Masalah dan Tantangan Tabligh Muhammadiyah
Oleh Prof DR H Haedar Nashir, M.Si.
Majelis tabligh merupakan pranata organisasi yang penting, krusial, dan strategis dalam Muhammadiyah. Melalui tabligh ajaran Islam disebarluaskan untuk diyakini, dihayati, dipahami, dan diamalkan atau dipraktikkan dalam kehidupan kaum muslim. Melalui tabligh pula ajaran Islam didakwahkan untuk dipahami bagi mereka yang belum beragama Islam dengan kemungkinan ada yang tergerak hatinya menjadi muslim, namun bagi yang tidak tertarik diharapkan dapat mengerti dan tidak salahpaham tentang Islam.
Melalui institusi tabligh yang dilakukan Muhammadiyah dengan segala aktivitasnya diharapkan semakin banyak warga umat dan warga masyarakat yang tertarik menjadi anggota sehingga gerakan Islam yang didirikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan tahun 1912 ini kian besar. Muhammadiyah dapat menjadi semakin besar jumlah anggotanya, selain banyak amal usaha serta kualitas gerakannya. Lebih-lebih Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan yang berbasis anggota atau massa maka dengan semakin besar jumlah anggotanya kian kuat posisi dan perannya dalam kehidupan umat, bangsa, dan relasi global.
Pada saat ini penting menjadi perhatian tentang ketabligan khususnya maupun gerakan Muhammadiyah pada umumnya yang menghadapi masalah dan tantangan semakin kompleks. Termasuk masalah keanggotaan atau yang menjadi anggota Muhammadiyah. Menurut survei, warga masyarakat yang merasa menjadi bagian dari Muhammadiyah semakin sedikit. Bila hasil survei tersebut akurat dan konstan, maka sangat penting untuk menjadi perhatian serius bagi Muhammadiyah. Kalaupun tidak ada survei, tetaplah penting bagaimana memastikan jumlah anggota dan simpatisan Muhammadiyah untuk kepentingan eksistensi dan keberlanjutan masa depan organisasi Islam ini, salah satunya melalui pembaruan tabligh.
Masalah Tabligh
Dunia keagamaan saat ini di tingkat domestik maupun global semakin menghadapi masalah kehidupan yang berat. Problem kehidupan akibat perubahan dahsyat mengalami “chaos” (ketidakberaturan nilai dan perilaku) atau “disrupsi” (perubahan besar-besaran yang menyebabkan kekacauan atau penjungkirbalikkan nilai, pemikiran, dan tindakan). Francis Fukuyama “The Great Disruption” yakni kekacauan besar-besaran di AS seperti aborsi, runtuhnya keluarga, dan lain-lain. Alvin Toffler “The Future Shock” atau disorientasi manusia dalam kehidupan modern. Kehidupan manusia sedunia saat ini sejatinya mengalami persoalan ruhaniah yang serius. Sejak era modern hingga posmodern dan disrupsi, problem kemanusiaan dengan berbagai dimensinya mengalami disrupsi yang serius, yang oleh Francis Fukuyama disebut “The Great Disruption”, yakni kekacauan hidup manusia yang dahsyat atau besar.
Fenomena Ateis di Dunia Islam. Pew Research Center, pada 2015 terdapat 317 juta umat Muslim atau sekitar 93% yang tinggal di Timur Tengah. Pada 2019, dalam survei BBC International terjadi peningkatan persentase penduduk yang tidak beragama, dari awalnya hanya 8% pada 2013 menjadi 13% pada 2019. Beberapa lembaga juga pernah melakukan jajak pendapat dalam tingkat regional. Di Iran, dalam riset "Iranian's Attitudes Toward Religion (2020)" terungkap bahwa 47% dari 40.000 responden mengaku telah beralih dari beragama menjadi ateis. Di Turki, menurut laporan lembaga survey Konda pada 2019, ditemukan bahwa jumlah orang Turki yang mengaku menganut Islam telah turun dari 55% menjadi 51%. "Penurunan ini bukan beralih ke agama lain tetapi menjadi ateis," bunyi laporan itu.
