Ketulusan: Pondasi Kokoh Menuju Kedamaian

Publish

28 January 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
128
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Ketulusan: Pondasi Kokoh Menuju Kedamaian

Oleh: Suko Wahyudi, PRM Timuran Yogyakarta 

Ketulusan adalah nilai yang sering terlupakan dalam hiruk-pikuk kehidupan modern. Namun, ia merupakan fondasi yang mampu membawa kedamaian dan keberkahan dalam setiap langkah kehidupan. Dengan ketulusan, setiap tindakan yang dilakukan memiliki makna yang lebih dalam, karena didasarkan pada niat yang murni dan bebas dari kepentingan pribadi.

Ketika seseorang bertindak dengan tulus, ia tidak terjebak dalam keinginan untuk mendapat pengakuan atau pujian. Sebaliknya, ia menjalani hidup dengan penuh keikhlasan, menjadikan setiap langkahnya sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhan dan upaya untuk membawa manfaat bagi orang lain.

Ketulusan adalah sikap hati yang murni, tanpa pamrih, dan penuh kejujuran dalam bertindak. Ia bukan sekadar konsep, melainkan sikap hidup yang berakar pada keikhlasan. Dalam Islam, ketulusan sangat erat kaitannya dengan niat. Rasulullah SAW bersabda:

"Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan." (HR. Bukhari dan Muslim).

Menurut Prof. Yunahar Ilyas, niat adalah ruh dari setiap tindakan. Amal yang dilakukan tanpa niat yang ikhlas akan kehilangan nilainya di sisi Allah SWT, bahkan jika tindakan tersebut tampak besar di mata manusia. Beliau menjelaskan bahwa ketulusan merupakan refleksi dari hati yang bersih dan hanya mengharap ridha Allah semata.

Ketulusan juga membawa dampak spiritual yang mendalam, baik bagi pelaku maupun orang-orang di sekitarnya. Amal yang dilakukan dengan niat tulus tidak akan terpengaruh oleh pujian atau kritik, karena orientasinya adalah kepada Allah SWT, bukan manusia. Oleh karena itu, Prof. Yunahar Ilyas mengingatkan agar setiap muslim senantiasa menjaga niat di awal, di tengah, dan di akhir perbuatan, sehingga amal tersebut benar-benar bernilai ibadah.

Dengan meneladani pandangan ini, dalam menjalani kehidupan, niat menjadi faktor utama yang menentukan diterima atau tidaknya amal kebaikan yang dilakukan. Jika diiringi niat  hanya untuk mendapatkan pengakuan atau validasi dari orang lain, maka amal itu akan kehilangan esensinya dan tidak bernilai di sisi Allah. Sebaliknya, jika amal yang dilakukan diiringi dengan niat yang tulus semata-mata karena Allah, meskipun amal itu tampak kecil, itu akan menjadi sumber pahala yang besar di akhirat.

Ketulusan berarti berbuat baik bukan karena mengharapkan pujian, melainkan karena keinginan untuk berbuat baik dan meraih ridha Allah.

Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah dia mengerjakan amal shalih dan janganlah dia mempersekutukan seorangpun dengan Rabb-nya. (Al Kahfi [18]: 110)

Ketulusan ditandai dengan niat yang sepenuhnya untuk Allah, tanpa campur tangan motivasi duniawi. Bahkan amal kecil seperti senyuman atau memberi bantuan akan bernilai besar jika dilakukan dengan ikhlas. Orang yang tulus tidak merasa kecewa ketika amalnya tidak dihargai manusia. Ia yakin bahwa balasan terbaik hanya datang dari Allah. Seseorang yang ikhlas tidak hanya berbuat baik saat dilihat orang, tetapi tetap istiqamah meski tidak ada yang mengetahui perbuatannya.

Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah (atom), pasti dia akan melihat (balasan)nya, dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrah (atom), pasti dia akan melihat (balasan)nya. (Al-Zalzalah [99]:7-8)

Amal yang dilakukan dengan tulus, walaupun hanya sebesar zarrah, akan mendapatkan ganjaran dari Allah. Ini menunjukkan bahwa sekecil apapun amal kebaikan yang dilakulan atau bahkan tidak terlihat oleh orang lain, jika dilakukan dengan niat yang ikhlas, akan dihargai dan diberikan balasan yang sempurna oleh Allah.

Di sisi lain ayat ini menunjukkan bahwa ukuran amal bukan hanya pada besarnya atau seberapa terlihat di mata manusia, tetapi pada niat yang mendasarinya. Ketulusan hati yang berfokus hanya pada ridha Allah akan mengubah setiap amal, sekecil apa pun, menjadi amal yang mulia di hadapan-Nya.

Di era yang serba digital, banyak orang terjebak dalam budaya pencitraan. Media sosial menjadi tempat di mana orang berlomba-lomba menampilkan sisi terbaik dirinya, terkadang dengan mengabaikan ketulusan. Tindakan yang semula baik pun bisa kehilangan esensinya ketika dilakukan semata-mata demi pengakuan atau validasi orang lain.

Contoh logis dari fenomena ini bisa dilihat pada sebagian orang yang ikut serta dalam kegiatan penggalangan dana atau memberikan bantuan kepada korban bencana alam seringkali memposting foto mereka saat menyerahkan bantuan. Meskipun tujuan awalnya adalah untuk membantu, banyak yang lebih fokus pada bagaimana tampilan foto mereka di media sosial apakah terlihat heroik atau inspiratif daripada memberi bantuan dengan niat tulus. Misalnya, seseorang memposting gambar dirinya sedang menyerahkan paket makanan di tengah kerumunan, dengan caption yang mengarah pada pencitraan diri, seperti "Menjadi bagian dari perubahan." Hal ini memunculkan pertanyaan apakah mereka melakukan kebaikan tersebut karena empati atau sekadar untuk mendapatkan pujian. Al-Qur'an mengingatkan:

Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan, (seraya berkata), 'Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah karena mengharapkan keridhaan Allah. Kami tidak menghendaki balasan darimu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. (Al-Insan [76]: 8-9)

Contoh lainnya Dalam beberapa kasus, orang-orang terjebak dalam "aktivisme performatif," di mana mereka mengikuti tren sosial tertentu seperti kampanye anti-rasisme atau gerakan lingkungan, tetapi tujuannya lebih untuk mendapatkan perhatian daripada benar-benar berkontribusi pada perubahan. Misalnya, seseorang yang dengan antusias memposting gambar atau status terkait gerakan sosial tertentu hanya untuk mendapatkan komentar atau like, namun tidak melakukan tindakan nyata untuk mendukung gerakan tersebut, seperti menyumbang atau berpartisipasi dalam aksi. Padahal Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil.” Para sahabat bertanya, “Apa itu syirik kecil, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Riya'. Allah Azza wa Jalla berfirman pada hari ketika seluruh makhluk diberikan balasan atas amal mereka, ‘Pergilah kalian kepada orang-orang yang dulu kalian pamerkan amal kalian di dunia, lalu lihatlah apakah kalian mendapatkan balasan dari mereka.” (HR. Ahmad)

Selain itu, tekanan hidup yang tinggi sering kali membuat seseorang fokus pada tujuan pragmatis sehingga lupa pada nilai-nilai ketulusan. Ketika kehidupan dipenuhi dengan target dan ambisi, ketulusan bisa terkikis oleh ego dan kepentingan pribadi. Al-Qur'an menggambarkan bagaimana ketulusan dapat terkikis oleh ego dan kepentingan pribadi. Allah SwT berfirman:

Dan ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) dengan sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, lalu diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Dia (Qabil) berkata, ‘Aku pasti akan membunuhmu!’ Dia (Habil) berkata, ‘Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang yang bertakwa. Sungguh, jika engkau menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan seluruh alam. Sesungguhnya aku ingin agar engkau kembali dengan (memikul) dosaku dan dosamu (sekaligus), maka engkau akan menjadi penghuni neraka. Dan itulah balasan bagi orang yang zalim. Maka nafsu (ambisi) Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dia membunuhnya; maka jadilah dia termasuk orang yang rugi. Kemudian Allah mengutus seekor burung gagak yang menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya dia menyembunyikan mayat saudaranya. Dia berkata, ‘Oh, celakalah aku! Mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, sehingga aku dapat menyembunyikan mayat saudaraku?’ Maka dia pun menjadi orang yang menyesal. (Al-Midah [5]: 27-31)

Qabil dan Habil diperintahkan untuk mempersembahkan korban kepada Allah. Habil, yang tulus dan bertakwa, mempersembahkan kurban terbaik dari hasil ternaknya. Sebaliknya, Qabil, yang dikuasai oleh ego dan tidak ikhlas, mempersembahkan kurban yang buruk dari hasil buminya.

Allah menerima kurban Habil karena ketulusannya, tetapi menolak kurban Qabil. Hal ini membuat Qabil merasa iri dan marah kepada Habil. Ego Qabil semakin mendominasi, dan ia memutuskan untuk membunuh saudaranya, meskipun Habil dengan rendah hati mencoba mengingatkannya agar takut kepada Allah. Qabil akhirnya membunuh Habil, menjadi pembunuh pertama dalam sejarah manusia.

Ego adalah salah satu penghalang utama dalam menjaga ketulusan. Ia membawa seseorang pada kesombongan, keinginan untuk diakui, dan dorongan untuk membenarkan diri sendiri, bahkan ketika tindakan tersebut melukai orang lain. Dalam kasus Qabil ego mereka tidak hanya merusak hubungan dengan Allah SwT tetapi juga menyebabkan penderitaan bagi orang-orang di sekitar mereka. Kezaliman yang lahir dari ego sering kali dimulai dari hal-hal kecil, seperti rasa iri, sombong, atau merasa lebih unggul, yang kemudian berkembang menjadi tindakan besar yang menghancurkan harmoni sosial.

Kisah ini mengajarkan bahwa ketulusan harus dilandasi oleh keimanan dan kesadaran akan Allah. Ketulusan sejati adalah kemampuan untuk bertindak dengan niat murni, tanpa dipengaruhi oleh dorongan ego, ambisi pribadi, atau hasrat untuk pengakuan. Dalam konteks hubungan manusia dengan Allah, ketulusan melibatkan kesadaran penuh bahwa segala sesuatu yang kita lakukan, baik itu ibadah, pekerjaan, maupun hubungan sosial, adalah wujud pengabdian kepada-Nya. Namun, ketika ego mulai menguasai diri, hati manusia kehilangan arah dan ketulusan perlahan terkikis.

Ketulusan adalah fondasi yang menjadikan setiap langkah bermakna, bukan sekadar berorientasi pada hasil, melainkan juga pada nilai yang kita bangun di sepanjang perjalanan. Jangan biarkan ego dan kepentingan pribadi menguasai hati hingga mengaburkan tujuan sejati kehidupan. Sebab, pada akhirnya, yang dinilai bukanlah seberapa besar kita terlihat, tetapi seberapa ikhlas kita dalam berbuat kebaikan. Tetaplah rendah hati, karena ketulusan adalah jalan menuju ridha-Nya.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Membangun Badan Usaha Koperasi  Oleh Dr.Ir. Armen Mara, M.Si, Ketua Majlis Ekonomi dan Bisnis ....

Suara Muhammadiyah

9 July 2024

Wawasan

Mengatasi Bias Sektarian dalam Menafsirkan Al-Qur`an (2) Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu B....

Suara Muhammadiyah

22 May 2024

Wawasan

HEBATNYA PEREMPUAN: Menguatkan Peran di Rumah dan Organisasi Oleh: Bahren Nurdin Dalam lintasan se....

Suara Muhammadiyah

24 November 2023

Wawasan

Oleh: Agusliadi Massere Cara menjalani kehidupan dan untuk memenuhi kebutuhan serta mencapai harapa....

Suara Muhammadiyah

22 January 2024

Wawasan

Refleksi Hari Guru: Pilar Utama Membangun Peradaban Oleh: Raspa Laa, S.Pd.I.,M.Pd, Dosen STKIP Muha....

Suara Muhammadiyah

25 November 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah