Yang Tersisa dari Pemilu: Perbedaan Politik dalam Muhammadiyah

Publish

14 February 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
1223
Doc. Istimewa

Doc. Istimewa

Oleh: Bahrus Surur-Iyunk

Mantan politisi, pernah merasakan menjadi anggota dewan, mantan Ketua IMM Cabang Sleman Yogyakarta

Pemilihan umum telah berlalu. Bagi rakyat yang hanya bisa memilih dan mencoblos menganggapnya tugasnya sudah selesai. Tetapi, bagi para kontestan, pengurus partai dan para calon, perjuangan justru (dianggap) baru dimulai. Mereka menunggui hasil pemilihan itu dengan mata terbelalak dan saling mencurigai akan adanya kecurangan. 

Inilah yang akan terus dilakukan oleh mereka sampai titik darah penghabisan di ujung Surat Keputusan. bagi mereka, dicoblosnya surat suara di TPS dianggap jauh dari selesai, meski sudah dituangkan dalam kertas C1 atau C Hasil. Ketika sampai di Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan bahkan KPUD juga dianggap belum selesai, sebelum akhirnya tertuang dalam surat keputusan akhir. Apalagi masih ada Mahkamah Konstitusi.

Tetapi, pemilu ini tampaknya masih akan menyisakan ganjalan bagi Muhammadiyah. Warga Muhammadiyah yang bukan pengurus partai, bukan calon anggota legislative dan bukan pula tim sukses justru ikut ribut tersulut perbedaan pilihan dan aspirasi politiknya. Karena perbedaan itulah muncul permusuhan, tidak saling sapa, menuduh merusak tatanan organisasi, tidak mengikuti arahan pimpinan, jalan sendiri-sendiri, menjadi “makelar politik”, dan sebagainya.

Pluralisme Politik

Padahal perbedaan politik itu tampak sangat jelas di depan mata. Bisa dicermati betapa partai politik yang sebanyak 24 itu akan melahirkan polarisasi yang beragam. Dari partai-partai ini muncul ribuan calon anggota legislative yang tersebar di tingkat pusat (DPR RI), provinsi dan kabupaten/kota (DPRD). Jika mau dihitung, maka akan lahir jutaan perbedaan di masyarakat dan lingkaran keumatan Muhammadiyah. 

Belum lagi, Capres dan Cawapres. Meskipun hanya tiga pasangan calon, tetapi sudah cukup membuat ricuh di dalam organisasi kemasyarakatan seperti NU dan Muhammadiyah. Dari tiga ini saja muncul friksi, saling berebut pengaruh dan tidak jarang saling menuduh dan menyalahkan. Termasuk di dalamnya adalah DPD di masing-masing provinsi yang meski calonnya bisa dihitung dengan jari, tetapi cukup menuai perbedaan di semua lapisan social masyarakat.

Dari semua caleg dan calon itu sudah bisa dipastikan akan mendekati para pengurus ormas, tokoh ormas, tokoh masyarakat, pimpinan Lembaga Pendidikan, pesantren, pengurus rumah ibadah, dan sebagainya. Dan, jika tidak hati-hati maka para tokoh ini akan terjebak pada perseteruan antar pimpinan yang diakibatkan oleh perbedaan pilihan dan provokasi partai dan calon. Dan, kadangkala, perseteruan itu sengaja dihembuskan oleh para politisi dengan berbagai cara agar kekompakan itu terbelah. Tujuannya, suara di dalam pecah dan dia mendapat bagian suara itu.

Belum lagi perbedan pilihan politik itu seringkali dipengaruhi jalinan pertemanan, kekeluargaan, profesi, kesenangan, jaringan alumni, kesamaan agama, komitmen keagamaan, ras-kedaerahan, dan sebagainya. Ini pula yang mempengaruhi perbedaan pilihan dalam lingkaran keumatan Persyarikatan. Jika semua ini tidak disadari dengan sepenuh hati dan bijak, maka warga dan pimpinan Persyarikatan akan terjebak saling menuduh dan tampak tidak dewasa dalam menyikapi perbedaan. Inilah yang harus diwaspadai.

Karena perbedaan itulah maka Muhammadiyah sangat menghindari rekomendasi tertulis untuk calon tertentu, tidak membuat maklumat secara resmi atau tidak resmi, atau memberi arahan atas nama Pimpinan Muhammadiyah. Kader Muhammadiyah itu sangat banyak dan tersebar di hamper semua partai. Menjadi tim sukses capres-cawapres dan DPD di semua lini. Banyak kader Muhammadiyah yang berada dalam satu dapil, tapi lain partai. Namun, tidak sedikit yang berada dalam satu dapil dan satu partai. Begitu juga dalam Capres-Cawapres dan DPD RI.

Yang bisa dilakukan kemudian adalah dengan cara “bisik-bsisik tetangga”. Tidak tertulis, tetapi secara lisan. Kemajuan dan kecanggihan media social, chat pribadi WA, direct massage IG, percakapan facebook dan sebagainya, sangat memungkinkan untuk dilakukan. Tidak mengorbankan organisasi dan bisa tampak lebih cantik permainannya. Semua ini dilakukan demi terselamatkannya oragansiasi sebesar Muhammadiyah. Bagi politisi, kerdipan mata saja sudah cukup menjadi jawaban untuk membangun komunikasi lebih lanjut.

Terlebih lagi, pemilih Muhammadiyah termasuk pemilih yang cerdas. Tidak mudah dipengaruhi dengan apapun, karena independensinya yang tinggi. Kalangan Muhammadiyah sering dimasukkan ke dalam kategori kelas menengah ke atas. Cara berpikirnya kritis dan sulit diarahkan kepada calon tertentu. 

Karenanya, jangan sampai warga dan pimpinan Muhamamdiyah, terutama di level bawah, “dibodohi” oleh para caleg dan pengurus partai. Mereka bertarung habis-habisan dengan segala cara ketika menjelang dan saat pemilihan. Tetapi, ketika sudah selesai dan terpilih mereka justru membangun komunikasi dan akur lagi sesuai dengan kepentingan mereka. Sementara itu, kita yang tidak mendapatkan apa-apa justru cekcok tak pernah selesai. Lucu dan ironis bukan?!

Sangat Berbahaya

Justru yang sangat berbahaya adalah bermain politik di dalam Muhammadiyah. Biasanya terjadi ketika akan ada musyawarah atau pemilihan pimpinan amal usaha. Karena saking ingin menguasai, ada yang kemudian menyebar fitnah, menanamkan rasa kebencaian kepada orang lain, mengatur musyawarah sedemikian rupa, memilih personalia Unsur Pembantu Pimpinan, majelis dan Lembaga, sesuai dengan keinginannya sendiri, menang sendiri sesuai dengan kelompoknya, dan sebagainya. Inilah yang kata Al-Quran dalam surat Al-Hasyr, tahsabuhun jami’an wa qulubuhum syatta, engkau mengira dan melihatnya (seperti) Bersatu, padahal hati mereka bercerai berai. 

Saya yang mantan politisi dan insyaallah paham betul bagaimana suasana berpolitik sangat tidak tega bermain politik di Persyarikatan. Kasihan. Bukan arenanya. Tapi, anehnya, justru yang tidak pernah terjun di dunia politik malah kadang “tidak tahu diri” dan tanpa malu menggunakan cara-cara politik praktis kepartaian di Muhammadiyah. 

Di lain sisi, yang tidak kalah berbahaya adalah menggunakan Muhammadiayh untuk mendapatkan kepentingan tertentu. Ia menjual Muhammadiyah kepada partai atau caleg untuk mendapatkan keuntungan dirinya sendiri. Inilah yang belakangan merebak menjadi “makelar politik”. Semoga tidak terjadi. Wallahu a’lamu.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Rekonsiliasi Pasca Ramadhan: Membangun Jembatan Perdamaian dan Persatuan Oleh: Pandu Pribadi, S.Si.....

Suara Muhammadiyah

17 April 2024

Wawasan

Drh. H. Baskoro Tri Caroko, LPCRPM PP Muhammadiyah. bidang Pemberdayaan Ekonomi Seni dan Budaya Mem....

Suara Muhammadiyah

10 October 2024

Wawasan

Oleh: Dr. M. Samson Fajar, M.Sos.I Dalam khazanah agama islam dosa sering disebutkan ketika melakuk....

Suara Muhammadiyah

18 September 2023

Wawasan

Banten, Jawara dan Muhammadiyah Oleh: Saidun Derani Diskusi “Dakwah Kultural” dikaitka....

Suara Muhammadiyah

1 May 2024

Wawasan

Buya Hamka dan Pancasila Oleh: Fokky Fuad Wasitaatmadja, Associate Professor, Universitas Al Azhar ....

Suara Muhammadiyah

2 June 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah