Menghindari Bias Gender dalam Tafsir Al-Qur`an
Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Menghindari tafsir yang tidak adil terhadap perempuan adalah tantangan besar bagi umat Muslim saat ini. Mari kita lihat bagaimana hal ini terjadi dalam sejarah Islam. Ada banyak tafsir berbahasa Arab yang ditulis pada Abad Pertengahan. Saat ini, tafsir terus diterbitkan dari bahasa Arab ke bahasa Inggris, Indonesia, dan lain-lain. Tafsir baru juga ditulis, tetapi banyak yang terwarnai dengan pandangan Abad Pertengahan tentang perempuan dan posisi perempuan dalam masyarakat. Terkadang pandangan dan pemikiran tentang kedudukan perempuan dalam masyarakat tersebut telah mempengaruhi cara tafsir Al-Qur`an.
Kita, di dunia modern, boleh jadi merasa tidak nyaman dengan beberapa tafsir ini dan sebaliknya sudah terbiasa dengan tafsir tersebut. Tak jarang kita gagal membedakan antara apa yang sebenarnya dikatakan Al-Qur`an dan apa yang telah dihasilkan oleh para mufassir. Lewat tulisan ini, saya ingin membahas bagaimana memisahkan keduanya, mengklarifikasi apa yang sebenarnya pesan Al-Qur`an dan mana yang merupakan hasil tafsir manusia.
Bagaimana Al-Qur`an diterapkan di dunia modern ini di mana orang mengakui hak-hak perempuan dan cenderung bersikap adil? Islam memberikan hak kepada perempuan yang telah lama diakui dalam masyarakat Muslim, bahkan oleh para mufassir. Mereka melampaui zaman dan tempat dengan melembagakan hak-hak perempuan, misalnya hak perempuan untuk memberikan suara dalam masyarakat Muslim, hak untuk memiliki properti, hak untuk mempertahankan nama mereka setelah menikah dan sebagainya.
Ada beberapa ayat dalam Al-Qur`an yang selama ini ditafsirkan dengan cara yang dinilai tidak adil terhadap perempuan. Salah satunya adalah surah ke-4 ayat ke-34. Ayat ini telah ditafsirkan secara luas bahwa Allah mengizinkan seorang suami untuk memukul istrinya. Namun ketika ayat ini dipahami dalam terang konteks keseluruhan Al-Qur`an, kita akan melihat bahwa maknanya sebenarnya tidak demikian.
Ayat ke-34 ini muncul setelah ayat ke-29 yang diawali dengan “Hai orang-orang yang beriman” (يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟). Karena ditujukan kepada orang-orang beriman secara umum, maka jelas ini bukan ditujukan kepada suami secara khusus. Ayat ke-34 ditafsirkan oleh mufassir bahwa seorang suami boleh memukul istrinya. Bagi mereka, ayat ini ditujukan kepada laki-laki, khususnya para suami.
Ayat ke-34 tersebut sebetulnya adalah sapaan kepada orang-orang beriman. Ia dimulai dengan ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ (Laki-laki adalah pelindung dan pemelihara perempuan), tidak disebutkan suami, tetapi rijal (laki-laki). Ayat ini tidak berbunyi, “Hai para laki-laki, kamu adalah pelindung wanita” tapi ia ditujukan kepada komunitas secara umum, يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟
Perhatikan juga ayat berikutnya, yakni ayat ke-35 yang ditujukan kepada komunitas Muslim. Para mufassir klasik memahami ayat ke-34 ditujukan kepada laki-laki secara khusus, kepada suami. Ketika sampai pada ayat nomor 35, ada sementara mufassir yang bertanya ayat ini menyapa siapa? Sebab mereka sadar bahwa ayat ke-35 tidak bisa ditujukan kepada laki-laki secara khusus. Ia pasti ditujukan kepada komunitas Muslim secara umum.
Sebagai misal, al-Razi—salah satu mufasir klasik dalam tafsirnya yang kesohor Mafatih al-Ghayb (مفاتيح الغيب) yang juga dikenal dengan sebutan al-Tafsir al-Kabir (التفسير الكبير), yang berarti tafsir besar—ketika membahas ayat ke-35 bertanya dengan lantang, “Siapa yang sedang disapa dalam ayat ini?” Alasannya menanyakan hal ini karena pada ayat sebelumnya asumsinya adalah ini ditujukan kepada laki-laki, dan laki-laki diberi tahu bahwa mereka memiliki izin untuk memukul istri mereka.
Tetapi ketika sampai pada ayat ke-35, dia menyadari bahwa ini adalah sapaan kepada orang-orang beriman atau komunitas Muslim secara umum, yang jika mereka melihat ada keretakan antara suami dan istri, masalah tersebut dibawa ke pengadilan. Biasanya masyarakat akan turun tangan atau jika mereka melihat ada pelecehan yang terjadi, bahkan jika tidak ada kasus yang dibawa ke pengadilan atau hakim, komunitas Muslim akan mencoba menyelesaikan masalah ini dengan menunjuk orang yang tidak memihak, satu dari keluarga pria dan yang lain dari keluarga wanita. Diharapkan kedua pihak bisa berbaikan dan pernikahan mereka bisa diselamatkan.
Ayat-ayat sebelum dan sesudah ayat ke-34 menyapa komunitas Muslim secara umum. Begitu juga pada ayat ke-34, ditujukan kepada komunitas Muslim, terutama karena dalam ayat ke-34 tertulis وَٱلَّـٰتِى تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهْجُرُوهُنَّ فِى ٱلْمَضَاجِعِ وَٱضْرِبُوهُنَّ ۖ (Adapun perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka, dan jauhilah mereka di tempat tidur dan pukullah mereka). Bagian تَخَافُونَ (kamu khawatirkan) di sini dilanjutkan dalam ayat ke-35 وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا (jika kamu khawatir akan perpecahan antara keduanya). Jadi Anda lihat, ini adalah kata ganti 'kamu' yang sam. Dalam ayat ke-35, jelas ini adalah komunitas Muslim.
Kembali ke ayat ke-34, ayat ini juga ditujukan kepada komunitas Muslim. Jika komunitas Muslim mengkhawatirkan pembangkangan atau sikap durhaka para perempuan khususnya, maka ada cara untuk mengatasi masalah tersebut. Pertama, dengan nasihat berupa kata-kata, kemudian berupa pemisahan tempat tidur, mungkin seperti tahanan rumah, dan ketiga, hukuman fisik jika itu yang pantas. Tentu saja, kapan harus menerapkannya dan bagaimana dalam masyarakat modern, semua ini perlu dibahas.
Jadi ayat itu tidak berarti dan tidak mengatakan bahwa suami harus atau boleh memukul istri mereka. Sebab ayat itu tidak dimulai dengan “yaa ayyuhar rijaal” atau ‘wahai para lelaki’ dan ayat selanjutnya juga tidak berbunyi “Wahai para lelaki, jika kamu khawatir akan pembangkangan istri-istri kamu, maka lakukanlah ini.” Nyatanya bukan itu yang dikatakan ayat tersebut. Oleh karena itu, ayat tersebut ditujukan kepada orang-orang beriman. Sapaan kepada orang-orang beriman itu dimulai pada ayat ke-29 dan berlanjut hingga ayat ke-35.
Karenanya ayat ke-34 ini sama sekali tidak bias terhadap perempuan. Di sisi lain, laki-laki juga akan dihukum jika mereka melanggar moral, terutama dalam hal yang menjijikkan seperti perselingkuhan. Hal ini kita temukan penyebutannya masih dalam surah ke-4 ayat ke-15 dan ke-16. Khusus pada ayat ke-16 disebutkan bahwa jika dua orang melakukan zina, maka kalian harus menghukum mereka berdua, dan kedua orang tersebut bisa jadi laki-laki dan perempuan. Jadi laki-laki jelas termasuk di sana dilihat dari konstruksi gramatikalnya.
Karenanya, Al-Qur`an sangat adil terhadap kedua jenis kelamin. Baik laki-laki maupun perempuan jika melakukan perbuatan tidak senonoh, mereka juga harus diperlakukan sesuai dengan apa yang disebutkan dalam ayat ke-34. Ini bukanlah izin bagi laki-laki untuk memukul istri mereka. Ini adalah izin bagi negara untuk menerapkan hukuman fisik setelah tindakan sebelumnya gagal.
Ini adalah hukuman fisik yang akan diterapkan oleh komunitas Muslim dan oleh pihak otoritas yang jelas sebagai wakil, bukan oleh laki-laki secara khusus, yang memukul istri mereka. Al-Qur`an tidak mengizinkan laki-laki untuk memukul istrinya, dan ini adalah kesalahpahaman yang muncul dalam tafsir yang telah ditulis dan disalin hingga hari ini. Wallaahu a’lam.