JEMBER, Suara Muhammadiyah — Muhammadiyah pada hakikatnya bukan sekadar organisasi keagamaan, melainkan cara ber-Islam. “Ruh Muhammadiyah itu Islam. Jantung Muhammadiyah ada pada cara ia menghidupkan Islam dalam seluruh aspek kehidupan,” ujar Fathurrahman Kamal.
Memang, Islam tidak boleh direduksi menjadi simbol formal di dalam Muhammadiyah, “melainkan harus dihidupi secara sadar, bertanggung jawab, dan terorganisasi,” sambungnya.
Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini mengaitkan hal tersebut dengan sabda Nabi Muhammad Saw tentang segumpal daging di dalam jasad manusia.
“Jika Islam hidup dalam Muhammadiyah, maka seluruh Muhammadiyah akan hidup. Tetapi jika Islam dirusak atau diperalat, maka rusaklah Muhammadiyah seluruhnya,” kata dia saat Kajian Tabligh Akbar Milad 113 Muhammadiyah PCM Wuluhan, Kabupaten Jember, Jawa Timur, Ahad (28/12) di Masjid Muhammadiyah Wuluhan.
Fathur menegaskan, ber-Islam dalam Muhammadiyah meniscayakan ketaatan pada sistem dan kepemimpinan Persyarikatan. Menurut dia, tidak ada amal jama‘i yang sah tanpa disiplin jamaah. Sikap enggan diatur, tidak patuh pada struktur, atau merasa bisa berjalan sendiri tanpa PCM dan PDM, dinilai bertentangan dengan ruh Muhammadiyah
“Organisasi bukan sekadar alat administratif. Dalam dakwah, ia adalah kaidah yang wajib,” katanya. Aktivisme tanpa sistem, lanjut dia, hanya akan melahirkan kekacauan; semangat tanpa ketaatan berujung konflik; dan amal besar tanpa manajemen akan runtuh oleh ego.
Dalam konteks sejarah kebangsaan, Fathur menyinggung dialog antara Sukarno dan Ki Bagus Hadikusumo, yang menunjukkan bahwa Islam bukan sekadar klaim formal.
Dari Islam yang hidup itu, kata dia, lahir figur seperti Fatmawati yang menjahit Sang Merah Putih, serta berkembangnya kampus, rumah sakit, dan berbagai amal usaha Muhammadiyah sebagai ladang dakwah. Namun, ia menegaskan, Islam yang hidup tidak boleh dijalankan secara serampangan. “Ia harus dimanajemen dengan baik,” ujarnya.
Menurut Fathur, kebenaran Islam memang dijamin oleh Allah, tetapi tegaknya Islam di muka bumi memerlukan ikhtiar manusia yang terorganisasi. Tantangan terhadap Islam bekerja secara sistematis dan lintas negara. Karena itu, dakwah tidak cukup dengan niat baik.
“Rapat bukan formalitas, musyawarah bukan beban, dan disiplin bukan kekakuan. Semua itu bagian dari tanggung jawab iman,” kata dia.
Ia juga menekankan pentingnya keseimbangan antara ketegasan akidah dan keluhuran kemanusiaan. Menolong tetangga non-Muslim, hadir di rumah duka, atau membantu korban musibah, menurut dia, adalah bagian dari akhlak Islam tanpa harus mencampuradukkan prinsip akidah.
“Allah bersama hamba yang menolong sesama hamba,” tegasnya, seraya mengingatkan bahwa seluruh amal kemanusiaan tetap harus dikelola agar berkelanjutan. (Indra/Cris)

