Jamane Wis Akhir: Dalam Kehidupan Manusia
Oleh: Rumini Zulfikar, Penasehat PRM Troketon
"Bumi ini sudah tua, penghuninya berserakan ke mana-mana. Agama hanya simbolis karena kalah oleh nafsu keduniawian. Maka jangan salahkan jika bumi ini goyang, banjir bandang. Itulah alam ini, muak akan polah tingkah manusia itu sendiri."
Jaman wis akhir, jaman wis akhir, bumine goyang
Akale njungkir, akale njungkir, negarane guncang.
Jaman wis akhir, jaman wis akhir, bumine goyang
Akale njungkir, akale njungkir, negerane goyang.
Jaman wis akhir, jaman wis akhir, dunyane sungsang
Makmume kintir, makmume kintir, imame ilang
Jaman wis akhir, jaman wis akhir, dunyane sungsang
Makmume kintir, makmume kintir, imame ilang
Atine kafir, atine kafir, uripe ngleneng
Jaman wis akhir, jaman wis akhir, langite peteng
Atine kafir, atine kafir, uripe ngleneng.
Jaman wis akhir, jaman wis akhir, banjire bandang
Sing mburi mungkir, sing mburi mungkir, sing ngarep edan
Petikan bait dalam syair Jaman Wis Akhir di atas adalah sebuah potret dan gambaran kehidupan manusia di dunia ini. Di mana banyak sekali perilaku manusia yang telah menyimpang dari nilai-nilai agama dan norma-norma sosial sebagai bangsa Timur. Mau tidak mau, kita juga terkena dampak negatif dari perkembangan teknologi serta pengaruh luar. Akibatnya, terjadi pudarnya keaslian budaya dan lebih banyak muncul campuran atau oplosan nilai yang bertentangan.
Kita bisa melihat sendiri bagaimana agama hanya menjadi tameng atau sekadar identitas, tetapi jauh dari perilaku agamis. Banyak kasus yang mencerminkan ketidakadilan dan kecurangan, seperti kasus pagar laut, oplosan pertamax ke pertalite, pengurangan takaran minyak goreng, serta berbagai bentuk kezaliman terhadap rakyat. Hal ini semakin diperparah dengan manusia yang mendewakan kedudukan, jabatan, pangkat, dan harta.
Manusia kini dengan sadar melakukan tindakan yang jauh dari kemurnian hati, pikiran, dan tindakan. Mereka mencampurkan atau mengoplosnya dengan keburukan dan kemaksiatan. Maka, kita perlu bertanya pada diri sendiri: apakah hati kita masih murni, atau sudah tercampur oleh kebusukan sehingga menjadi keruh dan hitam pekat? Kita menjadi manusia yang bingung karena pemimpin atau imam kita hilang, hanya memikirkan diri sendiri.
Tidak ada lagi rasa keadilan dan kemanusiaan karena hati kita telah kafir, pikiran kita kafir, sehingga kehidupan ini gelap gulita. Jika kita masih memiliki keimanan, maka wajib bagi kita untuk melakukan pembacaan dan penelitian yang mendalam secara objektif terhadap apa yang terjadi di sekitar kita. Dalam hidup, ada dua hal yang harus dilakukan: aksi nyata dan kontemplasi terhadap Tuhan atas nilai-nilai yang telah kita pelajari dan yakini dalam realitas sehari-hari.
Pemandangan yang menyayat hati semakin sering kita temui, di mana hak-hak rakyat dikebiri demi kepentingan duniawi. Akibatnya, banyak manusia yang tidak punya rasa malu. Mata dibutakan, telinga ditutupi, tangan dengan ringannya menampar rakyatnya, kaki menginjak kaum lemah, yatim piatu, dan dhuafa.
Inilah potret kehidupan manusia saat ini di zaman akhir. Umat manusia berlomba-lomba mengejar kepentingannya sendiri dan kesenangan sesaat, seolah-olah kehidupan dunia ini abadi dan merupakan tujuan utama. Banyak dari kita yang mengingkari kodrat sebagai hamba Tuhan, bahkan menganggap dirinya Tuhan. Kemunafikan merajalela, baik dalam kapasitas sebagai pemimpin, tokoh agama, maupun rakyat biasa.
Pentingnya Aksi dan Kontemplasi
Oleh karena itu, kita sebagai insan yang memiliki tanggung jawab besar harus memberikan manfaat bagi sesama, menciptakan keadilan, kesejahteraan, kemakmuran, dan kemajuan yang berlandaskan akhlakul karimah.
Bulan Ramadan adalah momen yang tepat untuk menjalankan ibadah puasa sebagai bentuk ketundukan kepada Allah, baik secara lahir maupun batin. Dengan hati yang bersih dan selalu berdzikir kepada Allah, baik secara jasadiyah maupun ruhaniah, kita akan lebih peka terhadap apa yang terjadi di sekitar kita. Sebagai umat Nabi Muhammad, kita harus meneladani sifat-sifat utama beliau: Shiddiq (jujur), Amanah (dapat dipercaya), Fathanah (cerdas), dan Tabligh (menyampaikan kebenaran).
Dengan meneladani sifat-sifat tersebut, kita akan selamat dari sikap munafik, iri, dengki, takabur, riya, dan sebagainya. Kebersihan hati inilah yang akan menyelamatkan kita, sebagaimana disebutkan dalam Surat Asy-Syu’ara ayat 89:
اِلَّا مَنْ اَتَى اللّٰهَ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍۗ
illâ man atallâha biqalbin salîm
Kecuali, orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.
Hikmah & Intisari
Di tengah hiruk-pikuk kehidupan zaman akhir ini, kita harus semakin mempertebal keimanan serta menjaga kebersihan hati, pikiran, dan tindakan. Dengan begitu, kita akan menjadi insan yang benar-benar dicintai Allah, tidak bingung (kitir) dan tidak hanyut (ngleneng) dalam pusaran yang membuat kita kehilangan arah.
Semoga di bulan Ramadan ini, kita senantiasa diberi bimbingan dan perlindungan oleh Allah.