Oleh: Donny Syofyan
Pada tulisan sebelumnya saya sudah menyajikan penekanan Islam pada hak-hak orang tua. Sekarang, saya ingin menyeimbangkan bagaimana penekanan Islam pada hak-hak anak. Keduanya perlu seimbang. Hak dan rasa hormat untuk orang tua di satu sisi dan belas kasihan dan kepedulian terhadap anak-anak.
Dalam banyak agama dunia dan dalam kitab suci, anak-anak terkadang dipandang sebagai sampingan. Fokus utama adalah pada orang tua atau dewasa yang menerima pesan-pesan para Nabi dan Rasul. Kalaupun disebutkan, terkadang anak-anak tidak diberi ruang dan peluang untuk didengar. Kita tidak tahu banyak tentang psikologi anak-anak atau bagaimana perasaan dan ketakutan mereka dalam masyarakat. Bahkan ada semacam resep tentang hukuman fisik untuk mendisiplinkan anak-anak.
Dalam salah satu kitab suci agama tertentu tertulis bahwa jika seseorang tidak menggunakan tongkat dalam mendisiplinkan anaknya, maka dia dianggap tidak benar-benar mencintai anaknya. Upaya semacam itu untuk mendisiplinkan anak –menggunakan tongkat—susah dikontrol. Dalam Alkitab ditemukan bahwa anak-anak dibicarakan dan disongsong dengan sangat baik. Sebagai misal disebutkan bahwa Yesus berkata, “Biarkan anak -anak datang kepadaku.” Dia marah kepada oarng-orang yang mencegah anak-anak menghampirinya. Yesus juga menyembuhkan banyak anak.
Namun, seperti yang ditunjukkan Arthur Murray dalam disertasinya, Yesus juga dikatakan telah menuntut adanya pendidikan radikal, terutama dalam Injil Sinoptik. Dengan pendidikan semacam itu, seseorang akan meninggalkan keluarga dan segalanya untuk bergabung atau mengikuti Yesus. Ini mungkin memiliki efek merugikan pada keluarga, terutama pada anak -anak yang telah diabaikan dalam skenario pendidikan dan loyalitas seperti itu.
Jadi ada kebutuhan sebagai ajaran agama untuk menekankan dan memperjuangkan hak-hak anak. Ada kalanya saat menekankan hak-hak orang tua, kita abai bahkan berakibat fatal melakukan pengabaian terhadap hak-hak anak.
Keduanya harus seimbang dengan sempurna. Kita sering melihat alfanya keseimbangan ini. Kadang-kadang anak-anak dipaksa menjalani pernikahan yang tidak mereka inginkan atau memaksa mereka mengambil jurusan tertentu pas kuliah yang tidak sesuai dengan bakat mereka. Mereka memiliki bakat untuk sesuatu yang lain, tetapi orang tua mereka bersikeras agar mereka mengambilnya. Lalu, bagaimana keseimbangan itu dapat ditemukan?
Nah, dalam tradisi Islam ada keseimbangan yang sempurna. Di satu sisi kita melihat penekanan dan penghormatan pada hak-hak orang tua, tetapi juga menekankan kita memikirkan hak-hak anak. Al-Qur’an menunjukkan bahwa bahkan sebelum kelahiran anak, perlu ada pertimbangan untuk anak. Misalnya, jika kehamilan seorang ibu menjadi alasan bagi kedua orang tua untuk hidup bersama secara harmonis. Ini penting untuk menyediakan lingkungan pengasuhan yang nyaman bagi anak yang akan dilahirkan.
Di zaman Arab jahiliyah, sebelum turunnya Al-Qur'an, orang-orang terkadang membunuh anak-anak mereka karena takut akan kemiskinan. Allah melarang praktek membunuh anak, “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu. Membunuh mereka itu sungguh suatu dosa yang besar” (QS 17: 31). Perlindungan hidup bagi anak dapat ditemukan dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia di era modern.
Hak-hak seperti itu sudah ada dalam Al-Qur’an. Apalagi setelah lahir, anak harus diberi nutrisi secara alami. Dan ada masa penyapihan yang menurut Al-Qur'an paling lama dua tahun. Selama waktu itu adalah tanggung jawab ayah untuk menanggung biaya keuangan untuk mengasuh anaknya. Pada masa itu, orang belum memiliki susu botol. Menyusui anak sangat populer. Allah berfirman, “Dan bagi para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara makruf” (QS 2: 233). Semua ini disebutkan dalam Al-Qur'an. Sungguh menakjubkan bahwa Al-Qur'an menjelaskan secara rinci tentang pengasuhan anak.
Salah satu hak anak-anak adalah mendapatkan pendidikan yang baik, dan Al-Qur’an menekankan pendidikan secara umum. Kata pertama yang diturunkan kepada Nabi SAW adalah ayat pertama sural Al `Alaq yang diawali dengan Iqra’ yang artinya membaca. Dan wahyu lain yang datang kepadanya segera setelah itu mengatakan, “Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis” (QS 68: 1).
Dua surah ini tentang perintah membaca, berbicara tentang pena dan sebagainya. Dan itu berbicara tentang belajar. Dengan fokus pada pendidikan tersebut, ini menjadi keharusan bagi umat Islam untuk mendidik anak-anak. Ada riwayat dari Nabi SAW yang mengatakan bahwa orang tua yang menghabiskan waktu untuk mendidik anak-anaknya bakal mendapatkan pahala seperti beinfak di jalan Allah. Dalam hadits lain juga disebut, “Bukan termasuk dari golongan kami, orang yang tidak menyayangi anak kecil dan menghormati orang tua.” (HR Tirmidzi). Islam menunjukkan keseimbangan sempurna antara takzim terhadap orang tua dan sikap menyayangi anak-anak, bahkan jauh sebelum mereka lahir.
Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas