûnihim hijâban” (lalu dia memasang tabir (yang melindunginya) dari mereka). Di sini kata ‘hijab’ bermakna tabir, sesuatu yang memberikan privasi atau perlindungan kepada Maryam.
Maka hal yang sama juga diterapkan pada surah 33 ayat 53. Ayat ini bukan berbicara tentang hijab sebagai pakaian, sepotong kain yang dikenakan wanita di atas kepalanya. Ayat ini tentang tabir. Sebenarnya mufasir klasik berusaha menjelaskan hal ini dengan memahami Asbabul Nuzul ayat tersebut. Menurut sementara mufasir klasik, terkait Asbabul Nuzul surah 33 ayat 53, bahwa Nabi SAW baru saja menikah dan beliau mengadakan perjamuan untuk para tamunya. Para tamu datang pada waktu tertentu karena rumah Nabi tidak begitu besar. Mereka datang, makan dan pergi secara bergantian. Tetapi beberapa orang tetap di sana untuk ngobrol bahkan sekadar bagian dari basa-basi. Ayat ini bertalian dengan etika berkunjung ke rumah tetangga.
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali jika kamu diizinkan untuk makan tanpa menunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu dipanggil maka masuklah dan apabila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mengganggu Nabi sehingga dia (Nabi) malu kepadamu (untuk menyuruhmu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. (Cara) yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak boleh (pula) menikahi istri-istrinya selama-lamanya setelah (Nabi wafat). Sungguh, yang demikian itu sangat besar (dosanya) di sisi Allah.” (QS 33:53).
Jadi kata ‘hijab’ di sini adalah semacam layar atau tabir sebagai penghalang. Ini bukan berbicara bahwa para wanita harus mengenakan pakaian tertentu. Bisa saja para wanita berpakaian tertentu; ada gaun rumah dan pakaian saat bepergian keluar ruamh. Mungkin para wanita di sana dengan gaun rumah biasa. Karenanya, mereka akan sangat nyaman bila ada layar pembatas, memisahkan mereka dari Nabi SAW. Katakanlah antara ruang tamu dari kamar tidur. Jangan membayangkan rumah di zaman Nabi seperti kebanyakan rumah hari ini; banyak tingkat dengan banyak kamar yang masing-masing memiliki pintu yang bisa terkunci. Saat itu hanya satu ruang terbuka. Jadi butuh tabir untuk membuat ruang terpisah.
Lebih lanjut riwayat menyebutkan saat banyak tamu berada di sana dan waktu itu belum ada tabir pembatas, Nabi terganggu oleh kehadiran para tamu yang berlama-lama setelah makan malam. Tentu sulit untuk menyuruh mereka pergi. Bahkan kita pun hari ini juga melakukan hal yang sama, bukan? Setelah hidangan makan malam di rumah seseorang, sebagai tamu kita tanpa sadar atau memang sengaja menikmati suasana dan percakapan. Kita berlama-lama di sana dan mengobrol. Terkadang kita lupa betapa tidak nyamannya hal itu bagi tuan rumah.
Dalam konteks di ayat di atas, Nabi SAW memutuskan keluar rumah. Seharusnya ini menjadi sinyal bagi tamu karena tuan rumah menghilang atau pergi. Tapi nyatanya para tamu masih saja di sana. Ketika Nabi kembali, beliau mendapati para tamu masih belum pulang. Lalu Nabi keluar lagi dan kembali. Tapi para tamu belum beranjak pergi. Setelah mereka paham, barulah tamu-tamu itu pulang.
Anas Bin Malik, seorang bocah lelaki yang ‘magang’ dengan Nabi SAW dan kemudian menjadi anak angkat beliau, menceritakan kisah itu. Dia mengatakan bahwa wahyu turun kepada Nabi merespons keadaaan ini. Lalu beliau membuat layar yang memisahkan antara Nabi, keluarganya dan Anas.
Pertanyaannya, apakah situasi ini berlaku untuk wanita Muslim ketika berinteraksi pria? Haruskah ada tabir baik fisik atau pun virtual di antara mereka? Sejumlah kelompok Islam memahaminya harfiah. Tatkala mereka melihat bahwa sesuatu yang dilakukan—baik oleh para istri Nabi atau para sahabat Nabi secara umum—mereka melihat ini sesuatu yang baik dan harus di copy and paste. Itu adalah hal yang baik dan panutan bagi segenap Muslim. Hanya saja, mengatakan bahwa itu semua sebagai persyaratan untuk tiap Muslim adalah tindakan yang terlalu jauh.
Pertama, sangat jelas dalam konteks surah 33 secara keseluruhan bahwa para istri Nabi SAW itu istimewa. Mereka tidak seperti wanita lain. Pada akhir ayat 53 Al-Qur’an mengatakan kepada orang-orang Mukmin, “Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak boleh (pula) menikahi istri-istrinya selama-lamanya setelah (Nabi wafat). Sungguh, yang demikian itu sangat besar (dosanya) di sisi Allah” (QS 33:53).
Sekarang kita dapat melihat situasinya. Jika salah seorang laki-laki Muslim jatuh cinta dengan salah satu istri Nabi atau keinginan untuk menikah dengan salah satu dari istri Nabi, ini dapat menyebabkan kekhawatiran besar karena ini sudah dilarang bagi para laki-laki Muslim. Sebagai tindakan pencegahan, istri-istri Nabi harus berperilaku dengan cara tertentu. Sikap demikian tidak dituntut kepada wanita Muslimah lain. Ayat ini sangat tegas menegaskan perbedaan tersebut.
Masih pada surah yang sama, kita juga melihat perbedaan yang tegas, “Wahai istri-istri Nabi! Barangsiapa di antara kamu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya azabnya akan dilipatgandakan dua kali lipat kepadanya. Dan yang demikian itu, mudah bagi Allah” (QS 33:30). Sangat jelas di sini bahwa istri -istri Nabi SAW memiliki persyaratan khusus. Saat mereka melakukan kekejian, maka hukuman mereka akan dua kali lipat. Sebaliknya, jika mereka mematuhi Allah dan Rasulu-Nya maka mereka akan mendapatkan balasan dua kali lipat, “Dan barangsiapa di antara kamu (istri-istri Nabi) tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan kebajikan, niscaya Kami berikan pahala kepadanya dua kali lipat dan Kami sediakan rezeki yang mulia baginya” (QS 33:31). Pada ayat berikutnya ditegaskan dengan begitu jelas, “Wahai istri-istri Nabi! Kamu tidak seperti perempuan-perempuan yang lain….” (QS 33:33).
Jadi sangat jelas bahwa ada aturan khusus untuk istri Nabi. Dengan demikian, kita tidak bisa secara langsung mengatakan karena ini adalah aturan bagi istri Nabi, maka ia menjadi aturan bagi semua wanita Muslimah. Jika wanita Muslimah melihat ada sesuatu yang baik dalam aturan itu, lalu berlaku untuk situasi mereka dan mereka melakukannya, bermakna mereka melihat itu sesuatu baik. Tetapi jika aturan itu membebani kaum Muslimah untuk diterapkan, maka bisa dikatakan bahwa aturan itu hanya khusus istri-istri Nabi, tidak harus untuk keseluruhan wanita Muslimah. Wallâhu a`lam.