Di Mesir, mengutip Deutsche Welle, Universitas Al-Azhar Kairo pada 2014 juga melakukan survey tentang topik serupa. Hasilnya 10,7 juta dari 87 juta penduduk Mesir mengaku menjadi ateis, mencapai 12,3% dari keseluruhan populasi. Hal sama juga terjadi di Arab Saudi. Mengutip laporan "Saudi Arabia 2021 International Religious Freedom Report (2021)" tercatat ada 224 ribu yang memilih tidak beragama, baik ateis atau agnostik. Waleed al-Hussaini orang Palestina di akun Facebook terang2an menulis "Ana Allahu". Darul Ifta Mesir juga melansir yang sama. Ada cukup banyak orang-orang di Timur Tengah memilih “bercerai” dengan agama lamanya.
Di Indonesia pasca reformasi kecenderungan longgar dari agama mulai menggejolak sejak reformasi. Disertasi Saiful Mujani "Islam di Indonesia" (2002) setidaknya 1% orang Indonesia mengaku meragukan atau tidak percaya Tuhan. Di jejaring sosial Facebook muncul grup: Indonesian Atheist Society, The Indonesian Community for Agnostic, Atheist and Sceptic, Indonesian Freethinkers, dan Komunitas Agnostik Republik Indonesia. Belum terdaftar masalah-masalah sosial, ekonomi, pendidikan, lingkungan, dan problem kemasyarakatan lainnya yang semakin kompleks di tengah perubahan sosial yang dahsyat di era revolusi iptek, revolusi industri 4.0, globalisasi, dan dunia modern abad ke-21 yang multidimensi.
Bagaimana Islam hadir menghadapi dan memecahkan masalah kemanusiaan dan ekosistem kehidupan yang kompleks itu? Karenanya kegiatan tabligh niscaya semakin canggih, tepat sasaran, mampu memecahkan masalah, dan menjadi suluh pencerahan bagi kehidupan masyarakat seluas-luasnya. Pendekatan tabligh harus semakin kuat mengedepankan dakwah “lil-muwajahah” (proaktif-konstruktif-solutif) sebagai perwujudan dari penyebaran risalah dengan cara “bil-hikmah, wal mau’idhatil hasanah, wajadilhum billati hiya ahdan” dalam orientasi utama “rahmatan lil-‘alamin”. Jika tabligh pendekatannya positif, konstruktif, dan solutif maka umat dakwah dan umat ijabah akan semakin mendekat kepada Islam dan pembawa misi dakwah. Manakala mereka belum menerima pesan tabligh dan dakwah Muhammadiyah, maka setidaknya tidak menjauhi dan antipati terhadap Islam dan Muhammadiyah.
Karena itu dalam bertablig dan berdakwah penting menjauhi pendekatan “lil-mu’aradlah” (reaktif-konfrontatif-negatif) yang membuat sasaran tabligh makin menjauh dan antipati. Perbaiki konten dan cara bertabligh agar semakin menarik dan mencerahkan. Boleh jadi kecenderungan banyak umat atau masyarakat tidak merasa menjadi bagian dari Muhammadiyah karena salah satunya isi dan pendekatan tabligh maupun dakwah Muhammadiyah bersifat konfrontatif, negatif, dan antipati sehingga mengundang sikap yang sama dari umat dan sasaran tabligh. Jika umat, warga, dan publik banyak disalah-salahkan oleh para mubaligh, da’i, kader, dan pimpinan Muhammadiyah baik dalam hal beragama maupun bermasyarakat dan berbangsa pun akan otomatis mereka bersikap menjauh dan antipati terhadap Muhammadiyah.
Tantangan Tabligh
Tabligh khususnya dan dakwah pada umumnya harus menghadirkan Islam sebagai “kanopi suci kehidupan”. Kehidupan manusia sedunia saat ini sejatinya mengalami persoalan ruhaniah yang serius. Menurut Yuval Noah Harari dalam “Homo Deus” (2016). Banyak ranah kehidupan yang semula berdimensi “metafisik” dibuat menjadi urusan “teknis”. Kematian pun dianggap wilayah teknis-teknologis, sehingga manusia pasca revolusi saintifik dapat membikin proyek pemanjangan usia dari 150 sampai 500 tahun. Sejak era modern hingga posmodern dan disrupsi, problem kemanusiaan dengan berbagai dimensinya apa yang oleh Francis Fukuyama disebut “The Great Disruption”, yakni kekacauan hidup manusia yang dahsyat atau besar.
Problem manusia modern era revolusi saintek justru terletak pada nalar instrumentalnya yang serba teknis, teknologis, dan pragmatis. Kini dunia menghadapi apa yang disebut David Wallace-Wells (2019) sebagai “The Uninhibitable Earth”. Yakni kisah tentang masa depan ketika bumi tidak dapat lagi dihuni. Ancaman dari perubahan iklim lebih total dan lebih luas ketimbangan ancaman dari bom. Berbagai bencana alam yang tidak lagi alami, badai, kelaparan, laut yang sekarat, udara yang tidak dapat dihirup, wabah akibat pemanasan, ambruknya ekonomi, konflik akibat iklim, terkait dengan perubahan iklim global. Kehidupan diambang kepunahan menyerupai kiamat, manusia tidak dapat lagi memilih planet karena inilah tempat satu-satunya di alam semesta yang dapat disebut sebagai rumah.
Hans Kung menawarkan etika global (the global ethics) dari jalan buntu modernisme-posmodernisme yang sekuler. Bagi Kung, usaha meniadakan pengaruh agama yang dilakukan para pemikir ateistik separti Feuerbach, Marx dan Nietzsche sejatinya bermasalah bagi dunia kemanusiaan itu sendiri. Atasnama “tuhan kebebasan” yang disuarakan para pemikir liberal-sekular, manusia jatuh ke titik nol dehumanisasi yang sistematik. Karenanya penting menghadirkan kembali agama sebagai “basic trust” tentang hidup. Tulis Kung, “Jika seseorang beragama, dia tahu apa yang sedang dilakukannya di dunia, dia tahu makna hidup dan tindakannya, penderitaan dan kematiannya. Dia tahu standar-standar etik dan dasar moral yang harus diikutinya. Dia juga tahu dalam jemaat mana hidup rohaninya merasa betah atau nyaman”. Dalam bukunya, Eternal Life?, Kung mengajak manusia modern bertanya kembali, “apakah anda percaya akan hidup yang kekal?
Apa yang digugat atau dipertanyakan Hans Kung, secara khusus dikritisi oleh Roy Scranton, seputar dunia kemanusiaan yang kehilangan perspektif filosofis atau metafisika akibat hidup dalam sangkar-besi dunia antroposen. Scranton memberi peringatan keras tentang “Learning to Die in the Anthropocene”, bahwa “Tantangan terbesar yang dihadapi manusia adalah tantangan filosofis: bagaimana mengerti bahwa peradaban ini sudah mati”. Pemikiran ini menggambarkan peralihan pemikiran menuju “kiamat”, baik secara harfiah maupun budaya, politik, dan etika. Atau apakah ada pilihan lain berupa perenungan atau refleksi menghadapi pergulatan manusia menuju ke arah sebaliknya.
Kita saat ini dapat bertanya lebih lanjut, “bagaimana dan melalui cara apa agama di era disrupsi dunia posmodern mampu hadir untuk mencerahkan kehidupan manusia?”. Steven Pinker dalam “Enlightenment Now”, menawarkan konsep manusia di era ini mesti mengembangkan “a humanistic sensibility” untuk menumbuhkan sentimen empati seperti kemurahan hati, belas kasih, dan rasa saling memahami satu sama lain. Sifat-sifat empati tersebut menghidupkan watak alami manusia sebagai makhluk yang “merasa” (sentient), yang saat ini boleh jadi tergerus oleh pola pikir rasional-instrumental maupun pandangan keagamaan yang dangkal.
Di tengah dunia chaos, anomali, dan kehilangan etika-spiritual global, kaum muslimin layak menyimak kembali pertanyaan Mohammad Iqbal, dalam “The Reconstruction of Religious Thought in Islam” (1930), “mungkinkah agama hadir?”. Peluang untuk kehadiran agama sangat besar, karena menurut sosiolog Bryan Wilson dalam “Religion in Secular Society”, bahwa pada masyarakat modern yang sekuler sejatinya masih terdapat tempat pada kehadiran dan pengaruh agama, sebab “masyarakat yang sepenuhnya sekuler belum ada”. Bagi Wilson, masyarakat sekuler kelihatannya tidak tergantung pada satu arah saja dalam mempertahankan pemikiran, praktik, atau institusi-institusi agama. Pada titik ini agama dapat berfungsi sebagai kekuatan kohesi sosial, meski kecenderungannya agama berkembang menjadi lebih pribadi sifatnya. Dominasi suatu golongan agama atau keagamaan akan menurun seiring terjadinya proses domestikasi dan gerak sentrifugal organisasi-organisasi atau institusi-institusi keagamaan.
Iqbal menawarkan integrasi spiritual dan intelektual dalam rekonstruksi ajaran Islam di tengah masyarakat modern. Religiusitas dalam Islam tidak semata-mata pada aspek spiritualitas atau keruhanian semata, tetapi juga terkoneksi dengan akal, sehingga keduanya dapat menjadi satu kesatuan yang saling mendukung dan bukan atau tidak saling bertentangan. Muhammad Iqbal termasuk pemikir muslim ternama yang memandang kesatuan iman dan akal maupun ilmu plus filsafat. Bagi Iqbal, bahwa pengetahuan dan pengalaman religius dimulai dengan pembahasan tentang hakikat pengetahuan filosofis yang didasarkan pada akal, dan pengetahuan religius yang didasarkan pada iman, yang dipandang saling melengkapi. Kemudian diikuti oleh interpretasi atas perkembangan historis filsafat Islam dan persoalan-persoalan pengetahuan dan pengalaman religius menurut prinsip Al-Quran dengan merujuk pada konsep Diri atau Ego. Proses religius dan ilmiah meskipun menggunakan metode yang berbeda, sebenarnya sangat identik dengan tujuan akhirnya, keduanya berhasrat mencapai hakikat yang paling nyata.
Muhammadiyah saat ini penting hadir dengan pandangan dan isu-isu keagamaan yang mencerahkan, yang membangkitkan kesadaran keislaman yang “wasathiyah berkemajuan” sebagaimana pesan Allah “Wakadzalika ja’alnakum ummatan wasatha litakunu syuhadaa ‘ala al-nas” (QS Al-Baqarah: 143). Para pemeluk dan tokoh Islam semestinya hadir dengan keberagamaan yang hanif, sehingga memancarkan pencerahan akal budi di dalam dirinya maupun dengan sesama dan lingkungannya. Para tokoh dan ulamanya menjadi suri teladan, bukan pengirim kegaduhan dan keresahan. Hidup damai, adil, tengahan, toleran, dan rendah hati menjadi budaya dan perilaku luhur keseharian umat beragama. Sebaliknya terjauh diri dari segala perangai buruk, ekstrem, keras/garang, tidak adil, intoleran, semuci, dan ananiyah hizbiyah atau egoisme kelompok yang melahirkan wajah kusam dan anomali kehidupan beragama. Para mubaligh tidak main hantam sana-sini yang membuat umat menjauh dan antipati, sebaliknya mesti hadir menjadi uswah hasanah baik dalam bertutur kata, bersikap, dan bertindak sehingga menjadi suluh keadaban dan peradaban umat manusia yang menebar rahmat bagi semesta!
Sumber: Majalah SM Edisi 20 Tahun 2023