Melihat Identitas Tengahan Muhammadiyah dari Kuburan Kiai Ahmad Dahlan
Oleh: Aan Ardianto, Kader Muhammadiyah
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir pada (27/07/2023) ketika meresmikan salah satu gedung milik RS PKU Muhammadiyah Wonosobo mengetengahkan pemahaman warga Muhammadiyah tentang ziarah kubur. Haedar menyebut ziarah kubur boleh dengan beberapa catatan.
Awalnya aku mengira agak aneh di forum ini menjelaskan tentang amalan ziarah kubur di acara formal – peresmian sebuah gedung Amal Usaha Muhammadiyah (AUM). Namun ketika materi ‘khutbah’ itu diletakkan dalam konteks yang lebih luas, maka aku menemukan relevansinya.
Setidaknya, konteks yang melingkupi suasana Haedar Nashir yang membuatnya menyampaikan materi tentang ziarah kubur saat itu menurut dugaan ku disebabkan karena masifnya gerakan Islam Transnasional yang sedang menguat, dan memberikan ancaman serius kepada ideologi Muhammadiyah.
Masifnya gerakan islam transnasional ini begitu kuat merongrong organisasi Muhammadiyah – banyak cerita dari kawan-kawan di daerah yang mengaku sulit mengendalikan masjid yang notabene milik Muhammadiyah, tapi isinya adalah kelompok-kelompok islam transnasional itu.
Bahkan tak jarang kelompok ini menggunakan masjid-masjid Muhammadiyah sebagai tameng untuk bertahan, dan mimbarnya serta microphonenya digunakan sebagai senjata untuk menghantam amalan-amalan dari kelompok islam tradisional. Mereka mudah mengasosiasikan diri sebagai Muhammadiyah berkat semangat yang sama yaitu kembali ke Al Qur’an dan Sunnah.
Di satu sisi, kata Haedar, diperbolehkannya amalan ziarah kubur karena dianggapnya relevan dengan Himpunan Putusan Tarjih (HPT), sebuah kitab pedoman warga Muhammadiyah untuk menyikapi masalah fikih, akidah, akhlak, muamalah dan seterusnya.
Merujuk HPT, warga Muhammadiyah diperbolehkan untuk melakukan ziarah kubur. Akan tetapi dengan beberapa catatan, seperti tidak meminta kepada ahli kubur, meluruskan niat berdoa, mendoakan tidak hanya pada satu ahli kubur, dan melarang perbuatan-perbuatan yang berlebihan lainnya.
Penjelasan masalah kubur yang disampaikan oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah ini memperjelas posisi Muhammadiyah di antara peta percaturan gerakan islam transnasional dengan islam tradisional. Narasi serupa juga aku temukan di penelitian yang dilakukan oleh Verena Meyer.
Dosen Universitas Leiden, Belanda ini pada 2024 menerbitkan penelitiannya di Journal of the American Academy of Religion dengan judul “Grave Matters: Ambiguity, Modernism, and the Quest for Moderate Islam in Indonesia”. Di penelitian tersebut, Verena menggali semiotik identitas modern Muhammadiyah melalui pemaknaan terhadap sebuah situs fisik yang dalam hal ini adalah kuburan.
Secara semiotik, identitas islam tengahan yang dimiliki oleh Muhammadiyah menurut Verene dapat ditemukan dalam arsitektur kuburan pendiri Muhammadiyah, Kiai Ahmad Dahlan di Kompleks Kuburan Karangkajen di Brontokusuman, Mergangsan, Kota Yogyakarta. Meski dikenal sebagai organisasi pemurnian, Muhammadiyah tak lantas menghilangkan/menghancurkan kuburan ‘orang salihnya’.
Beda halnya dengan gerakan pemurnian yang terjadi di Arab Saudi, pemurnian yang terjadi di sana dilakukan secara ekstrim. Kuburan orang-orang salih dihancurkan sebagai bukti pemurnian tauhid dengan cara pemutusan akses komunikasi hamba kepada Tuhannya yang dimediasi obyek fisik dunia – kuburan para wali.
Pemeliharaan kuburan Kiai Dahlan yang dilakukan saat ini selain sebagai penanda, juga cara Muhammadiyah untuk menggali dan menguatkan akar sejarah organisasi. Sebab gugatan yang dilakukan oleh gerakan transnasional begitu kuat merongrong Muhammadiyah. Tapi di sisi lain, pemeliharaan kuburan Kiai Dahlan tidak boleh disalah artikan dan disalahgunakan sebagai alat mediasi untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Sebagai gambaran, kuburan Kiai Ahmad Dahlan dapat dikatakan sederhana, tidak seperti kuburan-kuburan Kiai Jawa atau tokoh pemengaruh pada umumnya, misalnya dengan batu nisan yang besar, di sekelilingnya dibangun punden atau pendopo untuk peziarah – tidak, kuburan Kiai Dahlan tidak seperti itu.
Kuburan Kiai Dahlan hanya sepetak kecil yang dikelilingi lempengan batu putih datar, tingginya tidak lebih dari satu jengkal tangan orang dewasa, dan ditandai dengan batu nisan sederhana yang hanya bertuliskan namanya. Kesederhanaan kuburan Kiai Dahlan sebagai simbol konsistensi terhadap ajaran yang diwariskannya.
Ajaran islam tengahan yang disampaikan oleh Kiai Dahlan kepada penerusnya – warga Muhammadiyah, seperti antitesis terhadap ajaran Sufisme yang mengawinkan takhayul dengan struktur kekuasaan yang melanggengkan ketidaktahuan dan kepatuhan/taklid buta pada orang salih dan berujung pada pengkultusan kuburan.
Selain sebagai islam tengahan, Muhammadiyah juga dikenal dengan ketekunannya dalam melakukan pemurnian yang oleh Haedar Nashir kata permunian ini tak terpisah dengan sikap pembaruan. Keduanya sering disebut dalam satu kata yaitu purifikasi. Menurut Filsuf Prancis Bruno Latour, pemurnian adalah karakteristik penting bagi modernitas.
Akan tetapi Verena Meyer menyebut, modernisasi yang terjadi di tubuh Muhammadiyah tidak sama dengan yang di Barat. Dia memberikan contoh seperti yang terjadi di pendidikan Islam ala Muhammadiyah yang menggabungkan antara pelajaran agama dengan ilmu-ilmu umum – yang dianggap sekuler karena milik Barat.
Jika modernitas yang dibangun Barat sama sekali berlepas dengan agama, bertumpu pada rasional-ilmiah, beda halnya dengan di Muhammadiyah– modernisasi yang dibangun oleh Muhammadiyah bertumpu di atas nilai-nilai Agama Islam.
Selain itu keterbukaan Kiai Dahlan terhadap Barat atau modernisasi dapat disaksikan ketika mengajar; seringkali memperagakan permainan alat musik biola (ada juga yang mengatakan gramofon), tidak rebana atau musik gamelan Jawa.
Namun demikian, Muhammadiyah juga tidak anti dengan seni dan budaya lokal. Akomodasi Muhammadiyah terhadap seni dan budaya dapat disimak dalam Keputusan Tanwir Muhammadiyah pada 2002 di Bali yang menghasilkan dokumen berupa Dakwah Kultural Muhammadiyah.
Akan tetapi dalam konteks makam, yang patut disayangkan adalah belum ditemukannya pusara terahkir Ki Bagus Hadikusumo, Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah periode 1944-1953. Jasad Pahlawan Nasional ini disinyalir dikebumikan di kompleks makam umum Kuncen, Wirobrajan, Kota Yogyakarta.