Mengarungi Kecenderungan Tafsir Klasik Al-Qur`an (1)

Publish

27 May 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
149
Doc. Istimewa

Doc. Istimewa

Oleh: Donny Syofyan

Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Artikel ini mencoba memahami kecenderungan tafsir klasik. Apa pentingnya? Kita perlu tahu karena banyak tafsir, yang justru dinggap oleh umat sebagai Al-Qur`an, sebenarnya adalah makna yang telah diturunkan kepada kita melalui tafsir klasik. Mereka menyalin satu sama lain hingga menjadi begitu umum. Tatkala kaum Muslim membaca ayat-ayat Al-Qur`an, mereka mencari tafsirnya. Ketika mereka mencari dan membaca tafsirnya, umat membaca ayatnya.

Dalam pikiran seorang Muslim, keduanya—Al-Qur`an dan tafsir—saling terjalin sehingga banyak yang tak bisa membedakan mana Al-Qur`an dan mana tafsir Al-Qur`an. Terkadang dibutuhkan seorang ulama untuk duduk dan memisahkan keduanya hanya untuk menegaskan, “Ini adalah teks dan ini adalah tafsir. Keduanya terpisah.”

Mufassir klasik, di sisi lain, cenderung melakukan dua hal penting. Pertama, mereka cenderung mengambil narasi dari apa yang dikatakan sebelumnya sebagai sesuatu yang otentik, bahwa inilah arti dari Al-Qur`an. Tafsir klasik cenderung dan sebagian besar berdasarkan hadits atau tradisi. Artinya, seseorang mengatakannya dan yang paling penting diucapkan oleh Nabi Muhammad atau para Sahabatnya. 

Logika di balik mengambil apa yang dijelaskan Nabi Muhammad adalah karena beliau adalah penafsir utama. Allah menurunkan Al-Qur`an kepadanya dan beliau menjelaskan Al-Qur`an kepada kita. Jadi alangkah baiknya memiliki hadits dari Nabi yang menjelaskan arti ayat-ayat Al-Qur`an. Sayangnya kita tidak memiliki riwayat dari Nabi sehingga kecenderungannya lebih banyak mengambil dari sumber-sumber lain yang lebih baru.

Ada alasan untuk mengacu kepada para Sahabat Nabi. Mereka hidup bersama Nabi. Mereka adalah Muslim generasi paling awal. Mereka ada saat Al-Qur`an diturunkan. Mereka memahami situasinya dan lain sebagainya. Mereka mengetahui bahasa Arab sebagaimana bahasa Arab pada masa turunnya Al-Qur`an. Ada banyak alasan bagus dan kuat untuk mengambil dan memahami makna yang disampaikan oleh para Sahabat Nabi.

Seiring berjalannya waktu dari satu generasi ke generasi lainnya, alasan untuk mengambil dari Tabi'in (generasi setelah sahabat) dan kemudian Tabi' al-Tabi'in (generasi setelah Tabi'in) semakin berkurang. Tetapi para ahli tafsir klasik Al-Qur`an ingin mendapatkan beberapa riwayat yang menyimpulkan pemahaman yang benar bagi umat berikutnya. Jadi kita sebagai umat khalaf tidak perlu berpikir macam-macam atau lebih jauh. Mereka bahkan sampai pada kesimpulan bahwa menggunakan akal adalah hal yang tabu. 

Menurut mereka, kita tidak bisa menggunakan akal. Kita harus mendapatkannya melalui transmisi. Pengetahuan itu harus ditransmisikan oleh orang lain, dari orang lain kepada kita. Kita hanya menerima pengetahuan itu dan kemudian kita juga berkewajiban menyampaikannya atau meneruskannya kepada orang lain.

Mereka melihat ada teks di satu sisi dan akal di sisi lain. Mereka tidak menggunakan akal tersebut. Mereka bahkan dalam tingkatan tertentu mencela akal. Sebagian besar ini menjadi kecenderungannya, tetapi tentu saja ada variasi pada tema ini. Mereka mencela penggunaan pendapat (ra'yi). Mereka percaya kita tidak bisa memberikan pendapat dalam tafsir dan kita harus menerima tradisi sebagaimana adanya.

Jika biarkan Al-Qur`an sendiri menjelaskan maknanya, lalu apa yang dikatakan Nabi SAW, para Sahabat, Tabi'in, dan Tabi' al-Tabi'in. Mereka melakukannya secara bertahap. Tetapi pada akhirnya, seperti bunyi sebuah ungkapan bijak, “orang yang tenggelam akan meraih apapun untuk bertahan.” Mereka akan meraih apapun hanya untuk mendapatkan tradisi untuk menjelaskan suatu ayat karena mereka menyimpulkan bahwa Anda tidak dapat menggunakan pendapat Anda. Pendapat Anda berbahaya. Ini menjauhkan orang dari keimanan dan sebagainya. Jadi mereka tidak ingin menggunakan akal. Mereka mengambil apapun yang mereka sebut wahyu.

Dengan melakukan itu, mereka melupakan fakta bahwa orang-orang terdahulu yang mereka kutip terkadang juga memberikan pendapat mereka. Kadang-kadang para Sahabat Nabi menyampaikan pendapat mereka. Ada kalanya Tabi'in menawarkan pendapat mereka. Mereka tidak memiliki apapun dari Nabi Muhammad. Jadi mereka menyuguhkan pikiran mereka. Sekiranya mereka memperoleh semuanya dari Nabi, kita tidak membutuhkan orang lain. Kita tidak membutuhkan para Sahabat, Tabi'in, dan Tabi' al-Tabi'in, karena kita mendapatkan secara langsung dari Nabi.

Mengapa kita mengambil dari sumber-sumber yang berbeda dan tak jarang kurang atau tidak akurat? Karena kita tidak secara total memiliki sumber langsung dari Nabi SAW. Ketika kita melihat logika di balik upaya-upaya ini, kita menyadari bahwa itu adalah logika yang gagal. Mereka mengambil pendapat dan menyampaikannya kembali kepada kita sebagai makna Al-Qur`an, namun di saat yang sama mereka mencela pendapat dan mengatakan bahwa kita tidak boleh menggunakan pendapat. 

Tentu kita tidak menggunakan pendapat yang mengada-ada tentang Al-Quran. Kita melakukannya dengan cara yang bijaksana, secara akademis, dan berusaha untuk mencapai kesimpulan yang dibenarkan, bukan hanya menjadikan Al-Qur`an sesuai dengan keinginan kita. Ketika seseorang menyodorkan tafsir klasik kepada kita dan berkata, “Al-Qur`an artinya seperti yang tertulis di tafsir klasik ini” maka kita bisa merespons, “Baiklah, tunggu sebentar, dari mana sumber tafsir klasik?”

Tafsir itu menyebutkan menulis bahwa sumbernya dari seseorang di Abad Pertengahan. Nah, bagaimana orang di Abad Pertengahan itu tahu bahwa inilah yang dimaksud Al-Qur`an? Jika Al-Qur`an sendiri diturunkan sekitar 700 tahun sebelum orang yang dikutip itu, bagaimana orang itu tahu bahwa inilah arti sebenarnya yang dimaksud Al-Qur`an, inilah yang dimaksud Allah? Bagaimana orang ini tahu maksud Allah? Kita perlu mengajukan pertanyaan yang sah seperti ini.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Oleh Amalia Irfani Tulisan ini adalah hasil dari pertemuan penulis dengan beberapa perempuan hebat ....

Suara Muhammadiyah

12 October 2023

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Peristiwa Isra` dan Mi'raj meru....

Suara Muhammadiyah

7 February 2024

Wawasan

Keluarga Muhammadiyah dan Muhammadiyah Keluarga Oleh : Rahmat Balaroa, Kader Muhammadiyah, Founder ....

Suara Muhammadiyah

6 June 2024

Wawasan

Bisakah Muhammadiyah Menjawab Tantangan Kesehatan Mental? Oleh: Nurul Kodriati,Ph.D Hari kesehatan....

Suara Muhammadiyah

10 October 2023

Wawasan

Berhijrah dengan Introspeksi  Oleh: Mohammad Fakhrudin Bagi sebagian umat Islam  Indones....

Suara Muhammadiyah

6 July 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah