Kemajuan teknologi digital telah membawa perubahan besar dalam cara hidup masyarakat, tak terkecuali dalam kehidupan keluarga dan anak-anak. Di satu sisi, teknologi menghadirkan kemudahan dan akses informasi yang luas. Namun di sisi lain, teknologi juga menghadirkan tantangan serius terhadap relasi dalam keluarga, pola pengasuhan, serta ketahanan nilai-nilai moral di tengah derasnya arus digitalisasi. Dalam hal ini, Suara Muhammadiyah mewawancarai Dra Hj Arifatul Choiri Fauzi, MSi, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Periode 2024-2029. Berikut ulasannya.
Bagaimana Ibu melihat perkembangan teknologi digital saat ini memengaruhi kehidupan anak-anak dan dinamika keluarga di Indonesia?
Perkembangan teknologi digital yang begitu pesat tentu membawa dampak yang sangat besar dalam kehidupan kita sehari-hari, termasuk bagi anak-anak dan keluarga. Di satu sisi, teknologi mempermudah berbagai aspek kehidupan mulai dari komunikasi, akses informasi, pendidikan, hingga layanan kesehatan dan transportasi. Kemudahan ini tentu menjadi peluang besar untuk meningkatkan kualitas hidup.
Namun, di sisi lain, kita juga perlu menyadari bahwa setiap kemajuan selalu datang dengan tantangan. Dalam hal komunikasi dan informasi, misalnya, anak-anak kini dapat dengan mudah mengakses berbagai konten dan berinteraksi dengan dunia luar melalui gawai. Padahal, mereka belum sepenuhnya memiliki kemampuan untuk memilah informasi, mengatur waktu penggunaan, maupun memahami risiko dari konten yang tidak sesuai dengan usia mereka.
Tanpa pendampingan yang memadai, anak bisa menjadi terlalu lekat dengan gawai, bahkan menjadikannya sebagai pelarian dari kurangnya perhatian atau kedekatan emosional di lingkungan keluarga. Inilah yang kemudian berpotensi menimbulkan jarak dalam hubungan antara anak dan orang tua.
Karena itu, peran orang tua sangat penting dalam era digital ini. Tidak cukup hanya menyediakan akses teknologi, orang tua juga perlu hadir sebagai pendamping dan pengarah. Mulai dari menetapkan aturan waktu penggunaan gawai, berdiskusi bersama anak mengenai konten yang mereka lihat, hingga menciptakan ruang komunikasi yang hangat dan terbuka di rumah. Ketika anak merasa didengarkan dan diperhatikan, mereka akan lebih mampu menggunakan teknologi secara bijak dan seimbang.
Selain keluarga, kita juga tidak boleh melupakan peran significant others dalam kehidupan anak, seperti guru, teman sebaya, dan lingkungan sekitar. Guru memiliki peran penting dalam membekali anak dengan literasi digital dan kemampuan berpikir kritis, sehingga mereka dapat menjadi pengguna teknologi yang cerdas dan bertanggung jawab. Teman sebaya pun memiliki pengaruh besar, karena anak-anak cenderung meniru atau mengikuti pola perilaku sosial kelompoknya. Maka, menciptakan lingkungan sosial yang positif baik di sekolah maupun di luar sekolah akan sangat membantu anak dalam menavigasi dunia digital secara lebih sehat.
Pada akhirnya, teknologi digital adalah alat yang netral. Yang menentukan dampaknya adalah bagaimana anak-anak dibekali untuk menggunakannya, dan sejauh mana orang-orang dewasa di sekitar mereka hadir, terlibat, dan peduli.
Dalam konteks tumbuh kembang anak, sejauh mana Ibu menilai bahwa teknologi digital telah menggeser fungsi keluarga sebagai ruang utama pembentukan karakter dan nilai-nilai kehidupan?
Peran keluarga sebagai tempat utama dalam membentuk karakter, nilai moral, serta kebiasaan sosial anak sejatinya tidak tergantikan oleh apapun termasuk oleh kemajuan teknologi digital. Keluarga adalah ruang pertama dan paling penting bagi anak untuk belajar memahami diri sendiri, mengenal nilai-nilai kehidupan, serta membangun relasi sosial yang sehat.
Namun, tantangannya saat ini adalah bagaimana teknologi digital, jika tidak dimanfaatkan secara bijak, justru berpotensi menggeser peran krusial tersebut. Misalnya, pada usia balita, kita sering melihat fenomena ketika orang tua menyodorkan gawai agar anak bisa lebih tenang saat makan atau ketika orang tua sedang sibuk. Meski terlihat praktis, kebiasaan ini dapat berdampak negatif pada tumbuh kembang anak, misal dalam hal kemampuan komunikasi dan bahasa. Banyak penelitian menunjukkan bahwa screen time berlebih pada usia dini dapat berkontribusi pada keterlambatan bicara (speech delay) dan menurunnya kualitas interaksi sosial anak.
Lebih lanjut, seiring bertambahnya usia anak, penggunaan gawai yang tidak terkontrol juga bisa mempengaruhi konsentrasi belajar, motivasi pendidikan, hingga membentuk pola pikir yang konsumtif atau terpengaruh oleh konten-konten yang tidak sesuai dengan nilai-nilai keluarga dan budaya kita. Paparan yang terus-menerus terhadap konten negatif seperti kekerasan, ujaran kebencian, atau perilaku agresif. Hal tersebut dapat mengikis empati anak dan mempengaruhi cara mereka mengekspresikan emosi. Dalam jangka panjang, ini tidak hanya mengganggu proses pembentukan karakter, tetapi juga dapat mendorong anak menjadi pelaku kekerasan, baik secara verbal maupun fisik, karena mereka meniru apa yang mereka lihat tanpa pemahaman nilai yang utuh. Lebih jauh lagi, hal ini bisa berdampak pada cara mereka mengambil keputusan, membangun relasi, dan menghadapi konflik di masa depan.
Oleh karena itu, keseimbangan menjadi kunci. Orang tua perlu memiliki kesadaran untuk tidak menjadikan teknologi sebagai “pengganti” kehadiran mereka. Gawai bisa menjadi alat bantu, tetapi tetap harus digunakan dengan pengawasan, batas waktu yang jelas, dan dalam konteks yang positif. Interaksi langsung, bermain bersama, berdiskusi ringan sehari-hari melalui hal-hal sederhana seperti inilah yang justru membentuk kelekatan emosional dan nilai-nilai kehidupan anak.
Fungsi keluarga tidak akan tergantikan oleh teknologi, namun perlu terus diperkuat agar tidak tergeser oleh kenyamanan instan yang ditawarkan dunia digital. Kolaborasi antara orang tua, sekolah, dan lingkungan sangat penting dalam memastikan anak tumbuh dalam ekosistem yang sehat, baik secara digital maupun emosional.
Dalam banyak kasus, dijumpai pada denyut nadi aktivitas anak-anak lebih akrab dengan gawai daripada dengan orang tuanya. Bagaimana Ibu menyikapi fenomena ini?
Fenomena ini bagi saya sangat memprihatinkan. Ketika anak-anak lebih akrab dengan gawainya daripada dengan orang tuanya, sesungguhnya kita sedang menyaksikan adanya jarak emosional yang tumbuh di dalam keluarga. Padahal, kelekatan antara orang tua dan anak adalah fondasi penting dalam tumbuh kembang anak, baik secara emosional, sosial, maupun moral.
Namun, kondisi ini tentu bisa diatasi jika semua pihak, terutama keluarga, berkomitmen untuk terlibat lebih aktif. Peran utama dalam menghadapi tantangan ini berada di tangan orang tua. Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah memberikan asistensi dan pendampingan dalam penggunaan gawai sejak dini. Ini bisa dimulai dengan membangun kesepakatan bersama anak mengenai kapan, di mana, dan untuk apa gawai boleh digunakan. Kesepakatan ini tidak bisa dibentuk secara instan, melainkan memerlukan hubungan yang hangat dan penuh kepercayaan, yang dibangun melalui kebersamaan dan komunikasi yang konsisten sejak anak masih kecil.
Kami di Kemen PPPA juga berupaya mendorong penguatan peran keluarga melalui berbagai program, salah satunya adalah “1 Jam Tanpa Gawai di Keluarga”. Program ini mengajak keluarga meluangkan waktu minimal satu jam setiap hari untuk berkegiatan bersama tanpa gawai, seperti berbincang, bermain, membaca, atau melakukan aktivitas rumah bersama. Tujuannya sederhana namun esensial yaitu menghadirkan kembali interaksi hangat dalam keluarga yang sering kali tergeser oleh layar.
Ke depan, program-program seperti ini perlu disosialisasikan secara lebih masif agar menjadi gerakan kolektif di masyarakat. Jika keluarga bisa kembali menjadi ruang yang hangat, penuh interaksi, dan tidak terlalu bergantung pada teknologi, maka anak-anak kita akan tumbuh dengan lebih utuh, kuat secara karakter, dan sehat secara emosional.
Apa tantangan terbesar yang dihadapi pemerintah dalam melindungi anak-anak dari dampak negatif penggunaan gawai yang berlebihan?
Tantangan terbesar yang dihadapi pemerintah dalam melindungi anak-anak dari dampak negatif penggunaan gawai yang berlebihan adalah membangun kesadaran kolektif, terutama di tingkat keluarga bahwa perlindungan anak tidak hanya soal pengawasan teknis, tetapi juga melibatkan perubahan pola asuh di era digital. Anak-anak kita tumbuh sebagai generasi digital native yang telah terbiasa dengan teknologi sejak usia dini. Dalam banyak kasus, mereka lebih terampil mengakses teknologi dibandingkan orang tua mereka, yang menjadikan tantangan ini semakin kompleks.
Pemerintah melalui Kemen PPPA terus berupaya menjawab tantangan ini, terutama melalui edukasi publik yang menekankan pentingnya kebijakan penggunaan gawai dalam keluarga. Salah satu tantangan utama adalah memastikan pemahaman yang utuh tentang penggunaan gawai yang sesuai dengan usia dan tahapan perkembangan anak, yang juga harus didampingi dengan pengawasan aktif dari orang tua. Sayangnya, masih banyak keluarga yang memberikan akses gawai kepada anak tanpa pendampingan yang memadai, baik karena keterbatasan waktu, kurangnya informasi, atau sebagai cara praktis untuk menenangkan anak.
Selain itu, pemerintah menghadapi tantangan besar dalam mengelola derasnya arus konten digital yang terus berkembang. Meskipun berbagai upaya sudah dilakukan, seperti pemblokiran konten negatif dan kampanye anti kekerasan daring, upaya ini tidak akan optimal tanpa keterlibatan aktif keluarga. Oleh karena itu, Kemen PPPA mendorong penguatan ketahanan keluarga sebagai benteng pertama perlindungan anak.
Tantangan-tantangan inilah yang menjadi latar belakang kami di Kemen PPPA untuk menyusun salah satu program prioritas, yaitu Ruang Bersama Indonesia (RBI). Harapannya, dengan adanya RBI ini, pemerintah dapat menjawab tantangan ini dengan menyediakan ruang bagi anak-anak untuk mengembangkan diri mereka secara optimal, sambil meminimalkan dampak negatif dari penggunaan gadget yang berlebihan. Program ini diharapkan menjadi wadah bagi anak-anak untuk beraktivitas secara produktif, kreatif, dan sosial tanpa bergantung pada perangkat digital, sekaligus memperkuat peran keluarga dalam membimbing mereka melalui kegiatan yang bermanfaat.
Ke depan, sinergi antar kementerian dan lembaga terkait sangat diperlukan. Kemen PPPA bekerja sama dengan instansi seperti Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi), Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), serta lembaga lainnya untuk bergerak secara masif dalam menangani isu ini. Setiap instansi memiliki peran dan tanggung jawab sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya untuk menciptakan lingkungan digital yang lebih aman bagi anak-anak. Literasi digital harus menjadi gerakan nasional yang menyasar tidak hanya anak, tetapi juga seluruh ekosistem di sekitar mereka baik itu keluarga, sekolah, dan komunitas. Dengan demikian, kita tidak hanya melindungi anak-anak dari sisi teknis, tetapi juga membekali mereka dengan kemampuan untuk menghadapi dunia digital dengan bijak, kritis, dan beretika.
Apa langkah-langkah strategis yang diambil Kementerian PPPA untuk membantu orang tua menghadapi tantangan pengasuhan anak di era digital yang serba cepat ini?
● Kemen PPPA telah mengambil sejumlah langkah strategis, salah satunya melalui inisiasi program prioritas Ruang Bersama Indonesia (RBI). Program ini hadir sebagai respon konkret atas kekhawatiran meningkatnya ketergantungan anak terhadap gawai, serta keterbatasan orang tua dalam menyediakan ruang alternatif yang aman, mendidik, dan menyenangkan bagi tumbuh kembang anak.
● RBI dirancang sebagai ruang fisik maupun sosial di tingkat komunitas yang ramah anak dan inklusif, tempat anak-anak bisa berinteraksi, belajar, dan bermain tanpa bergantung pada perangkat digital. Di ruang ini, anak-anak akan difasilitasi dengan berbagai kegiatan yang mendukung pengembangan karakter, kreativitas, serta keterampilan sosial, sekaligus membangun koneksi yang sehat dengan lingkungan sekitarnya.
● Selanjutnya, saat ini Kemen PPPA bekerja sama dengan Yayasan Sayangi Tunas Cilik melibatkan berbagai pemangku kepentingan terkait, mengembangkan Modul Pengasuhan Positif di Era Digital untuk orang tua memberikan panduan bagi orang tua agar orang tua dapat mengenal anak mereka, kompetensi digital dalam pengasuhan, batasan media digital di keluarga, keterlibatan orang tua dalam mendampingi anak menggunakan media digital, menciptakan lingkungan digital yang aman untuk anak, serta membangun kedekatan dan kelekatan dengan anak di era digital.
● Langkah strateginya
1) Penguatan Peran Keluarga dalam Pengasuhan Digital
KemenPPPA menekankan pentingnya keluarga sebagai garda terdepan dalam pengasuhan anak di era digital. Melalui Gerakan Ramadan Ramah Anak, kami mendorong orang tua untuk meluangkan waktu berkualitas bersama anak tanpa perangkat digital. Aktivitas seperti salat berjamaah, tadarus, dan mendongeng kisah-kisah nabi diharapkan dapat meningkatkan komunikasi dan kelekatan emosional dalam keluarga. Hal ini tentu tidak sebatas di bulan Ramadhan saja.
2) Peningkatan Literasi Digital bagi Anak dan Orang Tua
KemenPPPA bekerja sama dengan platform digital seperti YouTube untuk meluncurkan kampanye "Creators for Impact". Kampanye ini bertujuan untuk menciptakan konten positif yang mendukung tumbuh kembang anak. Selain itu, kami juga mengedukasi orang tua tentang pentingnya mendiskusikan aturan penggunaan internet dan mengenalkan anak pada cara melaporkan konten yang tidak sesuai.
3) Pengembangan Regulasi Perlindungan Anak di Dunia Digital
KemenPPPA bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika sedang menyusun Rancangan Peraturan Presiden (Ranperpres) tentang Peta Jalan Perlindungan Anak dalam Ranah Daring. Aturan ini mencakup strategi pencegahan penyalahgunaan teknologi informasi terhadap anak, termasuk pengendalian risiko dan penerapan kebijakan tata kelola penyelenggaraan sistem elektronik yang ramah anak.
4) Program Edukasi Safer Internet & Hari Anak Nasional
● KemenPPPA secara konsisten memanfaatkan momen penting seperti Hari Anak Nasional (HAN) dan Hari Keluarga Nasional (Harganas) untuk meningkatkan literasi digital di kalangan anak dan keluarga.
● Pada HAN 2024, dengan subtema “Anak Cerdas, Berinternet Sehat,” Kemen PPPA menekankan pentingnya pemahaman anak terhadap konten digital yang aman dan sehat, serta mendorong mereka untuk bijak dalam menggunakan teknologi. Selain itu, materi tentang digital parenting juga disebarkan untuk membantu orang tua mendampingi anak dalam dunia digital.
● Pada peringatan Harganas 2023, Kemen PPPA menekankan pentingnya literasi digital keluarga. Deputi Perlindungan Khusus Anak mengingatkan bahwa pemahaman teknologi yang bijak dalam keluarga dapat mencegah anak terkena kekerasan online dan diskriminasi di media sosial. Orang tua juga didorong untuk berani melapor melalui layanan SAPA 129 jika terjadi kekerasan, dengan dukungan dari pemerintah dan organisasi masyarakat yang siap mendampingi keluarga yang membutuhkan pertolongan.
● Pesan-pesan ini disebarluaskan melalui berbagai saluran, termasuk media massa, webinar, dan media sosial resmi Kemen PPPA, untuk memastikan bahwa literasi digital menjadi bagian integral dari kehidupan keluarga Indonesia.
5) Pusat Informasi Sahabat Anak (PISA)
Kemen PPPA bersama Perpustakaan Nasional dan mitra swasta mengembangkan Pusat Informasi Sahabat Anak (PISA) sebagai fasilitas perpustakaan ramah anak yang telah didigitalisasi. PISA menyediakan konten edukatif dan akses teknologi, mendukung orang tua dalam mendampingi anak melalui digital parenting. Hingga 2024, ratusan pengelola PISA telah disertifikasi ramah anak, dan layanan terus diperluas untuk memastikan anak memperoleh informasi yang layak dan positif.
Kekerasan dalam rumah tangga, perkawinan anak, dan perceraian masih tinggi. Apakah Ibu melihat ada kaitannya antara ketimpangan relasi dalam keluarga dengan lemahnya adaptasi terhadap era digital?
Ya, ada kaitan yang signifikan antara ketimpangan relasi dalam keluarga dan lemahnya adaptasi terhadap era digital, terutama dalam konteks tingginya angka kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perkawinan anak, dan perceraian.
Berbagai kejadian ini tentu tidak terlepas dari persoalan mendasar yang sering kali bersumber dari nilai-nilai patriarkal yang telah mengakar, termasuk di dalam struktur keluarga di mana laki-laki dianggap sebagai pemegang kuasa utama dalam keluarga, sementara perempuan dan anak-anak ditempatkan pada posisi subordinat.
Dalam situasi seperti ini, perempuan kerap kali tidak memiliki ruang untuk menyuarakan pendapat, mengambil keputusan, atau bahkan membela diri ketika mengalami kekerasan. Anak perempuan juga sering kali menjadi korban, dianggap sebagai beban atau aset keluarga yang bisa dinikahkan demi alasan ekonomi atau kehormatan. Ketika struktur relasi di dalam rumah tangga tidak dibangun atas dasar kesetaraan, maka konflik yang muncul tidak terselesaikan secara adil.
Masalah ini menjadi semakin kompleks ketika dikaitkan dengan lemahnya adaptasi terhadap era digital. Di tengah kemajuan teknologi yang pesat, banyak keluarga belum mampu mengakses atau memanfaatkan teknologi informasi secara maksimal. Di satu sisi, teknologi dapat menjadi alat pemberdayaan: perempuan bisa belajar tentang hak-haknya, anak-anak bisa mengakses pendidikan yang lebih luas, dan keluarga bisa membangun komunikasi yang lebih sehat. Namun, ketika kemampuan adaptasi ini rendah, justru yang terjadi adalah keterputusan atau bahkan kesalahan dalam menyerap informasi.
Dapat juga kita lihat berbagai kasus yang saat ini marak terjadi seperti judi online, pinjaman online, kekerasan berbasis gender online (KBGO) juga kerap menjadi pemicu berbagai permasalahan dalam keluarga. Akses konten yang belum sesuai usia anak juga dapat memicu rasa penasaran anak terhadap lawan jenisnya. Tanpa memahami konsekuensi dan tanpa adanya pengawasan orang tua, hal ini memicu kepada pergaulan bebas yang berakhir pada perkawinan anak. Hal ini menunjukkan bahwa lemahnya adaptasi terhadap era digital dapat memperparah isolasi sosial yang sudah lebih dulu diciptakan oleh ketimpangan relasi.
Dengan demikian, ketimpangan relasi dalam keluarga dan lemahnya adaptasi terhadap era digital bukanlah dua hal yang berdiri sendiri, melainkan saling berkaitan dan memperkuat satu sama lain yang membutuhkan pendekatan multidimensi—termasuk pemberdayaan digital dan transformasi nilai-nilai dalam keluarga.
Bagaimana strategi Kementerian dalam mendorong terciptanya ekosistem digital yang berbasis nilai-nilai keluarga dan perlindungan anak?
Strategi Kementerian, khususnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), dalam mendorong terciptanya ekosistem digital yang berbasis nilai-nilai keluarga dan perlindungan anak dilakukan melalui pendekatan yang holistik dan kolaboratif, dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan—mulai dari pemerintah daerah, komunitas, sektor swasta, hingga keluarga itu sendiri. Tujuannya bukan hanya mendorong pemanfaatan teknologi, tetapi memastikan bahwa teknologi tersebut mendukung tumbuhnya relasi keluarga yang sehat, setara, dan aman bagi anak.
Salah satu yang kita lakukan adalah melalui upaya peningkatan kualitas keluarga sebagai pemenuhan hak pengasuhan bagi anak yang merupakan pelaksanaan komitmen setelah pemerintah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) dan diintegrrasikan dalam era otonomi daerah melalui pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA).
Salah satu klaster substantif yaitu klaster ke-2 tentang “Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif”, yang diukur melalui salah satu indikatornya adalah Tersedianya Layanan konsultasi, konseling pengasuhan bagi Orang Tua/Keluarga. Hal tersebut sejalan dengan mandat Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah terkait sub urusan Kualitas Keluarga, sub urusan pemenuhan Hak Anak juga Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2021 tentang Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak.
Terkait dengan hal tersebut, Kemen PPPA, juga telah menetapkan standar Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA) sebagai upaya penguatan pengasuhan berbasis hak anak bagi keluarga dan calon pasangan yang akan menikah, penyuluhan dan edukasi pencegahan dampak negatif teknologi digital.
Selain keluarga, Kemen PPPA juga turut melibatkan anak untuk turut berperan melalui Forum Anak yang berperan dalam mengedukasi teman sebaya untuk keselamatan digital. Forum-forum ini menyediakan platform bagi anak-anak untuk menyampaikan keprihatinan mereka, memastikan suara mereka didengar, dan dimasukkan dalam pengembangan kebijakan, serta proses pengambilan keputusan. Forum Anak juga secara aktif berkontribusi sebagai Pelopor dan Pelapor untuk menangani isu-isu, seperti kekerasan terhadap anak, perkawinan anak, pekerja anak, dan keselamatan digital.
Bagaimana sinergi antara Kementerian PPPA dan kementerian lain dalam membangun ekosistem digital yang ramah anak dan keluarga?
Saat ini sudah disahkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik Dalam Pelindungan Anak yang didalamnya mencakup penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam pelindungan Anak, pengawasan penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam pelindungan Anak, sanksi administratif, dan peran serta kementerian/lembaga dan Masyarakat.
Pada 5 Maret 2025 lalu Kemen PPPA bersama Kemenko PMK, Kemenkomdigi, Kementerian Agama, Kemendikdasmen, Kemendukbangga, serta Kantor Staf Presiden melakukan Deklarasi Bersama Gerakan Bersama Ramadan Ramah Anak dalam mendorong masyarakat dan keluarga untuk meningkatkan kualitas pemenuhan hak anak atas pengasuhan agar terwujudnya kedekatan dan kelekatan antara orang tua dan anak melalui Gerakan 1 Jam Berkualitas Bersama Keluarga Tanpa Gawai. Kami juga mengajak Organisasi Perempuan Keagamaan serta seluruh pihak terkait untuk memanfaatkan momen istimewa di bulan Ramadan dengan menghadirkan berbagai program dan kegiatan yang mendukung. Tentunya upaya ini tidak hanya untuk momentum Ramadan melainkan berkelanjutan dan di semua sektor dari pusat hingga daerah.
Bagaimana Ibu melihat peluang teknologi digital sebagai sarana untuk memperkuat ketahanan keluarga, bukan justru menghancurkannya?
Di era digital saat ini, teknologi tidak dapat dipisahkan dari kehidupan anak dan keluarga. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk tidak melihat teknologi sebagai suatu ancaman, melainkan sebagai alat strategis yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung pola pengasuhan yang lebih adaptif dan responsif terhadap perkembangan zaman.
Kemen PPPA akan mengimplementasikan program literasi digital di sekolah, melakukan sosialisasi tentang bahaya internet kepada orang tua dan anak, dan mengembangkan fitur keamanan digital bersama platform daring. Selain itu, pemerintah juga akan membentuk tim khusus untuk perlindungan anak dalam ranah daring guna menangani kasus-kasus eksploitasi dan kekerasan digital. Seluruh pihak harus memastikan anak-anak dapat menggunakan internet dengan aman dan bertanggung jawab. Diperlukan pengawasan aktif dari orang tua dan pendidik, serta kebijakan perlindungan yang lebih kuat.
Apa pesan Ibu untuk para orang tua dan seluruh elemen masyarakat agar tetap memosisikan keluarga sebagai ruang utama pembentukan pendidikan karakter dan perlindungan anak di tengah derasnya arus digitalisasi?
Pemerintah Indonesia memiliki komitmen besar untuk melindungi anak-anak dalam segala aspek, termasuk lingkungan digital. Rencana Aksi Nasional Kemen PPPA memprioritaskan perlindungan hak-hak anak dengan fokus khusus pada keselamatan mereka di ranah daring. Keamanan digital bagi anak-anak harus menjadi prioritas utama karena berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) lebih dari lima belas ribu anak telah menjadi korban kekerasan seksual daring. Selain itu, anak-anak juga menghadapi ancaman lain, seperti judi online, kecanduan game, dan eksploitasi seksual anak
Kami mengajak seluruh elemen masyarakat, termasuk penyedia platform digital, organisasi masyarakat sipil, dan lembaga pendidikan untuk berperan aktif dalam memberikan edukasi dan pengawasan terhadap aktivitas digital anak. Dengan adanya kebijakan yang lebih tegas dan pengawasan yang lebih baik diharapkan anak-anak dapat lebih terlindungi dari ancaman dunia maya dan dapat memanfaatkan internet secara positif dan bertanggung jawab.
Dan yang terpenting, semua anak adalah anak kita, mari kita bersama-sama dukung menciptakan lingkungan yang optimal bagi pertumbuh-kembangan mereka. Ajak anak kita dalam kegiatan yang bermanfaat, bangun karakter anak melalui internalisasi nilai-nilai agama dan moral, bangkitkan Kembali budaya gotong royong, kepedulian sosial, menciptakan suasana yang aman dan nyaman bagi tumbuh kembang anak serta terapkan cinta lingkungan hidup untuk menjamin pola hidup berkelanjutan. (Cris)