Mengapa Al-Qur'an Adalah Firman Tuhan?

Publish

3 October 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
435
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Mengapa Al-Qur'an Adalah Firman Tuhan?

Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Sebagai Muslim, kita merasakan hubungan yang mendalam dengan Al-Qur'an. Saat membacanya, kita merasa seolah-olah Tuhan sendiri yang sedang berbicara kepada kita. Keyakinan ini bukan tanpa dasar, melainkan berakar pada sejarah yang kuat. Al-Qur'an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sekitar 1400 tahun lalu. Setelah beliau wafat, teksnya disalin dan disebarkan ke seluruh kekhalifahan Islam, memastikan keasliannya tetap terjaga. Proses ini memuncak pada tahun 1924 dengan terbitnya edisi Mesir yang menjadi standar global. Edisi ini memastikan setiap kata, bahkan ejaannya, telah diverifikasi secara teliti oleh para ulama.

Dengan demikian, tidak mengherankan jika umat Muslim yakin sepenuhnya. Namun, bagi mereka yang bertanya, "Bagaimana kalian bisa begitu yakin?" ada banyak bukti rasional yang bisa kita tawarkan. Inilah beberapa alasan yang menunjukkan bahwa Al-Qur'an adalah wahyu ilahi, bukan sekadar buku buatan manusia.

Pertama, kejeniusan dari seorang buta huruf. Fakta bahwa Nabi Muhammad adalah seorang yang buta huruf menjadi bukti yang sangat kuat. Bagaimana mungkin seorang yang tidak pernah belajar membaca atau menulis bisa menghasilkan sebuah mahakarya seperti Al-Qur'an? Kitab suci ini tidak hanya menjadi buku teks bahasa Arab pertama, tetapi juga memiliki keindahan sastra yang tak tertandingi. Logikanya, karya sekelas ini mustahil diciptakan oleh orang yang buta huruf, kecuali jika itu adalah wahyu yang diilhamkan langsung oleh Tuhan ke dalam pikirannya.

Kedua, dialog Ilahi dalam teks Al-Qur'an. Al-Qur'an secara eksplisit menunjukkan adanya percakapan antara Tuhan dan Nabi Muhammad. Di dalamnya, Tuhan memerintahkan, membimbing, dan bahkan menegur beliau. Jika Nabi yang menulis Al-Qur'an sendiri, itu berarti beliau berbicara dan memerintah dirinya sendiri—sebuah tindakan yang tidak masuk akal. Ini menunjukkan bahwa Al-Qur'an adalah wahyu yang datang dari sumber eksternal, yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa.

Ketiga, kejujuran yang tak pernah diragukan. Nabi Muhammad dikenal luas sebagai pribadi yang jujur dan dapat dipercaya oleh semua orang, termasuk musuh-musuhnya. Mereka menjulukinya "al-Amin" (yang terpercaya) dan "al-Siddiq" (yang jujur). Seseorang dengan karakter setulus ini tidak mungkin berbohong, apalagi mengklaim bahwa sebuah kitab berasal dari Tuhan padahal ia tahu itu adalah karangannya sendiri. Kejujuran beliau yang tak tergoyahkan selama 23 tahun—bahkan di tengah penganiayaan berat—menegaskan bahwa beliau hanya menyampaikan apa yang diwahyukan kepadanya.

Nabi Muhammad tidak mungkin menciptakan Al-Qur'an karena tiga alasan utama. Secara fisik, beliau buta huruf. Bagaimana mungkin seseorang yang tidak bisa membaca dan menulis bisa menghasilkan sebuah karya sastra yang begitu sempurna dan kompleks? Secara psikologis, Al-Qur'an adalah dialog, bukan monolog. Teks itu berulang kali berbicara kepada Nabi, memberinya perintah dan bimbingan, menunjukkan bahwa itu adalah pesan yang datang dari luar dirinya. Secara moral, beliau dikenal sebagai pribadi yang paling jujur. Selama 23 tahun, di tengah penganiayaan dan ancaman terhadap hidupnya, beliau tidak pernah goyah sedikit pun dalam klaimnya bahwa Al-Qur'an adalah wahyu dari Tuhan. Konsistensi luar biasa ini adalah bukti kuat akan ketulusan dan kebenaran ajarannya.

Keempat, rincian sejarah yang mengejutkan. Al-Qur'an tidak hanya berisi kisah-kisah masa lalu, tetapi juga memberikan rincian yang tidak diketahui oleh siapa pun pada masa Nabi Muhammad. Contoh paling menakjubkan adalah cerita tentang Firaun. Al-Qur'an secara spesifik menyebutkan bahwa jasad Firaun diselamatkan, meskipun kitab suci lain hanya menyatakan dia tenggelam. Klaim ini terbukti benar ketika jasadnya ditemukan pada tahun 1898. Ini membuktikan informasi yang diberikan Al-Qur'an ribuan tahun sebelumnya.

Kelima, prediksi yang terwujud. Lebih dari sekadar menceritakan masa lalu, Al-Qur'an juga memprediksi masa depan—sesuatu yang mustahil diketahui manusia. Ambil contoh Surah Ar-Rum (30:2) yang menyatakan bahwa Romawi, yang saat itu baru saja kalah telak dari Persia, akan segera meraih kemenangan. Para sejarawan tahu bahwa prediksi ini dibuat pada tahun 614 M, ketika harapan Romawi untuk menang sangat tipis. Namun, beberapa tahun kemudian, mereka benar-benar menang, persis seperti yang Al-Qur'an nubuatkan. Di saat yang sama, kaum Muslim juga meraih kemenangan bersejarah dalam Perang Badar. Siapa yang bisa meramalkan dua peristiwa besar yang terpisah seperti itu? Ini jelas merupakan bukti bahwa Al-Qur'an adalah wahyu dari Tuhan Yang Maha Tahu.

Keenam, keajaiban ilmiah yang melampaui zaman. Al-Qur'an berisi deskripsi rinci tentang alam semesta dan penciptaan manusia, dari hal-hal besar seperti kosmos hingga hal-hal kecil seperti perkembangan janin. Deskripsi ini menggunakan bahasa dan konsep yang jauh melampaui pengetahuan pada masa itu. Misalnya, Al-Qur'an menyebutkan fakta tentang ekspansi alam semesta dalam Surah Adz-Dzariyat (51:47), sebuah fenomena yang baru ditemukan oleh ilmuwan pada tahun 1920-an. Informasi semacam ini tidak mungkin berasal dari Nabi Muhammad atau orang-orang di sekitarnya. Ini jelas merupakan wahyu dari Tuhan Yang Maha Tahu.

Ketujuh, ketepatan matematis yang sempurna. Dari sudut pandang sekuler, Al-Qur'an mungkin terlihat seperti kumpulan wahyu yang datang secara tidak teratur, sebab banyak ayat yang turun sebagai jawaban atas pertanyaan atau situasi tertentu. Namun, di balik itu, terdapat pola matematis yang sangat rumit dan saling terkait, yang mustahil diciptakan oleh manusia.

Salah satu contoh yang paling terkenal adalah pola berbasis angka 19. Jumlah surah dalam Al-Qur'an (114) adalah kelipatan 19. Ayat-ayat pertama yang diturunkan kepada Nabi—yang tercantum dalam Surah Al-'Alaq—juga terkait erat dengan angka ini. Surah tersebut adalah surah ke-19 dari akhir dan terdiri dari 19 ayat. Menariknya, jumlah huruf dalam ayat-ayat pertamanya pun merupakan kelipatan 19.

Pola-pola ini menunjukkan bahwa meskipun Al-Qur'an dikumpulkan secara bertahap oleh manusia, penempatan setiap ayat dan babnya berada di bawah kendali ilahi. Keselarasan matematis ini adalah bukti tak terbantahkan bahwa Al-Qur'an bukan karya manusia, melainkan wahyu dari Tuhan.

Al-Qur'an memiliki pola matematis yang luar biasa, terutama yang terkait dengan angka 19, sebuah angka yang disebutkan secara unik dalam Surah Al-Muddatstsir (74:30). Mari kita lihat beberapa contoh: Al-Qur'an memiliki 114 surah, yang merupakan kelipatan 19 (19 x 6). Wahyu pertama kepada Nabi Muhammad, yang kini menjadi lima ayat pertama Surah Al-'Alaq (96), sangat terkait dengan angka ini. Surah Al-'Alaq adalah surah ke-19 dari akhir Al-Qur'an jika dihitung mundur. Lima ayat pertama dari surah ini terdiri dari 76 huruf, yaitu 19 x 4. Lalu seluruh Surah Al-'Alaq memiliki 19 ayat dan terdiri dari 285 huruf, yaitu 19 x 15.

Pola-pola ini menunjukkan bahwa Al-Qur'an tidak mungkin disusun secara kebetulan. Meskipun nomor ayat dan urutan surah ditetapkan di kemudian hari, keselarasan matematis yang begitu rumit dan konsisten ini membuktikan bahwa ada kendali ilahi di baliknya. Ini bukanlah pekerjaan manusia, melainkan bukti nyata dari Tuhan.


Komentar

Jamaludin Kamal

1. Kejeniusan dari seorang buta huruf Klaim bahwa Muhammad buta huruf (ummi) dan karenanya tidak mungkin menciptakan Al-Qur’an perlu diteliti ulang. Istilah "ummi" dalam konteks sejarah tidak selalu berarti buta huruf secara harfiah, tetapi bisa merujuk pada seseorang yang tidak terlatih dalam tradisi tulis-menulis formal Yahudi atau Kristen. Bukti sejarah menunjukkan bahwa Mekkah adalah pusat perdagangan, dan Muhammad sebagai pedagang kemungkinan besar memiliki akses ke pengetahuan lisan dan budaya lisan yang kaya. Al-Qur’an sendiri banyak mengandung elemen naratif dari tradisi Yahudi, Kristen, dan cerita lisan Arab pra-Islam, seperti kisah-kisah nabi yang sudah dikenal luas di Jazirah Arab. Keindahan sastranya? Itu subjektif. Puisi Arab pra-Islam, seperti Mu’allaqat, juga memiliki keindahan sastra yang luar biasa, menunjukkan bahwa tradisi lisan Arab sudah sangat maju. Jadi, tidak perlu wahyu ilahi untuk menjelaskan kemampuan retorisnya. 2. Dialog Ilahi Argumen bahwa Al-Qur’an berisi dialog antara Tuhan dan Muhammad tidak unik. Banyak teks suci, termasuk Alkitab, menggunakan gaya naratif serupa di mana Tuhan "berbicara" kepada nabi. Ini adalah teknik sastra yang umum, bukan bukti eksklusif wahyu ilahi. Jika Muhammad menyusun teks tersebut, dia bisa saja menggunakan gaya ini untuk menyampaikan otoritas spiritual, seperti yang dilakukan banyak pemimpin agama pada masa itu. 3. Kejujuran Muhammad Julukan "al-Amin" memang menunjukkan reputasi Muhammad sebagai orang yang jujur, tetapi ini tidak secara otomatis membuktikan bahwa Al-Qur’an adalah wahyu ilahi. Kejujuran seseorang tidak menjamin kebenaran klaim supernatural. Banyak pemimpin agama, termasuk yang dianggap kontroversial, dikenal jujur dalam keyakinan mereka, namun itu tidak membuktikan kebenaran ajaran mereka. Konsistensi Muhammad bisa dijelaskan sebagai keyakinan pribadi yang tulus, bukan bukti objektif. 4. Rincian sejarah tentang Firaun Klaim bahwa Al-Qur’an secara unik menyebutkan jasad Firaun diselamatkan (Surah Yunus 10:92) tidak sepenuhnya eksklusif. Tradisi Yahudi dan Kristen juga menyebutkan kisah Musa dan Firaun, dengan detail jasad. Penemuan jasad Firaun pada 1898 tidak secara langsung membuktikan wahyu ilahi, karena Al-Qur’an tidak menyebutkan detail spesifik seperti nama Firaun atau lokasi penemuan. Ini bisa dianggap sebagai interpretasi retrospektif, bukan prediksi yang jelas. 5. Prediksi kemenangan Romawi Surah Ar-Rum (30:2-4) memang merujuk pada kemenangan Romawi atas Persia, tetapi konteksnya samar. Ayat ini tidak menyebutkan waktu pasti atau detail spesifik. Pada masa itu, konflik antara Romawi dan Persia adalah peristiwa besar yang sering dibahas, dan prediksi kemenangan salah satu pihak bukanlah hal luar biasa. Selain itu, kemenangan Romawi terjadi sekitar 7-9 tahun kemudian, yang masih dalam rentang spekulasi politik biasa. Kemenangan Muslim di Perang Badar juga tidak disebutkan secara eksplisit dalam ayat ini, jadi mengaitkannya terasa dipaksakan. 6. Keajaiban ilmiah Klaim tentang ekspansi alam semesta (Surah Adz-Dzariyat 51:47) sering diinterpretasikan secara retrospektif. Ayat ini berbicara tentang "langit yang Kami bentangkan", yang bisa diartikan secara metaforis, bukan ilmiah. Pengetahuan tentang kosmos atau embriologi pada masa itu juga tidak sepenuhnya asing; filsuf Yunani seperti Hippocrates sudah mendeskripsikan tahap perkembangan janin berabad-abad sebelumnya. Al-Qur’an tidak memberikan detail teknis yang melampaui pengetahuan umum saat itu. 7. Ketepatan matematis angka 19 Pola berbasis angka 19 terdengar mengesankan, tetapi ini adalah contoh bias konfirmasi. Dengan teks sebesar Al-Qur’an, pola numerik bisa ditemukan jika dicari dengan sengaja. Misalnya, Alkitab juga memiliki pola numerik (seperti angka 7 atau 12) jika dianalisis dengan cara serupa. Penetapan jumlah surah (114) dan urutan ayat dilakukan pasca-Muhammad, sehingga pola ini bisa jadi hasil penyusunan manusia, bukan bukti ilahi. Kesimpulannya, Al-Qur’an memang teks yang mengesankan, tetapi klaim bahwa itu pasti wahyu ilahi tidak tahan uji jika dilihat dari sudut pandang kritis. Banyak argumen di atas bergantung pada interpretasi subjektif atau asumsi bahwa tidak ada penjelasan lain selain wahyu. Alkitab, misalnya, juga memiliki narasi sejarah, prediksi (seperti nubuatan Yesaya tentang Mesias), dan keindahan sastra, namun umat Islam tidak menerimanya sebagai wahyu final. Jika kejujuran, keindahan sastra, atau pola numerik adalah bukti wahyu, mengapa Al-Qur’an lebih valid daripada teks suci lain? Pikirkan ini! Jika klaim Al-Qur’an benar, mengapa banyak detailnya bergantung pada tradisi lisan Yahudi-Kristen yang sudah ada sebelumnya? Bukannya Allah SWT bisa memberikan wahyu yang benar-benar orisinal tanpa jejak pengaruh budaya manusia? Sumber: - Wensinck, A.J., The Muslim Creed (1932) untuk konteks "ummi". - Crone, P., & Cook, M., Hagarism (1977) untuk pengaruh tradisi Yahudi-Kristen. - Donner, F., Narratives of Islamic Origins (1998) untuk konteks sejarah Mekkah.

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Hadlarah

Resensi Buku Oleh: Isngadi Marwah  Judul buku : Salat Tarawih Tinjauan Usul Fikih, Sejarah, d....

Suara Muhammadiyah

25 December 2024

Hadlarah

Oleh: Putri Sabrina Uswatun Hasanah dan Anggun Monica (* Sering kali kita mendengar kata iman dalam....

Suara Muhammadiyah

15 January 2024

Hadlarah

Penyebab Orang Keluar dari Islam Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas....

Suara Muhammadiyah

18 March 2024

Hadlarah

Oleh : Dartim Ibnu Rushd  Dosen Prodi Pendidikan Agama Islam-Universitas Muhammadiyah Surakart....

Suara Muhammadiyah

6 January 2024

Hadlarah

Mengaji untuk Ketenangan Hati Oleh: Mohammad Fakhrudin Muslim mukmin pada bulan Ramadhan sanga....

Suara Muhammadiyah

25 March 2024