Menantikan Tafsir At-Tanwir: Jalan Cerah Mengamalkan Ayat-Ayat Al-Qur’an
Oleh: M. Saifudin, Pengasuh Ponpes Modern Muhammadiyah Sangen, Anggota tim mufasir At Tanwir
Al-Qur’an telah lama hadir dalam kehidupan kita, dibaca, dihafal, dan dilantunkan dengan penuh kekhusyukan. Namun tidak jarang, ayat-ayat itu berhenti di lisan, di mimbar, atau di ruang kajian, belum sepenuhnya menjelma menjadi sikap, keputusan, dan tindakan nyata. Padahal, Al-Qur’an memanggil orang-orang beriman untuk mengemban amanah besar: merawat kehidupan, mengelola bumi dengan adil, dan menghadirkan kemaslahatan di tengah masyarakat.
Realitas yang kita hadapi justru kerap berseberangan dengan pesan itu. Degradasi moral merebak di tengah menjamurnya lembaga pendidikan. Ketimpangan ekonomi melebar ketika teori dan pakar ekonomi berlimpah. Tatanan sosial kian rapuh di tengah kemajemukan, bahkan penyimpangan akidah muncul di tengah semarak dakwah. Di titik inilah Tafsir At-Tanwir Muhammadiyah, At Tanwir yang bermakna “mencerahkan”, dinantikan kehadirannya, sebagai jalan terang agar iman, pemahaman, dan pengamalan kembali menyatu dalam ikhtiar membangun masyarakat berkemajuan.
Tafsir At-Tanwir diharapkan hadir bukan sekadar menambah deretan karya tafsir, apalagi mengulang uraian penafsiran yang sudah sering kita dengar. Ia diharapkan menjadi tafsir yang membimbing: menautkan nash dengan konteks, menjawab problematika zaman, dan merespons kebutuhan nyata masyarakat. Pada saat yang sama, tafsir ini tetap meneguhkan tradisi membaca Al-Qur’an sebagai amaliyah yang menenteramkan jiwa. Iman tidak dibiarkan berhenti sebagai keyakinan personal, pemahaman tidak berakhir sebagai wacana, dan pengamalan tidak berjalan tanpa arah. Tafsir At-Tanwir diharapkan menjadi cahaya yang mempersatukan ketiganya.
Dalam konteks Muhammadiyah, kehadiran Tafsir At-Tanwir tidak bisa dilepaskan dari tradisi tajdid yang sejak awal menempatkan Al-Qur’an sebagai sumber inspirasi sekaligus landasan gerakan persyarikatan Muhammadiyah. Sebagaimana legacy dari KH. Ahmad Dahlan, ayat-ayat Al-Qur’an bukan hanya untuk dipahami, tetapi untuk dihidupkan dalam amal nyata, menyentuh pendidikan, sosial, kesehatan, ibadah, hingga ranah kebijakan publik. At-Tanwir melanjutkan ikhtiar tersebut dengan pendekatan yang lebih sistematis dan kontekstual, agar Al-Qur’an tetap menyinari kehidupan umat di tengah perubahan dan dinamika zaman. Bukan untuk menggantikan tafsir-tafsir sebelumnya, melainkan menegaskan kembali bahwa Al-Qur’an selalu memiliki daya terang ketika dibaca dengan ilmu, kepekaan sosial, dan kesadaran zaman.
Di tengah arus perubahan yang melaju cepat, teknologi yang meroket, relasi sosial yang kian cair, dan persoalan umat yang makin kompleks, banyak orang merasa seperti kehilangan kompas. Pertanyaan-pertanyaan baru bermunculan, sementara jawaban yang tersedia sering terasa jauh dari kenyataan. Dalam situasi seperti inilah kebutuhan akan tafsir yang membimbing, menenangkan, sekaligus mengarahkan, menjadi semakin mendesak.
Tafsir At-Tanwir berangkat dari kegelisahan itu. Ia berusaha menghadirkan Al-Qur’an bukan sekadar sebagai teks yang dibaca dan dipahami, tetapi sebagai suara yang berbicara langsung kepada kehidupan. Misalnya dalam memahami bencana, Al-Qur’an tidak menyederhanakannya dalam satu penjelasan tunggal. Ada bencana yang lahir dari ulah manusia sendiri, pengrusakan alam, kebijakan yang abai, dan keserakahan yang dibiarkan, sebagaimana peringatan Allah bahwa kerusakan di darat dan laut muncul akibat perbuatan tangan manusia (QS. Ar-Rum [30]: 41). Pada titik ini, tafsir mengajak umat bercermin, melakukan introspeksi kolektif, lalu membenahi perilaku, merevisi arah kebijakan dan memberlakukan peraturan yang membatasi gerak para”perusak”.
Namun ada pula bencana yang datang di luar jangkauan kuasa manusia, sebagai bagian dari ketetapan Allah (QS. Al-Hadid [57]: 22). Dalam situasi semacam ini, At-Tanwir tidak membawa umat pada kepasrahan yang melemahkan, tetapi menumbuhkan kekuatan batin: kesabaran, empati, berpikir jernih, dan kepedulian sosial. Kepedulian itu diwujudkan melalui penggalangan dana kemanusiaan, rehabilitasi fasilitas terdampak, pemulihan psikososial para penyintas, serta berbagai bentuk dukungan lain yang dibutuhkan dalam proses pemulihan pascabencana.
Dengan cara pandang seperti itu, tafsir tidak berhenti pada penjelasan makna ayat, tetapi menjelma menjadi penuntun sikap dan arah hidup. Al-Qur’an hadir dalam keputusan, kebijakan, dan pengenjawantahan nyata. Ia menjadi cahaya yang menuntun langkah, agar umat tidak hanyut oleh arus zaman, tetapi melangkah mantap dengan nilai-nilai wahyu ilahi yang kokoh.
Karena itu, Tafsir At-Tanwir patut dinantikan bukan hanya sebagai karya keilmuan, melainkan sebagai amal jama’i, upaya ikhtiar bersama untuk menghadirkan kembali Al-Qur’an di tengah denyut kehidupan umat. Al-Qur’an sendiri mengingatkan betapa tercelanya jurang antara ucapan dan pengamalan (QS. Ash-Shaff [61]: 3). Tafsir ini diharapkan menuntun iman agar tidak berhenti di hati, tetapi tumbuh menjadi pemahaman yang terang, lalu menjelma dalam pengamalan yang nyata dan berkemanfaatan. Ketika ayat-ayat Al-Qur’an benar-benar membimbing cara kita berpikir, bersikap, dan mengambil keputusan, di situlah cahaya tanwir menemukan maknanya, menerangi langkah umat menuju kehidupan yang lebih adil, lebih bermartabat, dan berkemajuan.

