Oleh: Mohammad Fakhrudin
Warga Muhammadiyah Tinggal di Magelang Kota
JABATAN
Jabatan itu amanah
manakala diperoleh melalui jalan Allah
diawali dengan niat ibadah
dilaksanakan senantiasa dengan bismillah
Sungguh jadi ironi
manakala jabatan dicari
apalagi dengan cara keji: membohongi hati nurani
menjual harga diri, memfitnah teman sendiri
Sungguh jadi lelucon murahan
manakala jabatan diperebutkan apalagi dengan kekerasan
mengaku beriman, tetapi berkawan dengan preman
menghalalkan segala jalan demi tercapainya tujuan
Kebenaran dan kemunkaran pun dicampuradukkan
Jabatan itu ujian
menuju kemuliaan atau kehinaan
Mulia jika Qur’an Hadis dijadikan pedoman
Inilah insan mulia yang lulus ujian
Hina jika keduanya ditinggalkan
Inilah manusia hina yang gagal ujian
Jabatan itu pilihan:
memberi sebanyak-sebanyaknya
atau menerima lebih dari haknya
menegakkan kebenaran, tetapi dibenci
atau mengkhianati nurani, tetapi dipuji
***
Di dalam “Refleksi Pilpres 2024" (RP) 2 telah dikemukakan bahwa usia manusia berada dalam genggaman kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Qur’an surat al-An’am (6): 2. Jika tiba saatnya, mati tidak dapat dimajukan atau ditunda sesaat pun sebagaimana di dijelaskan di dalam Al-Qur'an, antara lain, di dalam surat al-A’raf (7): 34.
Oleh karena itu, semestinya kita menggunakaan sisa usia untuk beramal saleh. Memilih pemimpin yang baik merupakan salah satu bentuk amal saleh. Jika memilih pemimpin berdasarkan nafsu keduniaan misalnya agar memperoleh jabatan tertentu atau agar kejahatannya tidak diusut, tindakan tersebut sama saja dengan "menuhankan" nafsu. Jika kemudian datang maut, betapa menderita selamanya di akhirat karena menutup usia dengan amal salah!
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman di dalam surat al-Jasiyah (45): 21
اَمْ حَسِبَ الَّذِيْنَ اجْتَـرَحُوا السَّيِّاٰتِ اَنْ نَّجْعَلَهُمْ كَا لَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ ۙ سَوَآءً مَّحْيَاهُمْ وَمَمَا تُهُمْ ۗ سَآءَ مَا يَحْكُمُوْنَ
"Apakah orang-orang yang melakukan kejahatan itu mengira bahwa Kami akan memperlakukan mereka seperti orang-orang yang beriman dan yang mengerjakan kebajikan, yaitu sama dalam kehidupan dan kematian mereka? Alangkah buruknya penilaian mereka itu."
Menuhankan Nafsu
Hampir dua tahun kita mempunyai kesempatan untuk mengenal kualitas keimanan dan ketakwaan paslon dan pendukungnya. Informasi tersebut dapat kita akses melalui berbagai sumber. Kita dapat memperoleh rambu standar kualitas keimanan dan ketakwaan pemimpin yang kita pilih. Yang jelas, pemimpin yang kita pilih bukan orang yang "menuhankan" nafsu.
Orang-orang yang "menuhankan" nafsunya dikunci pendengaran, hatinya, dan pelihatannya sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Qur’an surat al-Jasiyah (45): 23,
اَفَرَءَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ اِلٰهَهٗ هَوٰٮهُ وَاَ ضَلَّهُ اللّٰهُ عَلٰى عِلْمٍ وَّخَتَمَ عَلٰى سَمْعِهٖ وَقَلْبِهٖ وَجَعَلَ عَلٰى بَصَرِهٖ غِشٰوَةً ۗ فَمَنْ يَّهْدِيْهِ مِنْۢ بَعْدِ اللّٰهِ ۗ اَفَلَا تَذَكَّرُوْنَ
"Oleh karena itu, pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya sesat dengan sepengetahuan-Nya, dan Allah telah mengunci pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutup atas penglihatannya? Oleh karena itu, siapakah yang mampu memberinya petunjuk setelah Allah (membiarkannya sesat)? Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?"
Dari ayat tersebut kita ketahui bahwa orang yang "menuhankan" nafsu tidak mungkin beramar makruf nahi munkar. Apalagi diajak oleh sesama manusia, diseru oleh Allah Subḥanahu wa Ta'ala pun tidak mau!
Pada surat yang sama ayat: 24 Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
وَقَا لُوْا مَا هِيَ اِلَّا حَيَا تُنَا الدُّنْيَا نَمُوْتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَاۤ اِلَّا الدَّهْرُ ۗ وَمَا لَهُمْ بِذٰلِكَ مِنْ عِلْمٍ ۚ اِنْ هُمْ اِلَّا يَظُنُّوْنَ
"Dan mereka berkata, "Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa." Namun, mereka tidak mempunyai ilmu tentang itu; mereka hanyalah menduga-duga saja."
Tak selalu Tua atau Sakit Dulu
Untuk menyadari kembali bahwa sisa usia kita mungkin tinggal hitungan detik, menit, jam, hari, atau pekan, ada baiknya kita selalu merenung tentang mati. Mati tidak selalu melalui tua atau sakit dulu.
TUA PUN TAK PASTI
Serasa setiap saat usia bertambah
Sesungguhnya kematian makin dekat
Ada orang bilang
Tua itu pasti
dewasa itu pilihan
Yang sebenarnya terjadi
tua pun tak pasti
Yang pasti adalah mati
Mati tak pernah kompromi
dengan siapa pun
kapan pun
di mana pun
dan bagaimana pun
Mati tak selalu melalui
tua atau sakit dulu
dapat datang ketika
menyanyi atau mengaji
bermaksiat atau beribadat
nyinyir atau zikir
marah atau ramah
melawan kezaliman
dan menegakkan kebenaran
atau membiarkan bahkan melakukan kezaliman dan kemunkaran
tobat dan ampunan didapat
atau tambah jahat dan dapat laknat
Entah usia tinggal berapa
tahun
bulan
bekan
hari
jam
menit
detik
dalam genggaman kekuasaan Allah
Pilihan Dilematis
Pada bagian akhir RP 2024 (2), terdapat dua pertanyaan, yaitu (1) Bagaimana warga masyarakat penerima bansos atau bantuan yang lain dan (2) Bagaimana pula ASN?
Ada respons dari pembaca, antara lain,
"Menurut logika liar saya penerima bansos boleh menerima karena itu haknya. Tentang pilihan, harus berani keluar dari hegemoni pemberi. Sebab pada dasarnya pemberi adalah pemerintah dan bukan pribadi/golongan pemberi secara pribadi.
ASN? Selama ini ASN hanyalah pihak yang selalu diperalat dalam masa pemilu. Alhamdulillah secara pribadi saya tidak pernah mengalami dampak langsung. Namun, yang berkaitan dengan kenaikan gaji, saya anggap itu hak saja, toh penasarufannya bisa kita manfaatkan untuk sedekah, infak dan sejenisnya."
Pendapat tersebut kiranya dapat dijadikan bahan renungan yang sangat penting.
Di antara warga masyarakat penerima bantuan mungkin ada yang demi tetap menerimanya, selalu mengatakan, “Siap, laksanakan!” terhadap perintah ketua RT, RW, atau kepala desa, atau lurah yang mengarahkan warganya mendukung paslon tertentu. Mungkin di antara mereka ada yang yakin benar bahwa bantuan itu diperolehnya atas kerja ketua RT, ketua RW, kepala desa, atau lurah! Di dalam kenyataan cukup banyak ketua RT, ketua RW, kepala desa, atau lurah yang tidak tahu mengapa warga tertentu menerima, sedangkan yang lain tidak, padahal dari segi kemampuan ekonomi, warga tersebut sama-sama memerlukannya. Bukti ketidaktahuannya dapat kita ketahui misalnya ketika ditanya oleh warganya yang tidak menerima bantuan, mereka mengatakan, “Saya tidak tahu.”
