Mengenali Batas
Oleh: Ahsan Jamet Hamidi
Soekarno, adalah Presiden Indonesia pertama yang berkuasa selama 22 tahun (1945 hingga 1967). Penggantinya bernama Soeharto. Seorang Jenderal Angkatan Darat, asal Yogyakarta. Dia mampu mempertahankan kursi kekuasaan 10 tahun lebih lama. Yaitu 32 tahun (1967 hingga 1998).
Kedua Presiden yang berkuasa cukup lama itu harus menyerahkan tahta mereka melalui Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat. Suka atau tidak suka, tampuk kekuasaan harus diserahkan. Mereka harus rela kembali menjadi Rakyat biasa. Peristiwa yang menyisakan luka.
Banyak cerita pilu penuh drama yang menyertai proses peralihan kekuasaan pada kedua Presiden itu. Untuk kisah tentang penculikan hingga pembunuhan para Jenderal dan Perwira Tentara di zaman Soekarno, saya hanya bisa membacanya lewat catatan sejarah. Sedangkan cerita tentang penculikan, penahanan, hingga pembunuhan para pengkritik dan mahasiswa yang terjadi pada era Soeharto, ada sebagian peristiwa yang bisa saya saksikan.
Kisah para penguasa negeri yang berakhir dengan kepiluan, terjadi pada diri Ferdinand Marcos. Berkuasa selama 21 tahun (1965 -1986) di Phillipina. Dia adalah presiden terlama, sekaligus presiden pertama yang menjabat berturut-turut secara penuh. Marcos pernah meneken Proklamasi No. 1081 tahun 1972. Isinya pernyataan bahwa Phillipina berada dalam keadaan darurat militer.
Sejak Undang undang itu dicanangkan Marcos begitu berkuasa. Parlemen dibekukan, politisi oposisi ditahan, kebebasan pers dibungkam, kekuatan militer dan polisi mampu ia kendalikan secara penuh. Rezim Marcos menculik, menahan, menyiksa bahkan membunuh lawan-lawan politiknya dengan leluasa.
Pondasi kekuasaan Marcos yang dibangun di atas dasar kekuatan Undang Undang Darurat Militer yang dibuatnya itu cukup efektif. Sebagai seorang Presiden yang berlatar belakang pengacara, kemampuannya membangun benteng kekuasaan di atas kekuatan Militer, Kepolisian dan Badan Intelejen patut diacungi jempol.
Kekuasaannya nyaris mutlak. Semua penghalang yang dianggap bisa merongrong kekuasaan, mampu ia atasi dengan cara-cara yang efektif dan tepat sasaran. Dijamin para pelakunnya akan takut dan jera.
Marcos begitu menikmati kekuasaan. Konon, Komisi Antikorupsi Phillipina memburu harta Marcos sebesar US$10 miliar, setara dengan Rp 144 triliun. Pasangan hidupnya bernama Imelda Romuáldez Marcos. Seorang Ibu Negara yang sangat berpengaruh. Ia berjuluk "Kupu-kupu besi". Gaya hidupnya glamor penuh kontroversi. Klan Romuáldez menduduki posisi-posisi penting di pemerintahananya. Seperti menjadi hakim di mahkamah agung, wali kota, hingga juru bicara parlemen.
Keluarga Marcos memiliki segalannya. Mulai dari bisnis di bidang: listrik, telekomunikasi, maskapai penerbangan, perbankan, bir, tembakau, penerbitan surat kabar, stasiun televisi, perkapalan, minyak dan pertambangan, hotel dan resor pantai, hingga penggilingan kelapa, pertanian kecil, real estat serta asuransi.
Meski begitu, sebagaimana bumi, matahari dan bulan yang terus berputar, begitupun juga kenikmatan dan kekuasaan yang digenggam Marcos. Ia tidak pernah ajeg, jauh dari keabadian. Tahun 1986, Marcos dan Imelda jatuh. Ia ditumbangkan oleh rakyatnya sendiri. Pesta mesti berakhir.
Faktanya, tidak ada kesetiaan yang mutlak. Kekuatan penyangga dari para sayap tentara dan polisi terbelah. Jika sebelumnya ada yang bersumpah setia kepada penguasa. Namun ada juga yang bersumpah setia kepada kepentingan Rakyat banyak.
Keruntuhan kekuasaan itu bermula dari terbunuhnya seorang tokoh oposisi bernama Benigno Aquino. Ia ditembak mati ketika baru tiba dari pengasingan di Amerika Serikat (AS), tahun 1983. Persitiwa keji itu telah memecah kebekuan nyali rakyat Phillipina yang selama ini ada dalam ketakutan.
Pembunuhan itu memicu duka sekaligus amarah jutaan rakyat Phillipina. Mereka turun ke jalan-jalan di Kota Manila dan kota-kota lain untuk menghormati mendiang Benigno Aquino. Kedukaan itu dengan cepat berubah menjadi gerakan pro-demokrasi. Mereka mendukung janda Aquino, Cory, untuk melawan Presiden Marcos dalam pemilu yang dipercepat pada 1986. Gerakan Rakyat itu dikenal dengan nama People's Power.
Rakyat memiliki keberanian dan kepercayaan diri yang sangat kuat. Mereka mampu mendobrak pagar beton yang dijaga ketat oleh kekuatan militer. Kekuatan yang selalu dipersepsi tangguh itu ternyata rapuh. Aksi Rakyat Phillipina mendapat sokongan Gereja Katolik, juga para petinggi senior militer. Mereka membangkang perintah Marcos. Menolak untuk melepas tembakan ke arah pengunjuk rasa.
Gelombang protes massal rakyat Phillipina itu memaksa Marcos kabur ke Hawaii untuk mendapat perlindungan dari Amerika. Imelda, dan ketiga anaknya (Imee, Bongbong, dan Irene), ikut melarikan diri dan hidup dalam pengasingan dengan luka yang tersisa.
Candu Kekuasaan
Meski banyak sekali cerita yang mengisahkan tentang derita yang harus dirasakan oleh para pemburu dan penggenggam kekuasaan, namun kekuasaan itu tetap menjadi candu. Ia begitu penuh pesona dan menyenangkan. Untuk itu, ia terus diburu dan diperebutkan oleh banyak orang. Ada saja yang berani menggunakan berbagai cara-cara nista untuk meraihnya.
Bongbong Marcos, adalah putra mantan Presiden Marcos. Dia pernah memiliki pengalaman pahit saat menyertai Bapaknya lari dari Manila menuju Hawai, tempat pengasingan. Apakah ia lalu jera dan trauma atas kekuasaan? Tidak sama sekali. Beberapa tahun kemudian, ia kembali ke negerinya, membangun kekuatan baru, bertarung dan kebetulan menang. Para pemilih muda usia yang banyak jumlahnya, mungkin abai atas persitiwa sebelumnya.
Mengenali Batas
Kekuasaan adalah amanah yg harus dijalankan. Itu pesan di atas kertas di dalam Kitab Suci. Faktanya, Kekuasaan itu candu yang membuat penggenggamnya ingin terus menikmatinnya sampai mati.
Saya diingatkan oleh sebuah pesan dalam pepatah Arab,
هلك امرؤ لم يعرف قدره
”Hancurlah seseorang yang tidak tahu kapasitas dirinya sendiri”
Hemat saya, salah satu perkara penting yang niscaya disadari oleh manusia adalah mengenali batas atas anugerah apa saja yang ada di dalam dirinnya. Umur, kesempurnaan rupa, kekuasaan, kepandaian, keberuntungan, kesetiaan, bahkan keserakahan sekalipun pasti berbatas. Sebagaimana produk manusia yang selalu ada kadaluarsanya.
Bersyukurlah mereka yang dikarunia kesadaran dalam memahami batas atas karunia yang sedang mereka nikmati. Kesadaran itu mampu mencegah suburnya keserakahan yang kehendaknya tidak terbatas. Kesadaran itu pula yang mampu mencegah manusia dari kehancuran.
Ahsan Jamet Hamidi, Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Legoso, Tangerang Selatan