Meletakkan Hukum Sebagai Opsi Terakhir Setelah Moral dan Keimanan

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
60
Yusril Ihza Mahendra dalam sebuah talk show di Tanwir II NA di Kota Serang Banten (4/9).

Yusril Ihza Mahendra dalam sebuah talk show di Tanwir II NA di Kota Serang Banten (4/9).

SERANG, Suara Muhammadiyah - Dalam sebuah talk show kebangsaan dengan tema Perlindungan Hukum bagi Generasi Muda dari Perilaku LGBT dan Penyimpangan Seksual, Yusril Ihza Mahendra mengatakan bahwa hukum terbagi atas dua klaster. Pertama, hukum publik yang menjangkau dan mengikat banyak orang. Kedua, hukum privat. Dengan kata lain, hukum ini tidak bersifat mengikat secara kolektif. 

Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan itu mengatakan, dalam Islam, ada setidaknya 77 prinsip kebaikan. Yang paling bawah adalah menyingkirkan duri dari lalu lintas manusia. Melalui pernyataan tersebut, Yusril melanjutkannya dengan pertanyaan pertama, apakah dengan itu manusia tidak perlu repot-repot lagi menciptakan undang-undang lalu lintas? Tentu saja perlu. 

Jika perlu. Yusril melontarkan pertanyaan berikutnya. Apakah mungkin dalam hukum publik, setiap orang menggunakan hukum yang tidak seragam? Misalnya, orang Jawa berjalan di sebelah kiri, sedangkan orang Batak berjalan di sebelah kanan. Tanpa ada kesepakatan melalui hukum publik tentu keduanya akan bertaberakan. Kekacauan pun tak terelakkan. Oleh karena itu masyarakat di suatu bangsa harus memiliki hukum yang sama dan berlaku untuk semua. 

Kedua, hukum privat. Hukum ini salah satunya menyakut hukum perkawinan, waris, wasiat, dagang, jual-beli, akad, kredit, dan lain sebagainya. Dimana dalam hukum ini berlaku kemajemukan. 

“Di Indononesia ini ada berbagai sistem hukum. Bagi orang Islam, mereka tunduk pada hukum Islam. Bagi orang yang mewarisi hukum adat yang kuat, mereka akan tunduk pada hukum adat tersebut. Namun perkawinan tidak bisa dilakukan dengan hukum adat,” ucap Yusril dalam acara Tanwir II Nasyiatul Aisyiyah (NA) di Hotel Horison (4/9). 

Dalam hal perkawinan, sejak tahun 1974 terjadi perubahan yang sangat radikal. Pada tahun tersebut undang-undang perkawinan dianggap sah menurut agama masing-masing. Itu artinya, dalam tatanan sosial masyarakat kita, tidak diperbolehkan ada perkawinan yang berada di luar hukum agama masing-masing.  

Berbicara soal hukum, ketika manusia sudah tidak memiliki alternatif lain. Dengan maksud, sejatinya hukum didirikan di atas pondasi moral. Dan moral ditegakkan di atas pondasi iman. “Jadi orang beriman itu sebenarnya tanpa hukum pun ia tetap tahu anatara mana yang diperbolehkan dan tidak. 

“Moralitas iman itu sejatinya mendorong orang untuk patuh kepada moral, dan moral itu mendorong orang patuh terhadap hukum,” tegasnya. 

Hal-hal yang sebenarnya sudah berjalan di masyarakat, jangan ditanya hukum halal atau haramnya. Hal terpenting bagi setiap orang  adalah bagaimana setiap orang memiliki kesadaran moral, keimanan yang kuat, dan hukum menjadi opsi terakhir ketika moral dan keimanan tak terindahkan. 

“Menurut saya hukum itu jangan terlalu kaku, hukum harus fleksibel. (diko)


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Berita

CILACAP, Suara Muhammadiyah - Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan (GKHW) Kafilah Sarbini STIE Muhammadiy....

Suara Muhammadiyah

30 March 2024

Berita

SLEMAN, Suara Muhammadiyah – Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Sleman menyelenggarakan Sy....

Suara Muhammadiyah

3 May 2024

Berita

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Abdul Razaq Fakhruddi....

Suara Muhammadiyah

12 September 2023

Berita

SURAKARTA, Suara Muhammadiyah – Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) secara resmi mengukuh....

Suara Muhammadiyah

27 November 2023

Berita

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - Spanduk panjang terbentang, tertulis "Demi Masa Depan Berbangsa dan....

Suara Muhammadiyah

22 March 2025

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah