Menghadapi Banjir Informasi dengan Pendidikan Berpikir Kritis

Publish

19 April 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
456
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Menghadapi Banjir Informasi dengan Pendidikan Berpikir Kritis 

Oleh: Sucipto, PhD/ Kaprodi Pendidikan Bahasa Inggris UAD

Setiap pagi, saat kita membuka ponsel, puluhan notifikasi langsung menyapa dari grup keluarga, media sosial, hingga berita daring. Sepanjang hari, informasi terus mengalir tanpa henti: opini berseliweran di lini masa, video pendek mengklaim kebenaran tertentu, dan berbagai pesan berantai menyebarkan data yang belum tentu akurat. Inilah kenyataan hidup kita hari ini hidup dalam banjir informasi. Fenomena ini bukan lagi sesuatu yang luar biasa. Ia telah menjadi bagian dari rutinitas harian masyarakat, mulai dari pelajar, guru, dosen, orang tua, hingga pejabat publik. Sayangnya, di tengah derasnya arus informasi, banyak orang sulit membedakan antara fakta dan opini, antara informasi yang benar dan yang menyesatkan.

Menurut data dari We Are Social (2024), rata-rata orang Indonesia menghabiskan lebih dari 3 jam sehari untuk mengakses media sosial dan bisa menghabiskan waktu lebih dari 7 jam dalam sehari untuk main internet. Sementara itu, riset dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pada tahun 2022 menunjukkan setidaknya 30% sampai dengan 60% masyarakat Indonesia masih kesulitan membedakan berita hoaks dan fakta di internet. Angka ini menunjukkan bahwa literasi informasi masih menjadi tantangan besar. Ditambah lagi, media sosial cenderung menciptakan ruang gema atau echo chamber, di mana seseorang hanya terpapar pada pandangan yang selaras dengan pikirannya sendiri. Akibatnya, kita makin jarang berjumpa dengan pandangan berbeda dan semakin mudah terjebak dalam kebenaran semu.

Salah satu tantangan terbesar dalam menghadapi banjir informasi adalah kemampuan memilah antara fakta dan opini. Fakta adalah realitas objektif yang bisa diverifikasi, sedangkan opini adalah pandangan subjektif. Ironisnya, banyak opini kini dibungkus seolah-olah fakta, disampaikan dengan gaya meyakinkan, lalu tersebar luas dan diterima sebagai kebenaran hanya karena banyak orang membagikannya. Ada banyak contoh informasi dalam bentuk artikel, foto atau video editan yang viral namun belum tentu benar isinya. Namun karena informasi tersebut disebar oleh tokoh yang dianggap kredibel atau sesuai dengan preferensi politik audiens, maka informasi itu diterima begitu saja. Fenomena ini menegaskan betapa pentingnya nalar yang sehat dalam menyaring setiap arus informasi.

Memilah Informasi dengan Bijak

Pendidikan berpikir kritis adalah salah satu solusi untuk mengatasi banjir informasi ini. Dalam konteks ini, pendidikan tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk mentransfer pengetahuan, tetapi juga sebagai ruang untuk membentuk kemampuan berpikir kritis. Berpikir kritis mengacu pada kemampuan individu untuk mempertanyakan informasi yang diterima, membedakan fakta dari opini, dan menggunakan akal sehat untuk mengambil kesimpulan yang logis dan adil. Dalam dunia digital yang penuh dengan manipulasi, pendidikan yang menanamkan nilai-nilai ini menjadi sangat penting.

Media sosial, meskipun memberi banyak kemudahan, juga memperkuat bias dengan algoritma yang menyajikan konten sesuai minat pengguna. Ini menciptakan echo chamber, sebuah gelembung informasi yang membatasi paparan terhadap perspektif lain. Kita akhirnya hanya mendengar gema dari keyakinan sendiri. Dalam jangka panjang, hal ini membuat seseorang sulit menerima perbedaan, mudah terprovokasi, dan kehilangan daya untuk berdialog secara terbuka. Oleh karena itu, pendidikan yang memfasilitasi perkembangan berpikir kritis sangat penting untuk melawan efek negatif dari bias informasi ini. Pendidikan harus mendorong peserta didik untuk bersikap kritis terhadap informasi yang datang dari berbagai sumber, tidak hanya menerima begitu saja informasi yang disajikan, terutama di dunia maya.

Peran Strategis Pendidikan dalam Membentuk Nalar Kritis

Dalam situasi semacam ini, pendidikan memegang peran strategis. Sekolah dan universitas tidak cukup hanya menyampaikan pengetahuan dan keterampilan teknis, tetapi juga harus melatih cara berpikir. Literasi digital, literasi media, dan literasi informasi harus menjadi bagian integral dari kurikulum. Pendidikan harus menjadi ruang yang aman dan terbuka untuk berpikir kritis, bukan sekadar menghafal atau menerima informasi secara pasif. Peserta didik perlu dibiasakan untuk bertanya, mempertanyakan, membandingkan sumber, dan menyimpulkan secara logis. Mereka harus diajak untuk berdialog dengan perbedaan dan tidak mudah terseret arus informasi hanya karena dominan atau populer.

Guru dan dosen tidak cukup hanya menjadi penyampai materi. Mereka juga harus menjadi fasilitator berpikir yang mendorong ruang diskusi, latihan argumentasi, dan pembelajaran reflektif. Di sinilah letak peran pendidikan yang sejati dalam mengembangkan berpikir kritis. 

KH Ahmad Dahlan, pernah menekankan pentingnya penggunaan berpikir kritis dan akal budi. Ia berkata, "Manusia harus mempergunakan pikirannya untuk mengoreksi soal itikad dan kepercayaannya, tujuan hidup dan tingkah lakunya, mencari kebenaran sejati." Dalam konteks era digital, pesan ini sangat relevan. Pendidikan harus memfasilitasi lahirnya manusia yang mampu berpikir jernih, bersikap kritis, dan bertindak berdasarkan nurani.

Berpikir kritis bukan sekadar keterampilan akademik, tetapi fondasi bagi kehidupan sosial dan demokratis. Orang yang berpikir kritis tidak mudah termakan hoaks, tidak cepat marah karena provokasi, dan tidak sembarang percaya tanpa bukti. Ia mampu mengenali bias, menilai sumber, membedakan fakta dan opini, serta bersedia merevisi pandangan jika ada argumen lebih kuat. Kemampuan ini menjadi semacam kompas dalam dunia yang semakin riuh. Ini juga menjadi bagian dari akhlak intelektual yang perlu ditanamkan sejak dini. Yakni kerendahan hati untuk mengakui kesalahan dan keterbukaan terhadap dialog.

Banjir informasi adalah realitas yang tak bisa dihindari. Namun, kita tidak harus menjadi korban. Dengan pendidikan yang menumbuhkan berpikir kritis dan akal budi, kita bisa tetap jernih dalam menghadapi derasnya informasi. Kita butuh generasi yang tidak hanya pintar, tetapi juga bijak dan berkarakter. Pendidikan sejati adalah yang membentuk manusia berpikir mandiri, menghargai perbedaan, dan bertanggung jawab atas kebenaran. Seperti yang pernah dikatakan Albert Einstein bahwa pendidikan bukan hanya tentang menghafal fakta, tetapi tentang melatih cara berpikir seseorang.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Pemilu 2024: Menghidupkan Kembali Spirit Jipolmu Oleh: Yandi Pada bulan maret 2018, PP.Muhammadiya....

Suara Muhammadiyah

14 November 2023

Wawasan

"Moralitas Terjun Bebas", Refleksi Akhir Tahun Bangsa Beragama Oleh: Dani Yanuar Eka Putra Penulis....

Suara Muhammadiyah

30 December 2024

Wawasan

Sebuah Alasan untuk Tetap Semangat Berkarya Oleh: Heriyanti, Kepala SMP Muhammadiyah 3 Yogyakarta, ....

Suara Muhammadiyah

22 May 2024

Wawasan

Belajar dari Kiai Dahlan dan Jackie Chan Oleh: Agusliadi Massere, Wakil Ketua Majelis Pustaka dan I....

Suara Muhammadiyah

27 December 2023

Wawasan

Pentingnya Menjaga Kesehatan Jiwa Mahasiswa Oleh: Ratna Yunita Setiyani Subardjo, S.Psi., M.Psi., P....

Suara Muhammadiyah

10 October 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah