Oleh: Muhammad Akhyar Adnan, Dosen Prodi Akuntansi, FEB Universitas Yarsi
Bahasa adalah cermin budaya, sejarah, dan pemikiran suatu masyarakat. Dalam perkembangannya, bahasa sering kali mengalami pergeseran makna, adopsi, dan transformasi yang mencerminkan dinamika sosial. Salah satu istilah dalam bahasa Indonesia yang patut dikritisi adalah "korban". Istilah ini, yang kini lazim digunakan untuk merujuk pada seseorang yang mengalami penderitaan atau kerugian akibat suatu peristiwa, seperti "korban bencana alam" atau "korban kecelakaan", ternyata memiliki akar yang jauh lebih dalam dan sakral. Artikel ini akan menelusuri asal-usul istilah "korban", pergeseran maknanya yang menyesatkan, dan urgensi mencari istilah pengganti yang lebih tepat agar sesuai dengan makna aslinya serta tidak menimbulkan kebingungan semantik.
Asal-Usul Istilah "Korban" dan Makna Awalnya
Istilah "korban" dalam bahasa Indonesia diyakini berasal dari kata Arab qurban (قربان), yang secara harfiah berarti "pendekatan" atau "sesuatu yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT". Dalam tradisi Islam, qurban merujuk pada penyembelihan hewan kurban pada Hari Raya Iduladha, sebagai bentuk ketaatan dan pengorbanan kepada Allah, sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim AS. Makna ini sangat sakral dan positif, mengandung nilai spiritual tentang pengabdian, keikhlasan, dan kedekatan dengan Tuhan.
Dalam konteks ini, "korban" seharusnya mengacu pada sesuatu yang diberikan dengan penuh kesadaran dan keikhlasan untuk tujuan mulia. Hewan kurban, misalnya, disembelih sebagai wujud syukur dan untuk dibagikan kepada yang membutuhkan, sehingga mencerminkan nilai-nilai solidaritas sosial dan keimanan. Namun, dalam perkembangan penggunaannya di bahasa Indonesia, makna "korban" telah bergeser jauh dari akar semantiknya.
Pergeseran Makna: Dari Sakral ke Profan
Seiring waktu, istilah "korban" dalam bahasa Indonesia mulai digunakan untuk merujuk pada pihak yang mengalami kerugian, penderitaan, atau menjadi "mangsa" dari suatu kejadian. Kita sering mendengar frasa seperti "korban penipuan", "korban kecelakaan", atau "korban bencana alam". Dalam penggunaan ini, "korban" menjadi sinonim dengan victim dalam bahasa Inggris atau mangsa dalam bahasa Melayu, yang mengacu pada seseorang yang menderita atau menjadi pihak yang dirugikan.
Pergeseran makna ini menimbulkan kontradiksi yang mencolok. Jika dalam makna aslinya "korban" mengandung unsur keikhlasan dan pengabdian, maka dalam penggunaan modern, istilah ini justru mengandung konotasi pasif, penderitaan, dan ketidakberdayaan. Seorang "korban kecelakaan", misalnya, tidak memiliki kendali atas situasi yang dialaminya, dan tidak ada unsur pengabdian atau keikhlasan dalam konteks tersebut. Pergeseran ini membuat istilah "korban" kehilangan makna aslinya yang sakral dan malah menjadi sesuatu yang profan, bahkan negatif.
Menurut beberapa ahli linguistik, pergeseran makna seperti ini sering terjadi ketika sebuah kata dipinjam dari bahasa lain dan digunakan dalam konteks budaya yang berbeda. Dalam kasus "korban", adopsi kata qurban ke dalam bahasa Indonesia kemungkinan besar dipengaruhi oleh konteks kolonial dan interaksi budaya, sehingga makna aslinya perlahan terkikis dan digantikan dengan makna baru yang lebih sesuai dengan kebutuhan komunikasi masyarakat setempat. Namun, pergeseran ini juga menimbulkan masalah, terutama ketika makna asli yang sakral menjadi kabur dan bercampur dengan konotasi yang sama sekali berbeda.
Mengapa Pergeseran Ini Bermasalah?
Pergeseran makna "korban" dari qurban yang sakral menjadi victim yang profan adalah sebuah pelencengan semantik yang menyesatkan. Ada beberapa alasan mengapa hal ini menjadi masalah serius:
Kebingungan Semantik: Penggunaan istilah "korban" dalam dua konteks yang sangat berbeda—yaitu kurban dalam ritual keagamaan dan korban sebagai penderita—dapat menimbulkan kebingungan. Misalnya, frasa "korban Iduladha" jelas merujuk pada hewan kurban. Namun, ketika mendengar "korban kecelakaan", maknanya berpindah menjadi seseorang yang menderita. Dua makna yang bertolak belakang ini terkandung dalam satu kata yang sama, sehingga berpotensi membingungkan.
Hilangnya Makna Sakral: Makna asli qurban yang mengandung nilai spiritual dan keikhlasan menjadi terkikis. Istilah "korban" yang seharusnya mengacu pada tindakan mulia kini lebih sering diasosiasikan dengan penderitaan dan ketidakberdayaan. Hal ini dapat mengurangi kekayaan makna spiritual yang terkandung dalam istilah tersebut.
Dampak Psikologis dan Sosial: Penggunaan istilah "korban" untuk merujuk pada pihak yang menderita juga memiliki implikasi psikologis. Istilah ini dapat memperkuat narasi ketidakberdayaan dan kepasifan, yang mungkin tidak selalu sesuai dengan semangat pemulihan atau pemberdayaan. Sebagai contoh, menyebut seseorang sebagai "korban" dapat membuat mereka merasa lebih lemah dan kurang termotivasi untuk bangkit dari situasi sulit.
Preseden Pergantian Istilah dalam Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia bukanlah bahasa yang statis; ia terus berkembang seiring dengan dinamika masyarakat penggunanya. Salah satu bukti fleksibilitas bahasa Indonesia adalah adanya pergantian istilah untuk menyesuaikan dengan sensitivitas budaya atau kebutuhan semantik. Contohnya, istilah "perkosa" yang sebelumnya digunakan secara luas kini mulai digantikan dengan "rudapaksa". Pergantian ini dilakukan untuk menghindari konotasi yang terlalu kasar atau menyakitkan, sekaligus memberikan nuansa yang lebih formal dan netral.
Selain itu, ada pula pergantian istilah lain yang menunjukkan fleksibilitas bahasa Indonesia. Misalnya, istilah "buta huruf" yang dulunya umum digunakan untuk menyebut seseorang yang tidak bisa membaca dan menulis kini sering digantikan dengan "tidak melek huruf". Pergantian ini bertujuan untuk mengurangi konotasi negatif dari kata "buta", yang dapat dianggap merendahkan, dan menggantinya dengan ungkapan yang lebih netral serta sensitif.
Contoh lain adalah istilah "cacat" yang sebelumnya digunakan untuk merujuk pada seseorang dengan disabilitas. Istilah ini kini mulai digantikan dengan "difabel" atau "penyandang disabilitas". Pergantian ini dilakukan untuk menghindari stigma negatif yang melekat pada kata "cacat", yang sering diasosiasikan dengan kekurangan atau ketidaksempurnaan, dan menggantinya dengan istilah yang lebih inklusif serta menghormati.
Pergantian-pergantian istilah ini menunjukkan bahwa bahasa Indonesia memiliki kapasitas untuk beradaptasi dan memperbaiki diri. Oleh karena itu, mencari istilah pengganti untuk "korban" dalam konteks penderita bukanlah sesuatu yang mustahil. Sebaliknya, langkah ini dapat menjadi bagian dari upaya untuk menjaga kemurnian makna asli qurban sekaligus menciptakan kejelasan semantik dalam penggunaan bahasa sehari-hari.
Usulan Istilah Pengganti
Untuk mengatasi permasalahan ini, kita perlu mencari istilah pengganti yang lebih tepat untuk menggantikan "korban" dalam konteks penderita, sehingga istilah "korban" dapat dikembalikan pada makna aslinya, yaitu qurban. Berikut beberapa usulan istilah yang dapat dipertimbangkan:
Penderita: Istilah ini sudah sering digunakan dalam bahasa Indonesia, misalnya "penderita penyakit" atau "penderita bencana". "Penderita" memiliki makna yang netral dan tidak mengandung konotasi sakral, sehingga cocok untuk menggantikan "korban" dalam konteks yang merujuk pada seseorang yang mengalami penderitaan.
Mangsa: Istilah ini sebenarnya sudah ada dalam bahasa Indonesia, meskipun lebih sering digunakan dalam bahasa Melayu. "Mangsa" berarti seseorang atau sesuatu yang menjadi sasaran atau korban dari suatu kejadian, seperti "mangsa kecelakaan". Penggunaan "mangsa" dapat menjadi alternatif yang lebih tepat karena tidak memiliki kaitan dengan makna sakral qurban.
Terdampak: Istilah ini sering digunakan dalam konteks bencana atau peristiwa besar, seperti "warga terdampak banjir". "Terdampak" memiliki nuansa yang lebih netral dan tidak membawa konotasi penderitaan yang terlalu kuat, sehingga dapat menjadi pilihan yang baik.
Langkah Menuju Perubahan
Mengganti sebuah istilah yang sudah lazim digunakan dalam bahasa bukanlah hal yang mudah. Dibutuhkan upaya kolektif dari berbagai pihak, termasuk akademisi, penutur bahasa, media, dan pemerintah. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat diambil untuk memulai perubahan ini:
Sosialisasi dan Edukasi: Melalui media, seminar, dan kampanye bahasa, masyarakat dapat diedukasi tentang pentingnya menjaga makna asli qurban dan perlunya istilah pengganti untuk konteks penderita.
Penggunaan oleh Media: Media massa memiliki peran besar dalam membentuk kebiasaan berbahasa masyarakat. Jika media mulai menggunakan istilah pengganti seperti "penderita" atau "mangsa", lambat laun masyarakat akan terbiasa dengan istilah tersebut.
Revisi Kamus dan Pedoman Bahasa: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dapat mempertimbangkan untuk merevisi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dengan menambahkan catatan tentang penggunaan "korban" dan merekomendasikan istilah pengganti.
Kesimpulan
Istilah "korban" dalam bahasa Indonesia telah mengalami pergeseran makna yang signifikan, dari qurban yang sakral menjadi sinonim victim yang profan. Pergeseran ini menimbulkan kebingungan semantik, menghilangkan makna spiritual asli, dan berpotensi memiliki dampak psikologis yang kurang positif. Oleh karena itu, sudah saatnya kita mencari istilah pengganti yang lebih tepat, seperti "penderita", "mangsa", atau "terdampak", untuk menggantikan "korban" dalam konteks penderita, sehingga makna asli qurban dapat kembali murni. Dengan langkah-langkah sosialisasi, dukungan media, dan revisi pedoman bahasa, perubahan ini dapat diwujudkan demi menjaga kekayaan dan kejelasan bahasa Indonesia.