Mengarungi Kecenderungan Tafsir Klasik Al-Qur`an (2)

Publish

29 May 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
342
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Mengarungi Kecenderungan Tafsir Klasik Al-Qur`an (2)

Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Itulah hal pertama yang harus kita sadari tentang tafsir klasik, bahwa orang-orang cenderung melaporkan atau meriwayatkan pendapat orang lain tanpa menyadari, atau setidaknya tidak menyoroti bahwa apa yang mereka laporkan sebetulnya pendapat juga. Pada saat yang sama, mereka bersikeras bahwa segala sesuatu harus didasarkan pada tradisi.

Kecenderungan kedua adalah mereka suka meniru. Para mufassir cenderung meniru apa yang ada sebelumnya. Hal ini sesuatu yang baik dalam beberapa hal karena menunjukkan kesetiaan terhadap tradisi. Para ahli tafsir tahu bahwa mereka tidak akan menciptakan sesuatu yang baru dalam Kalamullah. Mereka hanya mereproduksi apa yang ada sebelumnya. Jadi, mereka cenderung mereproduksi tafsir-tafsir sebelumnya. Anda bisa melihat, mengambil, meletakkan suatu tafsir berdampingan dengan tafsir sebelumnya. Bahkan bisa ditemukan tafsir selanjutnya hampir mengulangi kata per kata apa yang ada di tafsir sebelumnya.

Memang terkadang ada variasi, kadang-kadang ada tambahan sesuatu yang baru, ada kalanya ada sedikit pemikiran baru, tetapi sebagian besar hanya bersifat reproduktif. Kita perlu menyadari hal ini sebagai kecenderungan untuk memahami bahwa hanya karena tafsir yang kesepuluh berbeda bahwa Al-Qur`an mengatakan ini, bukan berarti ini benar. Tafsir yang kesepuluh itu sama validnya dengan yang pertama. Mungkin sedikit lebih baik, karena ia ditulis oleh orang-orang di generasi setelahnya yang mendukung dan meratifikasi, menyatakan kembali apa yang dikatakan sebelumnya.

Kita memiliki banyak ulama yang menerima hal yang sama. Tetapi jika pemikiran itu tidak asli, tidak orisinal, orang tidak berpikir out of the box. Jika Anda mencetak sesuatu yang salah pada halaman dan Anda menjalankan mesin fotokopi untuk menghasilkan seratus salinan, maka semuanya akan menjadi sama. Namun, hanya karena sekarang Anda memiliki seratus salinan, tidak berarti apa yang Anda miliki lebih baik daripada naskah yang asli. 

Jika yang naskah asli salah, maka semua salinannya akan salah. Karenamya jika kesalahan telah memasuki sejarah pemikiran tentang makna Al-Qur`an, jika kesalahan ditulis dalam salah satu kitab tafsir, boleh jadi para sarjana Muslim di kemudian hari menyadari kesalahan itu dan menghilangkannya dari tafsir mereka. Tetapi yang banyak terjadi mereka tidak mengenalinya sebagai kesalahan sehingga terus mengulangi hal yang sama. “Mufassir hebat sebelumnya mengatakan ini dan itu, oleh karena itu pasti benar,” demikian pendepat yang sering kit abaca.

Kesalahan demi kesalahan telah berulang dalam tafsir selama berabad-abad. Para mufassir sebetulnya bukanlah pemikir bebas yang secara bebas sampai pada kesimpulan yang sama. Mereka pada dasarnya adalah peniru yang menyalin kesalahan yang ada sebelumnya. Untuk semua hal baik yang ada sebelumnya, kita bersyukur kepada semua mufassir Al-Qur`an yang hebat ini.

Kita harus mengenali kedua kecenderungan ini, agar kita bisa memahami dan menafsirkan Al-Qur`an dengan bantuan tafsir tersebut. Tentu saja dibarengi dengan pemikiran baru agar kita bisa menerapkan Al-Qur`an saat ini yang terus berubah, menghadapi dan menjawab permasalahan nyata yang ada di hadapan kita.

Tafsir-tafsir itu tidak semuanya sama. Kita bisa melihat beberapa variasi di antaranya. Tafsir Al-Kabir, yang ditulis oleh Muqatil bin Sulaiman, amat bagus karena ditulis pada pertengahan abad kedua, tafsir terlengkap paling awal yang kita miliki. Kemudian ada Tafsir Ath-Thabar yang ditulis oleh Imam ath-Thabari. Beliau wafat pada tahun 310 Hijriah. Jadi kita berbicara tentang awal abad keempat Hijriah. Ini adalah tafsir besar atas Al-Qur`an, merangkum banyak hal yang telah dikatakan sebagai tafsir Al-Qur`an sebelum Imam ath-Thabari. Namun Imam ath-Thabari juga melakukan beberapa pemikiran baru dengan mengevaluasi berbagai pendapat yang diriwayatkan. Lalu beliau mengambil kesimpulan pendapat mana yang menurutnya paling tepat.

Kita bisa menemukan bahwa Tafsir Ibnu Katsir sebagian besar didasarkan pada Ath-Thabari, mengulangi hampir kata demi kata apa yang dikatakan ath-Thabari, tetapi lebih condong ke jalur tradisional, hanya sekadar mengulangi apa yang dikatakan sebelumnya. Dalam aliran rasional, kita memiliki Al-Zamakhshari, yang sangat mementingkan tata bahasa dan menganalisis Al-Quran sedari awal dari sudut pandang tata bahasa.

Juga ada ada sosok Imam ar-Razi yang menerapkan banyak pemikiran baru pada Al-Qur`an lewat tafsirnya Mafatih al-Ghaib. Dia melakukan analisis yang sangat rinci tentang makna Al-Qur`an. Jika arti suatu ayat adalah ini, bisa jadi berarti 1, 2, 3, 4. Jika berarti satu, maka untuk satu ada subpoin, dan kemudian subpoin dari subpoin, sampai terkadang pembaca bingung entah dari mana untuk memulai. Kita harus kembali dan menyesuaikan diri lagi. Tapi itu menunjukkan tingkat pemikiran Imam ar-Razi yang sangat mendalam.

Imam ar-Razi adalah seorang Sunni. Dia membela teologi Sunni, terutama vis-à-vis teologi Mu'tazilah dan Qadariyah. Dia ingin membuktikan takdir ilahi berlawanan dengan mereka yang mengatakan bahwa manusia memiliki kemampuan dan kebebasan. Oleh karena itu berdasarkan kebebasan itu, mereka akan diadili.

Perlu diingat, Imam ar-Razi dan kaum Sunni lainnya berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan dan tanggung jawab. Bagi kaum Sunni, keseluruhan sistem itu adil. Ar-Razi menguraikan bahwa setiap tindakan telah ditentukan sebelumnya, dari A sampai Z. Tidak ada yang bisa Anda lakukan untuk mengubahnya dengan cara apa pun. Bila Anda berpikir bahwa Anda sedang membuat pilihan yang baik, sebetulnya pilihan Anda merupakan bagian dari sistem yang telah ditentukan sebelumnya.

Meskipun demikian, Tafsir Imam ar-Razi adalah tafsir yang sangat penting dan bagus untuk dibaca oleh mereka yang ingin menerapkan cara berpikir yang baru. Sayangnya Imam ar-Razi tidak tersedia untuk penutur bahasa Inggris, kecuali Tafsir Ibnu Katsir. Ia telah diterjemahkan, tetapi beberapa bagian telah dihilangkan untuk disingkat, menjadi versi ringkasan. Versi ringkasan tersebut sudah diterbitkan dan tersedia. Dengan membaca versi ringkasan ini kita mendapatkan wawasan tentang apa dan bagaimana tafsir tradisional itu. Hanya saja kita belum bisa mendapatkan keseluruhannya.

Sebuah proyek telah dimulai untuk menerjemahkan Tafsir Imam al-Qurthubi ke dalam bahasa Inggris. Tujuh jilid tafsir tersebut sudah diterbitkan, dari 30 secara keseluruhan. Tetap saja ini adalah usaha besar dan pekerjaan penting. Kita sudah bisa mendapatkan tafsir lengkap, kecuali beberapa puisi yang sulit diterjemahkan. Ketika seorang mufassir mengutip sedikit puisi untuk membuktikan sesuatu dalam penggunaan bahasa Arab, sebagian besar bagian itu dibiarkan tidak diterjemahkan, seperti yang terbaca dalam terjemahan yang dilakukan oleh Aisha Bewley. Meskipun demikian, ini adalah pekerjaan yang bagus. Dan itu memberi kita wawasan tentang bagaimana tafsir tradisional berperan.

Sebagai kesimpulan, saya ingin mengulangi lagi ada dua kecenderungan tatkala kita mengarungi jagad tafsir klasik. Pertama, para mufassir amat bergantung pada laporan atau riwayat yang diturunkan. Mereka hanya ingin melaporkan apa yang dikatakan sebelumnya, dan dalam melakukannya terkadang mereka mengulangi kesalahan para pendahulu mereka. Yang kedua dalam mengerjakan tafsir, mereka cenderung mengutuk penggunaan akal, tetapi pada saat yang sama mereka juga mengandalkan akal tanpa menyadarinya. Dengan mengenali kecenderungan ini dalam tafsir tradisi klasik, kita makin paham dan diengkapi dengan pelbagai kunci untuk memahami Al-Qur`an. *


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Simpul Kader Muhammadiyah: Mendayung di Antara Tiga Pasangan Calon Oleh: Ahmad Ashim Muttaqin, Kade....

Suara Muhammadiyah

8 December 2023

Wawasan

 Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (1)  Oleh: Mohammad Fakhrudin dan Iyus Herdiana Sap....

Suara Muhammadiyah

7 September 2023

Wawasan

Anak-Anak, Kerupuk, dan Kemerdekaan Oleh : Afita Nur Hayati, Bekerja di Universitas Islam Negeri Su....

Suara Muhammadiyah

19 August 2024

Wawasan

Meningkatkan Kesejahteraan Bagi Bangsa Indonesia: Tantangan dan Harapan Oleh: Muhammad Himawan Suta....

Suara Muhammadiyah

8 July 2024

Wawasan

Anak antara Harapan dan Ratapan: Refleksi Hari Anak Nasional Edi Sugianto, Dosen IAI Al-Ghurab....

Suara Muhammadiyah

26 July 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah