Oleh: Donny Syofyan
Dalam perjalanan memahami kehidupan Nabi Muhammad SAW, kita telah menjelajahi latar belakang sejarah dan berbagai pendekatan dalam mempelajari biografinya. Kini, mari kita telusuri momen penting ketika beliau menerima wahyu pertama dan memulai misi kenabiannya yang agung. Sebelum menerima wahyu, Nabi Muhammad SAW dikenal sebagai sosok yang berintegritas tinggi. Beliau memiliki reputasi yang tak tercela di kalangan masyarakat Mekah, bahkan dijuluki "Al-Amin" (yang terpercaya) dan "As-Shiddiq" (yang jujur). Orang-orang mempercayakan barang berharga mereka kepadanya, sebuah bukti nyata akan kejujuran dan amanahnya.
Pada usia 25 tahun, beliau menikah dengan Khadijah, seorang janda yang dihormati dan dikenal karena kesalehannya. Meskipun Khadijah lebih tua, pernikahan mereka dipenuhi cinta, saling menghormati, dan dukungan yang tak tergoyahkan. Menjelang usia 40 tahun, Nabi Muhammad SAW mulai sering menyendiri di Gua Hira untuk bermeditasi dan merenung. Pada salah satu kesempatan tersebut, beliau didatangi oleh Malaikat Jibril yang menyampaikan wahyu pertama, memerintahkannya untuk "membaca".
Momen ini menjadi titik balik dalam sejarah, menandai awal mula misi kenabian Muhammad SAW. Beliau yang sebelumnya menjalani kehidupan biasa sebagai pedagang dan kepala keluarga, kini mengemban tugas mulia untuk menyampaikan pesan Allah SWT kepada seluruh umat manusia. Perjalanan dakwah Nabi Muhammad SAW di Mekah penuh dengan tantangan dan rintangan. Namun, dengan ketabahan, keberanian, dan keyakinan yang teguh, beliau berhasil menyebarkan ajaran Islam dan mengubah dunia selamanya.
Ketika Malaikat Jibril memerintahkan Nabi Muhammad untuk "membaca", beliau merespons dengan kerendahan hati, "Saya bukanlah seorang pembaca." Namun, Jibril tetap mendesaknya, dan akhirnya beliau menerima ayat-ayat pertama dari Surah Al-Alaq. Pengalaman luar biasa ini awalnya menimbulkan kebingungan dan keraguan dalam diri Nabi. Tidak seperti dalam tradisi Alkitab, di mana nabi-nabi sebelumnya juga menerima wahyu dari malaikat, masyarakat Arab pada saat itu lebih akrab dengan konsep kerasukan jin. Nabi Muhammad SAW pun sempat khawatir bahwa beliau mungkin telah dirasuki oleh roh jahat.
Dalam kegelisahannya, Nabi mencari dukungan dari istri tercintanya, Khadijah. Khadijah, dengan kebijaksanaan dan keyakinannya, membawa Nabi menemui Waraqah bin Naufal, seorang kerabat yang memiliki pengetahuan mendalam tentang kitab suci Yahudi dan Kristen. Waraqah, setelah mendengarkan pengalaman Nabi, meyakinkan beliau bahwa kunjungan tersebut adalah dari malaikat yang sama yang telah membawa wahyu kepada Nabi Musa, yaitu Taurat. Ini memberikan ketenangan dan keyakinan kepada Nabi Muhammad SAW bahwa beliau telah dipilih oleh Allah SWT untuk menjadi utusan-Nya.
Momen ini menjadi titik awal perjalanan panjang Nabi Muhammad SAW dalam menyampaikan risalah Islam. Beliau menghadapi berbagai tantangan dan penolakan, namun tetap teguh dalam keyakinannya. Dengan dukungan Khadijah dan penegasan dari Waraqah, Nabi Muhammad SAW siap menghadapi misi besarnya untuk mengubah dunia. Ketika Nabi Muhammad SAW pertama kali menerima wahyu, beliau tidak langsung menyebarkannya secara terbuka. Namun, ada beberapa orang terdekat yang dengan cepat menerima ajaran Islam dan menjadi pengikut setia beliau.
Khadijah, istri tercinta Nabi, adalah orang pertama yang beriman kepada beliau. Meskipun Nabi sempat ragu, Khadijah tidak pernah meragukan suaminya. Ia mengenal Nabi sebagai pribadi yang berakhlak mulia dan yakin bahwa Allah tidak akan membiarkan beliau disesatkan. Waraqah, seorang kerabat Khadijah yang memiliki pengetahuan tentang kitab-kitab suci sebelumnya, juga membenarkan kenabian Muhammad SAW. Ini memberikan dukungan moral dan intelektual yang penting bagi Nabi di awal perjalanan dakwahnya. Selain Khadijah dan Waraqah, beberapa orang terdekat Nabi juga segera memeluk Islam, termasuk Ali bin Abi Thalib (sepupu beliau) dan Zaid bin Haritsah (anak angkat beliau). Abu Bakar, sahabat dekat Nabi, juga menjadi salah satu pengikut pertama yang dengan gigih membela dan mendukung dakwah beliau.
Namun, masyarakat Makkah secara umum tidak menyambut baik ajaran baru ini. Mereka terbiasa dengan tradisi dan keyakinan lama, dan melihat perubahan sebagai ancaman. Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya menghadapi berbagai bentuk penolakan, cemoohan, bahkan penganiayaan. Masyarakat Mekah pada masa itu terjebak dalam "jahiliyyah", zaman kebodohan spiritual. Mereka menolak ajaran tauhid yang dibawa Nabi, mempertahankan tradisi penyembahan berhala dan praktik-praktik sosial yang tidak adil.
Meskipun demikian, Nabi Muhammad SAW tidak pernah menyerah. Dengan kesabaran dan keteguhan hati, beliau terus menyampaikan pesan Islam, perlahan tapi pasti menanamkan benih-benih perubahan dalam masyarakat yang keras kepala itu. Pesan Nabi Muhammad SAW tentang keesaan Tuhan (tauhid) dan penolakan terhadap penyembahan berhala menimbulkan kekhawatiran besar di kalangan masyarakat Makkah. Mereka terbiasa dengan sistem kepercayaan yang melibatkan ratusan berhala, yang bahkan menjadi daya tarik wisata religi bagi suku-suku di sekitarnya (Berdambung)