‘Ratu Adil’ di Zaman ‘Megatruh Kambuh’
Oleh Mu’arif
Megatruh adalah salah satu tembang mocopat gubahan R. Ng. Ronggowarsito, filosof, sastrawan, dan juga futurolog yang hidup pada zaman keemasan Mataram Islam. Tembang Megatruh memiliki kesan haru dan sekaligus getir—berasal dari kata ‘megat’ (Jawa) berarti pisah/cerai dan ‘ruh’ berarti jiwa/nyawa. Konon, tembang ini merupakan spirit masyarakat Jawa pada umumnya. Ronggowarsito memang memiliki visi sangat tajam, menembus masa depan, melampaui pikiran pada zamannya. Dengan kemampuan membaca tanda-tanda zaman, sang begawan mengidentifikasi dinamika zaman peralihan dari masa kacau balau yang diiringi otoritarianisme menuju masa ketentraman dan kedamaian lewat peran otoritas ‘sang ratu adil.’
‘Megatruh Kambuh’ adalah sebuah metafora zaman yang dipakai WS Rendra dengan meminjam ramalan dan teori Ronggowarsito untuk membaca kondisi sosial, budaya, dan politik bangsa Indonesia yang telah mengalami apa yang disebut sebagai Kalatida (zaman kacau balau) dan Kalabendu (zaman kerusakan). Dalam kehancuran, datanglah ‘ratu adil’ membawa kemakmuran (Kalasuba). Tahapan dari kalatida dan kalabendu menuju kalasuba dalam ramalan dan teori Ronggowarsito seolah telah menjadi pola yang khas. Indikasi tiap-tiap fase zaman juga betul-betul jelas dan nyata. Seakan-akan dialektika sejarah telah menghadirkan masa lalu yang berulang kembali ketika WS Rendra menggungat zaman lewat ‘Megatruh Kambuh.’ Namun, Rendra menghadirkan teori Ronggowarsito dengan cara pandangnya sendiri, mengritik ‘zaman edan’ (Kalatida dan Kalabendu) dengan proses rasionalisasi yang senafas dengan alam pikiran zaman. Maka pasca zaman edan tidaklah tampak siapa ‘sang ratu adil.’ Proses transformasi sosial mengisyaratkan suatu gerak dinamis dalam masyarakat yang membutuhkan daya hidup atau stamina kebudayaan.
“Megatruh Kambuh: Renungan Seorang Penyair dalam Menanggapi Kalabendu,” naskah pidato penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa (HC) di kampus Universitas Gajah Mada (UGM) disampaikan WS Rendra pada tanggal 4 Februari 2008. Tulisan ini mencoba untuk mengartikulasikan kembali hasil terawangan penulis ketika membaca “Megatruh Kambuh” dalam konteks trasformasi sosial, budaya, dan politik di Indonesia dewasa ini.
Si Burung Merak
Namanya Willybrodus Surendra Broto Rendra tapi lebih populer dipanggil WS Rendra. Lahir di Solo pada 7 November 1935, WS Rendra mendapat julukan “Si Burung Merak.” Julukan ini ia peroleh tanpa sengaja atau lewat peristiwa kocak sewaktu mengantar seorang teman asal Australia yang berkunjung ke kebun binatang Gembiraloka (Yogyakarta). Ketika di depan kendang merak, Rendra melihat seekor merak jantan berbuntut indah sedang dikerubungi merak-merak betina. “Seperti itulah saya,” Rendra nyeletuk.
Ya, seperti burung merak kehidupan WS Rendra sehari-hari, karena ia memang memiliki dua orang istri (Sunarti dan Sitoresmi) pada waktu itu. Dari mulut ke mulut, Rendra berkelakar tentang cerita tentang burung merak jantan itu. Teman-teman sesama seniman, khususnya yang di Yogyakarta, lalu menjulukinya “Si Burung Merak.” Demikian seperti dikisahkan Edi Haryono, kawan dekat WS Rendra (detik.com., 7/8/2009).
WS Rendra meninggal dunia setahun setelah menyampaikan pidato penganugrahan Doctor Honoris Causa dengan judul “Megatruh Kambuh.” Ia meninggal dunia pada malam Kamis, 6 Agustus 2009, bertepatan tiga hari setelah meninggal Urip Ahmad Ariyanto atau Mbah Surip, seniman nyentrik yang kondang lewat lagunya, “Tak gendong ke mana-mana…” Kini, “Megatruh Kambuh” menjadi monumen kesaksian seorang penyair di abad 21 yang terinspirasi dari ramalan dan teori pujangga besar abad 19 tentang proses transformasi sosial, budaya, dan politik dari zaman kekacauan menuju zaman ketenteraman dan kesejahteraan.
Megatruh Kambuh
Dengan naluri seorang sastrawan yang tajam mengendus tanda-tanda zaman, dengan meminjam ramalan dan teori pujangga Ronggowarsito pada pertengahan abad ke-19, WS Rendra menyampaikan buah perenungannya dalam “Megatruh Kambuh.” Menurut ramalan Ronggowarsito, akan datang zaman edan yang disebut kalatida, dengan indikasi sebagai berikut: 1) akal sehat diremehkan, 2) kebenaran dan kebatilan, keadilan dan kezaliman, kebaikan dan keburukan, tidak digubris, 3) krisis moral merajalela, 4) erosi tatanilai di segenap lapisan masyarakat, 5) kekuasaan korup (hlm. 1). Kalatida adalah zaman kacau balau (chaos) yang membuka jalan menuju kohesi sosial baru. Namun, kohesi sosial baru tidak menjamin kehidupan yang sejahtera dan harmonis karena “Mesin Budaya” tidak berdaulat kepada rakyat, tidak berkeadilan, tidak berperikemanusiaan, dan tidak menghargai dinamika kehidupan yang mendorong ‘daya hidup’ dan ‘daya cipta’ anggota masyarakat.
Kohesi sosial bertumpu pada apa yang disebut oleh WS Rendra sebagai “Mesin Budaya.” Yaitu, seperangkat aturan yang mengikat dan menimbulkan akibat. Dalam konteks ini, Si Burung Merak meletakkan filosofi manusia sebagai homosocius—makhluk sosialis yang selalu berhubungan dengan manusia lain dalam mewujudkan keinginan dan kebutuhan hidupnya. Namun, dalam mewujudkan keinginan dan kebutuhan, manusia dibatasi oleh aturan-aturan yang mengikat dalam masyarakat. Etika umum, aturan politik, aturan ekonomi, atau aturan hukum lainnya, tidak dapat dilanggar oleh manusia karena akan menimbulkan akibat tertentu. “Semua usaha manusia dalam mengelola keinginan dan keperluannya akan berurusan dengan aturan-aturan itu, atau “Mesin Budaya” itu,” tulisan Rendra (hlm. 2).
Dalam situasi chaos, ketika “Mesin Budaya” tidak berdaulat kepada rakyat, tidak berkeadilan, tidak berperikemanusiaan, dan tidak mampu mendorong daya hidup dan daya cipta anggota masyarakat, maka yang terjadi adalah apa yang disebut pujangga Ronggowarsito sebagai Kalabendu: zaman kehancuran. Kohesi sosial justru ke arah kehancuran. Menurut WS Rendra, Kalabendu memang sangat mantap stabilitasnya, tetapi instrument stabilitas adalah penindasan (daulat penguasa). Indikasinya sangat nyata: 1) ketidakadilan didewakan, 2) ulama-ulama mengkhianati kitab suci, 3) kekuasaan tak boleh dikritik, 4) korupsi dilindungi negara, 5) kemewahan dipamerkan kepada rakyat jelata, 6) penjahat dipahlawankan, tapi orang jujur malah ditertawakan (hlm. 1).
Seharusnya, kohesi sosial mewajibkan “Mesin Budaya” ideal yang menurut WS Rendra adalah yang berdaulat rakyat (bukan daulat penguasa), adil, berperikemanusiaan, dan menghargai dinamika kehidupan—yang mampu mendorong ‘daya hidup’ dan ‘daya cipta’ anggota masyarakat. Setelah fase Kalatida dan Kalabendu datanglah Kalasuba, yaitu zaman kesejahteraan dan kemakmuran. Pujangga Ronggowarsito mensyaratkan hadirnya Ratu Adil—sebagai aktor penggerak perubahan—dalam mewujudkan zaman kesejahteraan dan kemakmuran. Apakah Ratu Adil representasi dari sosok atau aktor perubahan sosial atau suatu personifikasi dari tatasistem baru yang berdaulat rakyat, berkeadilan, berperikemanusiaan, dan menjunjung tinggi dinamika kehidupan?
Menariknya, dalam perenungan WS Rendra, urutan fase Kalatida, Kalabendu, dan Kalasuba tidak hanya terjadi zaman Mataram Islam, tetapi berlaku umum bagi beberapa bangsa di dunia. Seperti di zaman Yunani purba, Romawi, Reich pertama di Germania, Prancis, Spanyol, Portugal, Iran, Irak, Rusia, India, dan lain-lain (hlm. 2). Jika ditarik dalam suatu simpul teori, maka fase Kalatida, Kalabendu, dan Kalasuba adalah irama zaman, timbul dan tenggelamnya zaman, pergolakan zaman, atau ‘wolak waliking zaman.’ Rendra pun menghadirkan irama Megatruh di alam modern yang kembali kambuh, ketika bangsa ini menghadapi globalisasi yang kian menguras stamina kebudayaan Indonesia.
Kebudayaan masyarakat, dalam pandangan Rendra, sangat terikat oleh apa yang disebut sebagai “Mesin Budaya.” Dalam masyarakat tradisional, hukum adat begitu kuat, membatasi dan mengontrol setiap keinginan dan kebutuhan individu agar tidak menindas individu lain. Setiap aturan adat memiliki akibat atau konsekuensi yang harus ditanggung pemeluk adat. Aturan-aturan yang mengikat dikawal oleh para tetua atau tokoh masyarakat lewat dewan adat. Inilah struktur kekuasaan pertama yang tertinggi dalam masyarakat adat. Selanjutnya, ketika hadir struktur politik kekuasaan dalam masyarakat adat, maka maka pemerintah berfungsi sebagai pengemban adat yang patuh kepada adat. Inilah struktur kekuasaan kedua yang tertinggi di kalangan masyarakat adat (hlm. 3).
Dalam masyarakat tradisional yang kuat berpegang pada aturan-aturan adat tidak mudah ditaklukkan atau dihegemoni oleh bangsa lain. Pada zaman kolonial, suku-suku di tanah air yang berpegang teguh pada adat akan sulit ditaklukkan. Sebaliknya, masyarakat tradisional yang sangat longgar terhadap aturan-aturan adat dengan mudah dikuasai bangsa asing. Rendra menyebut dua struktur masyarakat tradisional yang paling sulit ditaklukkan oleh bangsa kolonial, yaitu Bali dan Minangkabau. Di Bali, kata Rendra, struktur kekuasaan adat telah menyatu dalam agama dan pura. Sedangkan di Minangkabau, struktur adat telah menyatu dalam syariat dan kitabullah (hlm. 4).
Sebaliknya, dalam masyarakat tradisional yang longgar terhadap aturan-aturan adat sangat mudah ditaklukkan oleh kaum penjajah. Rendra menyebut beberapa contoh seperti Deli, Indragiri, Jambi, Palembang, Banten, Cirebon, Jayakarta, Mataram Islam, Kutai, dan Madura adalah contoh-contoh dari struktur masyarakat adat yang terlalu longgar terhadap aturan-aturan adat. Kekuasaan adat cenderung bersifat mekanistik, hanya pelengkap bagi kekuasaan politik, sehingga dengan mudah diintervensi oleh kepentingan politik kolonial (hlm. 4).
Dalam struktur masyarakat tradisional yang sangat longgar terhadap aturan-aturan adat, yang terjadi adalah kondisi yang kacau balau. Indikasinya seperti zaman Kalatida, yaitu ketika hilang akal sehat, muncul kebatilan, kezaliman, dan keburukan, tidak digubris. Krisis moral merajalela dan terjadi erosi tatanilai di setiap lapisan masyarakat. Kedatangan kaum kolonial memang menggiring kohesi sosial baru, tetapi kepentingan politik dan ekonomi bangsa asing yang menjadi tujuan utama. Akhirnya praktik tanam paksa (culture stelsel) dan pemaksaan budaya baru dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan cenderung otoriter. Walaupun stabilitas sosial tampaknya sangat mapan, tetapi instrument untuk mewujudkan tatasistem dan tatanilai masyarakat kolonial adalah penindasan. Dalam kondisi seperti ini, “Mesin Budaya” dalam masyarakat tidak berdaulat kepada rakyat, tetapi berdaulat kepada penguasa kolonial. Tatasistem dan tatanilai tidak berkeadilan, tidak mengenal perikemanusiaan, dan tidak mendorong daya cipta anggota masyarakat secara dinamis. Zaman Kalatida justru berubah menjadi Kalabendu.
Menurut WS Rendra, Kalatida dan Kalabendu adalah zaman edan yang mematikan daya cipta dan daya gerak setiap anggota masyarakat. Setelah zaman edan datanglah Kalasuba, yaitu zaman kesejahteraan dan kemakmuran. Kemerdekaan bangsa Indonesia adalah pintu gerbang menuju kesejahteraan dan kemakmuran. Apakah para tokoh penggerak kemerdekaan atau dua pahlawan proklamator Indonesia disebut sebagai representasi ‘Ratu Adil’? Dalam tilikan Rendra, ‘Ratu Adil’ bukanlah figure. ‘Ratu Adil’ di mata Si Burung Merak adalah personifikasi dari aturan-aturan yang mengikat dalam masyarakat. Yaitu, etika umum, aturan politik, aturan ekonomi, aturan hukum, yang tidak boleh dilanggar oleh manusia agar kehidupan masyarakat sejahtera dan harmonis.
Teori ‘Megatruh Kambuh’ tampaknya senantiasa relevan untuk membaca dinamika dan tanda-tanda zaman sekalipun bangsa ini telah memasuki fase pembangunan. Zaman edan dan masa transisi selalu berputar, selalu ‘kambuh’ setelah suatu masyarakat atau bangsa melewati zaman kacau balau. Dan benar apa yang diprediksi Rendra, bahwa masa transisi belum juga berlalu, sekalipun bangsa ini telah membuka gerbang Reformasi 1998. Masa peralihan ini telah menjelma menjadi Kalatida, ketika akal sehat sudah diremehkan. Tata nilai dan kebenaran telah dijungkirbalikkan. Inilah yang beberapa abad yang silam telah diramalkan oleh pujangga Ronggowarsito, bahwa pasca Kalatida, bangsa ini akan memasuki masa anarkhisme (Kalabendu). Namun, masa kehancuran tata nilai dan kebenaran akan berlalu seiring datangnya Kalasuba (Zaman Kemakmuran).
Kalasuba tak datang begitu saja karena ia mensyaratkan munculnya sosok “Ratu Adil.” Kedatangan Ratu Adil inilah yang menurut Ronggowarsito menjadi alternatif solusi untuk mengatasi kerusakan tatanan kehidupan. Namun, bagi Si Burung Merak, justru figur Ratu Adil dianggap sebatas mitos atau omong kosong belaka. Menurutnya, situasi yang demikian justru menghendaki terciptanya hukum yang adil, mandiri, dan terkawal. Inilah kritik WS Rendra dalam pidato penganugrahan gelar Doctor Honoris Causa (HC) di kampus Universitas Gajah Mada (UGM) sepuluh tahun silam (4/2/2008).
Peran Penyair
Sepak terjang WS Rendra memang selalu mengingatkan kita pada peran penyair dalam proses pembangunan bangsa ini. Sang penyair yang tidak pernah melanjutkan S-1, tetapi ia berhasil membidani lahirnya Bengkel Teater pada 1967, mengingatkan kita pada perjuangannya menekuni dunia sastra hingga akhir hayatnya.
Kiprah WS Rendra memang dinilai telah memberikan pencerahan terhadap bangsa. Lewat karya-karya sastranya, terutama puisi—yang menurut WS Rendra sendiri amat sulit mengembangkan karya sastra yang satu ini—memang sudah diakui oleh masyarakat, baik di dalam mengeri maupun luar negeri. Sementara gagasan-gagasannya tentang kebudayaan juga patut diperhitungkan. Bakdi Soemanto, sewaktu menghadiri acara penganugrahan gelar kehormatan tersebut, mengatakan bahwa WS Rendra adalah orang yang tahu tentang banyak hal terkait sastra dan kebudayaan.
Dalam salah satu esai yang pernah dimuat di majalah Gatra, WS Rendra menulis esai tentang “Penyair dan Kritik Sosial” (11/1/1997). Menurutnya, kita semua dapat dan perlu menerima kritik-kritik sosial para penyair sebagai masukan untuk menyegarkan kehidupan sosial kemasyarakatan.
Tampaknya, seorang WS Rendra menyadari bahwa peran penyair dalam sebuah sistem sosial sangat penting. Peran seorang penyair merupakan penjelmaan dari seorang “pawang” yang membacakan mantra-mantra—dalam sistem sosial bangsa Proto-Melayu dan Deutrero-Melayu. Dalam tradisi bangsa Smitik, peran seorang penyair seperti halnya seorang nabi. Dengan menyadari peran ini, maka tidak mengherankan jika karya-karya sastra WS Rendra, baik dalam bentuk esai maupun puisi, selalu merupakan bentuk kritik sosial yang konstruktif.
Esai-esai budaya WS Rendra sudah diterjemahkan dan beredar di beberapa negara, seperti India (Hindi, Urdu), Korea, Jepang, Inggris, Belanda, Rusia, Prancis, Italia, Cheko, dan Swedia. Beberapa esai yang telah diterbitkan di antaranya: Mempertimbangkan Tradisi (1983), Memberi Makna pada Hidup yang Fana (1999), Agenda Reformasi Seorang Penyair (1998), Deklarasi Agustus (bersama kawan-kawan, 1999), Rakyat Belum Merdeka (2000), dan Megatruh (2001).
Lewat ‘Megatruh Kambuh’, WS Rendra kembali menegaskan kritiknya bahwa stamina kebudayaan kita sedang menurun. Indikasinya jelas: akal sehat diremehkan dan tata nilai dijungkirbalikkan. Karena daya hidup makin lemah, maka Zaman Edan segera datang. Kalabendu telah menunggu. Tetapi untuk mencapai Kalasuba, bangsa Indonesia mesti terus aktif mendesak perubahan tata pembangunan, tata hukum, dan tata kenegaraan. Tentu saja ini semua demi perubahan yang lebih baik. Atau menurut WS Rendra, semua ini demi terciptanya daya hidup dan daya cipta bangsa yang lebih baik.
Mu'arif, Pengkaji sejarah sosial