Di tempat lain mungkin ada ketua RT, ketua RW, kepala desa, atau lurah yang dengan tegas menyatakan bantuan yang diterima warganya merupakan hasil perjuangannya. Berkenaan dengan pendapatnya itu, mereka dengan penuh semangat mengarahkan warga masyarakat penerima bantuan agar memilih paslon tertentu supaya tetap memperoleh bantuan.
ASN boleh jadi menghadapi pilihan yang dilematis. Mereka dikondisikan agar memilih paslon tertentu jika tidak ingin terhambat kariernya atau mereka malahan diancam dengan sanksi yang lebih berat lagi.Timbul konflik di hatinya: melaksanakan perintah atasan, tetapi tidak cocok dengan hatinya. Namun, jika menolak perintah, mereka terancam kehilangan pekerjaan.
Pada masa orde baru (orba) memang sejak awal sudah dikondisikan bahwa PNS, bahkan karyawan BUMN, dan karyawan BUMD secara otomatis dinyatakan sebagai warga Golongan Karya (Golkar). Setiap menjelang pemilu pasti diadakan pembinaan. Pada saat pembinaan, pemateri mengatakan, “Ibarat memilih rumah makan, Anda dengan kesadaran sendiri telah memilih rumah makan yang sudah Anda ketahui dengan jelas menu apa yang disediakan. Karena Anda sudah berada di rumah makan yang Anda pilih, yakni rumah makan yang menyediakan satai dan gulai misalnya, tidak mungkin Anda dapat makan nasi pecel! Jika mau makan nasi pecel, silakan pindah ke rumah makan yang menyediakannya. Jadi, karena Anda memilih menjadi PNS, konsekuensinya, Anda wajib memilih Golkar!”
Pada masa itu jika ada orang tua yang berstatus sebagai PNS, tetapi anaknya menjadi aktivis di luar Golkar, mereka harus siap menanggung risiko. Ada di antara mereka yang dipanggil oleh atasannya. Mereka ditegur, dimarahi, bahkan, diancam pemecatan! Jika pada pilpres 2024 masih ada perlakuan demikian terhadap ketua RT, ketua RW, kepala desa, atau ASN, apakah tidak berarti bahwa cara-cara yang ditempuh oleh penguasa sekarang sama dengan cara-cara masa orba?
Harga Kebenaran
Ada ulama yang berpendapat bahwa uang yang diberikan oleh timses paslon tertentu tidak selalu bermakna uang suap dan orang yang mau menerimanya tidak berarti menerima uang suap. Boleh jadi, uang tersebut merupakan biaya untuk mendapat dukungan bagi pemenangan kebenaran. Pendapat tersebut harus kita pahami dengan cerdas dan hati yang jernih.
Boleh jadi maksud pendapat ulama tersebut adalah sebagai berikut. Jika memang ada pengondisian agar ketua RT, ketua RW, kepala desa menggiring warganya, atau pejabat struktural mengondisikan ASN bawahannya agar memilih paslon tertentu dan untuk itu mereka menerima “janji” menerima imbalan, tetapi jika tidak melaksanakan perintah itu, mereka diancam pemecatan atau pencopotan jabatannya, apakah tidak lebih baik mereka “dibeli” agar mau menjadi saksi dalam penegakan kebenaran, yakni pilpres yang jujur dan adil?
Bahkan, jika perlu, para pejuang penegak kebenaran menyiapkan juga pekerjaan jika terjadi akibat bersaksi untuk membela yang benar, mereka dipecat! Perjuangan melawan kezaliman dan menegakkan kebenaran memang mahal! Namun, itulah pilihan yang harus diambil.
Semoga Allah Subhaanahu wa Ta'ala senantiasa mencerahkan pikiran dan hati kita. Aamiin.