Menuju Kesiapan Hidup Berumah Tangga
Oleh: Teguh Pamungkas, Penyuluh Keluarga Berencana Perwakilan BKKBN Provinsi Kalimantan Selatan
Pernikahan merupakan kata yang sakral dalam kehidupan. Tatkala mendengarnya akan terbayang suatu kondisi rumah tangga. Membayangkan sosok suami, istri, anak dan segala yang mewarnainya. Pernikahan merupakan kesepakatan jalinan antara laki-laki dan perempuan. Berisi perjanjian-perjanjian yang terangkum dalam rasa tanggung jawab. Dari pernikahan yang dilakukan, setiap insan mengidamkan rumah tangganya menjadi keluarga yang sakinah.
Adalah cita-cita yang ingin selalu digapai saat sepasang kekasih mengarungi bahtera hidup. Allah SWT berfiman dalam QS. Ar-Rum: 21, ”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, suapay kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”
Tujuan pernikahan dan hidup berumah tangga karena ibadah, tentu ”perjalanannya” tidak hanya berlaku untuk hitungan hari ataupun bulan. Tetapi rumah tangga memiliki aura keawetan, di mana berlangsung menerus tahunan hingga akhir maut menjemput. Tantangan menuju keluarga yang diidamkan sangat berat. Masalah kerap kali terjadi, sepasang suami istri harus siap menghadapi masalah bersama. Karena untuk membentuk keluarga yang sakinah bukan tanpa rintangan.
Permasalahan secara garis besar ditandai dari dua faktor, yaitu faktor internal (keluarga) dan eksternal (sosial). Dari internal masalah bisa timbul, sejauh mana setiap individu memahami keadaan keluarga. Sementara itu, faktor eksternal lebih dipengaruhi karena kondisi sosial. Keadaan masyarakat dan lingkungan sekitar turut andil menguji kekuatan ikatan rumah tangga. Mampukah menghadapinya? Apabila semua itu bisa dihadapi, dewasa dalam menyikapi, dan cerdas untuk mencari solusi maka keseimbangan kehidupan di rumah dan bermasyarakat berjalan, sama-sama memiliki suasana kebaikan.
Sepasang suami istri harusnya menjadi partner untuk menyikapi dan berinisiatif menyelesaikan masalah yang ada, bukan malah mengada-ada menambah masalah. Seperti dalam sebuah hadist, bahwa "Seseorang itu tergantung dari temannya." Jika pada konteks kehidupan berumah tangga, hadist tersebut menerangkan bahwasanya keberadaan suami bergantung dari istrinya, begitu pula sebaliknya. Memiliki fungsi yang sama sebagai teman menyelsaikan masalah. Hal ini mencerminkan, sehebat apapun seseorang, dalam hidup berumah tangga memerlukan konsolidasi yang matang dan berkelanjutan.
Keharmonisan keluarga akan tercipta bila masing-masing pihak memerhatikan bagiannya. Oleh karena itu sudah menjadi hal yang lumrah bila harus melengkapi kekurangan satu dan lainnya. Mengutamakan kesadaran dalam keluarga diperlukan, yaitu untuk menciptakan keluarga harmonis. Adapun jalan yang ditempuh dengan menyandarkan pada;
Pertama, menumbuhkan rasa saling pengertian dan memberikan kepercayaan. Mengerti dan percaya adalah kesatuan yang mengantarkan seseorang pada sikap memahami akan sesuatu. Termasuk masing-masing memahami kesibukan suami atau istrinya, mengutamakan toleransi tanpa rasa curiga. Dengan bekal kepercayaan yang ada, aktivitas dapat dijalankan sebagaimana mestinya. Segala aspek tugas secara nyaman dapat diselesaikan. Hal ini terjadi berkat adanya pemupukan arti pengertian dan kepercayaan, keduanya saling memiliki pengertian. Keadaan yang seperti inilah yang membuat keluarga dapat berjalan secara seirama.
Kepercayaan dapat dibangun. Untuk membangun kepercayaan antara kedua pihak (suami dan istri) diperlukan adanya komunikasi. Saling bertukar berita kabar, keadaan, informasi, atau pun aktivitas yang sedang dilakukan. Komunikasi merupakan hal penting, dari intensitas komunikasi yang ada maka membiasakan hidup mengemban amanah.
Kedua, jangan segan untuk membantu. Layaknya manusia hidup di dunia diciptakan agar saling membantu. Apalagi terhadap pendamping hidupnya, sangat wajar jika dilakukan sebagai wujud pengabdian. Apakah memberi bantuan ketika diminta untuk membantunya saja? Dalam memberikan bantuan tidak perlu saat diminta, tetapi dengan kesadaran sendiri tak segan untuk membantunya. Karena bantuan sekecil apapun yang diberikan sebenarnya mampu menopang keutuhan rumah tangga karena dengan bantuan itu tampak perhatian pasangan satu terhadap lainnya.
Pernah suatu ketika, Rasulullah menjahit pakaiannya yang robek, dan beliau melakukannya sendiri. Ketika Rasul sedang menjahit bajunya, tiba-tiba Aisyah melihatnya dengan menangis berkata, "Ya Rasul, ini (menjahit) adalah pekerjaanku, mengapa engkau melakukannya." Perilaku Rasulullah menunjukkan, meskipun itu tugas istri, tanpa paksaan dengan penuh kesadaran beliau tak segan-segan untuk membantunya.
Ketiga, menunaikan haknya dengan baik. Yaitu menempatkan dan mengerjakan sesuatu sesuai dengan haknya, dengan tetap menjaga norma dan apa yang diajarkan agama. Dalam artian bukan hanya menunaikan hak diri sendiri tetapi juga hak kelurga (pasangan hidup dan anak). Definisi cinta dalam kehidupan keluarga adalah memberikan yang terbaik sesuai porsi hak-haknya tanpa banyak menuntut. Menunaikan dan menyadari haknya masing-masing, membuat suami dan anggota keluarga lainnya merasakan ketenangan.
Keempat, mematangkan bersama dalam beraktivitas. Masing-masing anggota keluarga memiliki tugas, sebagai suami memiliki tugas untuk mencari nafkah keluarga. Istri berperan sebagai pemegang manajemen keluarga. Meskipun tidak menuntut kemungkinan sang istri turut serta mencari nafkah bila ekonomi keluarga tidak memungkinkan mencukupi kebutuhan.
Sedangkan tugas anak yaitu belajar dan bersekolah. Dengan bersungguh-sungguh menuntut ilmu, tanpa secuil pun ingin mengecewakan kebaikan orangtua. Ibarat sebuah kendaraan, komponen-komponen yang saling terkait dan saling mendukung untuk melanggengkan laju kendaraan. Begitu juga dengan keterkaitan hal mematangkan bersama untuk beraktivitas di antara individu-individu dalam keluarga. Semuanya saling mendukung.
Kelima, koreksilah dengan kasih sayang. Sebagai kontrol ”kebijakan” berpikir dan beraktivitas, maka memerlukan evaluasi untuk memberikan penilaian selama ini. Bila dianggap memerlukan pembenahan pun, maka dilakukan perbaikan. Sebagai pasangan hidup, hendaknya masing-masing pihak tidak perlu segan meluruskan bila ada hal-hal yang memang semestinya diluruskan. Namun tidak sembarangan dalam memberikan saran atau masukan dan solusi.
Tidak ada rasa menyalahkan, menuduh atau mencaci. Tidak dibenarkan. Tetapi melakukan koreksi dengan pemilihan menggunakan bahasa yang baik dan santun. Jika memberi enak maka akan diterima dengan enak pula. Keterlibatan di antara keluarga untuk saling mengoreksi akan menjalankan aktivitas lebih baik dan bermanfaat.
Indahnya warna-warni problematika yang harus dihadapi bersama (berumah tangga), sudah sepatutnya menjadi pendamping yang terbaik. "Bila kamu tidak menyukai mereka, maka bersabarlah karena boleh jadi kamu tidak senang terhadap mereka, tetapi Allah menjadikan di balik itu kebajikan yang banyak." (Q.S. An-Nisa:19).
Dalam mengarungi hidup berumah tangga tentu harus diciptakan iklim yang kondusif. Pernikahan yang membuahkan berbagai pengalaman hidup dan masalah yang harus dihadapi bersama. Dengan bercermin masa lalu, di mana saat menggelutinya dihadapkan dengan permasalahan kehidupan menjadikan istiqamah untuk menghadapi masa depan. Karena semakin matang dalam melihat masa lalu lebih menjamin dalam menghadapinya sekarang. Dan saat sekarang sebagai tambahan bekal di masa depan. Jangan sampai anak-anak menjadi korban besarnya ego orangtua. Sangat disayangkan pula rumah tangga yang dibangun dengan susah payah bersama.