Menggugat Islam: Reformasi ala Ayaan Hirsi Ali dan Kontroversinya
Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Ayaan Hirsi Ali, dalam bukunya berjudul Heretic: Why Islam Needs a Reformation Now (2015), menyampaikan sebuah argumen yang cukup kontroversial. Ia berpendapat bahwa satu-satunya cara untuk mengakhiri terorisme, konflik sektarian, dan penindasan terhadap perempuan di dunia Muslim adalah melalui reformasi agama.
Ali memulai bukunya dengan menceritakan latar belakang kehidupannya. Ia lahir di Somalia dan menghabiskan masa kecilnya berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain mengikuti orang tuanya. Pada akhirnya, ia dijodohkan dengan seorang pria Somalia yang tinggal di Kanada. Namun, dalam perjalanan menuju Kanada untuk bergabung dengan suaminya, ia memutuskan untuk berhenti di Jerman dan kemudian melanjutkan perjalanan ke Belanda. Ia pun memilih untuk tidak melanjutkan perjalanan ke Kanada dan meninggalkan suaminya.
Di Belanda, Ali terkesima dengan kemajuan dan perkembangan yang ia saksikan. Ia pun mulai mengadopsi gaya hidup yang sangat berbeda dengan nilai-nilai Islam yang ia anut sebelumnya. Ia mengakui bahwa ia mulai minum alkohol, sesuatu yang jelas diharamkan dalam Islam. Ia juga tinggal bersama seorang pria selama lima tahun dan bahkan sempat berpikir untuk memiliki anak di luar nikah, lagi-lagi bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.
Pengalaman hidup Ali di Belanda inilah yang kemudian membentuk pandangannya tentang Islam. Ia merasa bahwa ajaran Islam yang ia terima selama ini terlalu mengekang dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Ia pun menyerukan perlunya reformasi dalam Islam agar agama ini dapat lebih relevan dengan dunia modern dan tidak lagi menjadi sumber konflik dan penindasan.
Dia mengalami kesulitan besar untuk menyelaraskan keadaan hidupnya saat ini dengan keyakinan Islam yang telah menjadi bagian dari dirinya sejak kecil. Perbedaan yang mencolok antara gaya hidup yang dijalaninya di lingkungan baru dan nilai-nilai Islam yang diajarkan padanya sejak dini menciptakan konflik batin yang mendalam. Akhirnya, setelah melalui banyak pergumulan batin, dia memutuskan bahwa satu-satunya solusi yang memungkinkan adalah melepaskan keyakinan Islam sepenuhnya dari hidupnya.
Menurut penjelasannya sendiri, apa yang dia usulkan terkait reformasi Islam dapat dibandingkan dengan proses renovasi bangunan bersejarah yang sudah tua. Dalam proses tersebut, beberapa elemen historis bangunan dipertahankan untuk menjaga jejak masa lalu, tetapi struktur internalnya diganti secara menyeluruh dengan elemen-elemen modern. Jika reformasi Islam yang dia bayangkan mengikuti pola semacam ini, maka reformasi tersebut justru berisiko menghapuskan inti dan esensi sejati dari Islam itu sendiri, sehingga hanya menyisakan cangkang luarnya saja.
Sebagai perbandingan, saya pernah melihat sebuah bangunan yang mengalami renovasi serupa di Toronto, Kanada. Bangunan tersebut awalnya adalah sebuah gereja, tetapi kemudian diubah menjadi tempat tinggal pensiunan. Yang tersisa dari gereja tersebut hanyalah bagian fasad atau tampilan luarnya yang tetap mencerminkan bentuk arsitektur aslinya. Sementara itu, seluruh bagian dalam bangunan telah diganti sepenuhnya dengan desain dan fungsi modern yang sama sekali tidak mencerminkan peran gereja sebagaimana sebelumnya. Bangunan itu kini tidak lagi berfungsi sebagai gereja dalam arti yang sebenarnya, melainkan hanya menjadi tempat tinggal dengan sedikit jejak sejarah yang tersisa.
Apakah ini yang dia inginkan untuk Islam? Sebuah agama yang pada dasarnya tidak lagi mempertahankan identitas dan esensinya, tetapi hanya menyisakan elemen-elemen sejarah untuk sekadar mengingatkan bahwa agama ini pernah ada dalam bentuknya yang asli? Reformasi semacam ini tampaknya akan mengubah Islam menjadi sesuatu yang jauh berbeda dari apa yang selama ini dikenal oleh umatnya.
Salah satu gagasan reformasi yang dia usulkan adalah bahwa umat Muslim seharusnya lebih memprioritaskan kehidupan di dunia ini dibandingkan kehidupan setelah mati. Usulan ini menjadi salah satu dari lima poin utama yang ia paparkan dalam tesisnya. Ia bahkan membandingkan pendekatannya dengan reformasi Martin Luther, yang memiliki 95 tesis, sementara dirinya hanya menawarkan lima. Meskipun jumlahnya lebih sedikit, ide ini menyentuh inti dari tidak hanya ajaran Islam, tetapi juga banyak agama lainnya yang mengajarkan pentingnya memikirkan kehidupan setelah kematian.
Sebagian besar agama menekankan pandangan yang melampaui batasan kehidupan duniawi, dengan mengajarkan bahwa dunia ini hanyalah tempat yang bersifat sementara. Ajaran ini menyampaikan pesan bahwa tindakan dan perilaku kita di dunia seharusnya tidak hanya membawa manfaat bagi kehidupan ini, tetapi juga memberikan ganjaran di kehidupan yang akan datang. Tanpa adanya keyakinan terhadap kehidupan setelah mati, potensi untuk melakukan tindakan yang salah menjadi lebih besar. Seseorang mungkin berpikir, "Nikmatilah hidup sepenuhnya; lakukan apa saja yang bisa dilakukan selama tidak ketahuan."
Namun, agama-agama memberikan jawaban terhadap pandangan seperti itu dengan menegaskan bahwa keadilan sejati berada di tangan Tuhan. Keyakinan terhadap penghakiman dan pertanggungjawaban di akhirat menjadi fondasi penting dalam agama-agama besar seperti Islam, Kristen, dan Yudaisme. Konsep ini mengingatkan bahwa bahkan jika seseorang dapat menghindari hukuman di dunia, tidak ada yang bisa lari dari keadilan ilahi. Dengan menghapus doktrin inti tentang kehidupan setelah mati, umat Muslim akan kehilangan kerangka kerja moral yang menjadi landasan untuk menentukan dan mempertanggungjawabkan perbuatan mereka.
Namun demikian, Islam sebenarnya menekankan pentingnya keseimbangan antara dunia dan akhirat. Hal ini tercermin dalam doa yang diajarkan oleh Al-Quran: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia ini dan di akhirat." Doa ini menunjukkan bahwa umat Muslim didorong untuk bekerja keras untuk meraih kebaikan di kedua kehidupan tersebut, dengan pemahaman bahwa apa yang mereka lakukan di dunia akan memberikan kontribusi terhadap pahala yang mereka peroleh di akhirat.
Bahkan, aktivitas sehari-hari yang tampak biasa, seperti bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga, dianggap sebagai bentuk ibadah dalam Islam. Aktivitas ini tidak hanya membantu memenuhi kebutuhan duniawi tetapi juga dinilai sebagai perbuatan yang mendapat ganjaran dari Tuhan. Pandangan ini menekankan bahwa tidak ada pemisahan antara yang duniawi dan yang religius dalam kehidupan seorang Muslim, karena setiap tindakan dapat menjadi ibadah jika dilakukan dengan niat yang benar.
Dalam buku tersebut, pembagian Hirsi Ali tentang umat Muslim ke dalam tiga kategori, yaitu Muslim Mekah, Muslim Madinah, dan Muslim modifikasi, terlihat cukup membingungkan dan kurang memiliki kejelasan konseptual. Beberapa reformis sebelumnya telah menyarankan agar umat Muslim lebih memusatkan perhatian pada ayat-ayat Mekah dalam Al-Quran, karena ayat-ayat ini umumnya bersifat lebih mendasar dan universal dibandingkan dengan ayat-ayat Madinah. Ayat-ayat Mekah cenderung berfokus pada nilai-nilai spiritual dan prinsip-prinsip umum, sementara ayat-ayat Madinah mencakup peraturan yang lebih spesifik terkait hukum-hukum sosial dan tata kehidupan masyarakat Muslim.
Namun, Hirsi Ali tampaknya mencampuradukkan perbedaan penting ini dalam kerangka kategorisasinya. Contohnya, puasa—yang merupakan salah satu dari lima rukun Islam—berdasarkan pada ayat-ayat yang diwahyukan di Madinah. Meski demikian, ia tetap menyatakan bahwa melanjutkan praktik lima rukun Islam bukanlah masalah. Pernyataan ini menunjukkan ketidakkonsistenan dalam argumen dan kerangka pikirnya, sehingga menyulitkan pembaca untuk memahami logika di balik pandangannya.
Selain itu, konsep yang ia perkenalkan tentang "Muslim modifikasi" juga tidak memiliki definisi yang jelas dan tampak sebagai kategori yang terlalu luas. Kategori ini seolah menjadi tempat bagi siapa saja yang mengusulkan bentuk reformasi tertentu atau memiliki hubungan dengan Islam, tanpa kriteria yang spesifik. Yang lebih membingungkan adalah bahwa dalam buku ini, ia mengadopsi sudut pandang ateistik, dengan terang-terangan menyatakan bahwa Tuhan adalah ciptaan manusia, bukan sebaliknya. Sikap ini bertentangan dengan inti keyakinan Islam, tetapi ia tetap memasukkan dirinya ke dalam kategori "Muslim modifikasi." Dengan langkah ini, ia justru semakin mengaburkan batasan-batasan konseptual yang ada, sehingga definisi dari "Muslim modifikasi" menjadi semakin tidak jelas.