18% yang Bermakna, Kehadiran Muhammadiyah di Tanah Minoritas Muslim
Oleh: Furqan Mawardi, Ketua Lembaga Pengembangan Cabang, Ranting, Masjid dan Pesantren PWM Sulawesi Barat
Terkadang, kekuatan dakwah justru tampak nyata di tempat yang tidak kita sangka. Mamasa adalah salah satu buktinya. Meski muslim hanya 18%, kehidupan di sana terasa begitu damai. Muhammadiyah datang dengan langkah sederhana, namun diterima dengan tangan terbuka, seolah-olah menegaskan bahwa cahaya Islam akan selalu menemukan jalannya, bahkan di tempat di mana ia menjadi minoritas.
Perjalanan menuju Mamasa selalu menyisakan kesan yang tak terlupakan. Dari Kota Mamuju, jalanan berliku, tanjakan, turunan, hingga pinggiran jurang yang dalam, harus ditempuh sekitar tiga jam lamanya. Rabu sore menjelang Magrib pada tanggal 20 Agustus 2025, saya memulai perjalanan ditemani putra saya, Ahmad Dahlan, yang setia mendampingi ke manapun saya melangkah. Hujan rintik menambah suasana hening pegunungan, seolah memberi isyarat bahwa perjalanan kali ini bukan sekadar perjalanan biasa.
Tujuan saya ke Mamasa ada dua: memonitor sembilan posko KKN mahasiswa Universitas Muhammadiyah Mamuju di Kecamatan Aralle, sekaligus memastikan kesiapan pelantikan dan pengukuhan pimpinan daerah Muhammadiyah Mamasa bersama beberapa pimpinan cabang. Keberadaan Mahasiswa KKN di daerah betul-betul bisa menjadi sarana paling tepat untuk mendirikan cabang maupun ranting ditempat mereka mengabdi. Dengan keberadaan mereka didaerah selama 40 hari, tentu menjadi momentum yang paling tepat mengenalkan Muhammadiyah kepada khalayak masyarakat luas dan juga sebagai cara merintis dan mendirikan Muhammadiyah. Agenda pengukuhan dijadwalkan pada hari Jumat, 22 Agustus 2025, di Kota Mamasa. Karena pentingnya memastikan persiapan, saya harus berangkat lebih awal.
Tiba di Aralle pukul 21.00, hawa dingin yang menembus tulang langsung menyambut. Malam itu, di rumah Camat Aralle, saya bertemu dengan para koordinator desa untuk melakukan rapat koordinasi sekaligus evaluasi program KKN. Diskusi hangat ditemani kopi dan cemilan membuat waktu berjalan cepat hingga menjelang tengah malam. Sebelum berpisah, saya membagikan ikan bandeng dan tempe untuk tiap posko mahasiswa. Bagi mereka yang sulit menemukan ikan segar di pegunungan, hadiah sederhana itu menjadi kebahagiaan luar biasa.
Keesokan paginya, selepas shalat Shubuh berjamaah, saya berkunjung ke rumah Pak Kadri, Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah di Aralle yang akan dikukuhkan. Hangatnya sambutan beliau beserta keluarga dengan kopi khas Mamasa dan pisang goreng panas seakan menepis dinginnya udara shubuh. Percakapan subuh itu penuh semangat, memastikan bahwa pelantikan pimpinan cabang Muhammadiyah Aralle siap terlaksana. Bagi saya, ini bukan sekadar persiapan teknis, tetapi wujud nyata tumbuhnya optimisme dakwah di daerah dengan populasi Muslim yang hanya 18 persen.
Malam harinya ba’da maghrib, setelah seharian serangkaian kegiatan KKN telah rampung saya tunaikan, perjalanan dilanjutkan menuju Kota Mamasa. Jalanan gelap, sunyi, dan berliku menjadi tantangan, tetapi juga kenikmatan tersendiri. Membutuhkan waktu sekitar 2 jam untuk sampai ke Kota Mamasa. Suasana malam pegunungan yang sepi menjadikan mobil meluncur aman tanpa rintangan yang berarti. Sesampainya di kota, kami disambut hangat oleh Haji Abdul Samad, Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Mamasa. Rumahnya menjadi tempat berkumpul para pengurus, sekaligus lokasi rapat persiapan akhir pengukuhan. Malam itu, dinginnya Mamasa jauh lebih terasa, namun dinginnya malam ini lebih bersahabat berkat suguhan ayam goreng panas, sop, kopi, dan teh hangat yang disediakan tuan rumah. Perut lapar yang sedari tadi minta diisi, seakan tertunaikan lunas dengan segala macam suguhan nikmat dari tuan rumah. Perbincangan terkait persiapan akhir menjelang pengukuhan malam ini berakhir sekitar pukul 22.00, dan udara dinginpun makin terasa.
Subuh di Mamasa menghadirkan pengalaman tersendiri. Karena mayoritas penduduknya non-Muslim, suara azan tidak terdengar. Hanya alarm HP yang menjadi penanda waktu shalat. Kami berjalan mencari masjid di tengah kabut tebal dan udara dingin yang mencapai 12 derajat. Dingin yang menusuk, hingga jaket berlapis pun tak mampu menahan, menjadikan pengalaman ini begitu berkesan. Ustadz Lukman, sekretaris PDM Mamasa, menyambut kami setelah shalat Subuh. Dengan penuh keramahan, beliau mengajak kami sarapan bersama di rumahnya yang bersebelahan dengan masjid. Kami bersama pengurus Pimpinan wilayah Muhammadiyah Sulbar, Pak Nasruddin, Pak Ismail, Pak Hafid, dan Ustadz Syahril menikmati betul sarapan yang disuguhkan tuan rumah. Nasi merah, sayur panas yang masih segar karena baru dipetik langsung dari kebun, ayam goreng, dan sambal pedas yang terasa sangat nikmat di tengah udara dingin.
Pada pukul 08.00 pagi. Di sebuah aula sederhana milik Haji Abdul Samad, berlangsung pengukuhan Pimpinan Daerah Muhammadiyah Mamasa beserta tiga pimpinan cabang: Aralle, Mambi, dan Maisawa. Hadir pula para tokoh pemerintah, Sekda mamasa,MUI, Kementerian Agama, dan masyarakat setempat. Betapa istimewanya, Muhammadiyah yang hadir di tanah dengan populasi Muslim hanya 18 persen, justru mendapat penerimaan hangat dari masyarakat yang mayoritas non-Muslim.
Dalam suasana pengukuhan itu, hadir Sekretaris Daerah Mamasa, H. Muhammad Syukur, S.Pd.I, M.Pd., yang mewakili pemerintah daerah. Dalam sambutannya, beliau mengajak Muhammadiyah Mamasa untuk terus bermitra dengan pemerintah dalam membangun daerah. Ia menyampaikan sebuah ajakan yang sarat makna: “Mari bersama-sama menjadikan Mamasa sebagai kota yang mamase’, yakni kota yang penuh keramahan.” Tidak hanya kota yang sejuk dan segar udaranya, lanjut beliau, tetapi juga masyarakatnya yang hangat, penuh kebaikan, dan membuat siapa pun yang datang merasakan kenyamanan serta keamanan di Mamasa.
Selain pemerintah daerah, acara ini juga dihadiri oleh Ketua MUI Mamasa, Kepala Kantor Kementerian Agama Mamasa, serta sejumlah tokoh masyarakat yang ikut menyaksikan momentum bersejarah ini. Dari sisi internal Muhammadiyah, H. Abdul Samad selaku Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Mamasa yang baru dikukuhkan, dalam sambutannya mengajak seluruh jajaran pengurus dan masyarakat untuk bersinergi memajukan Muhammadiyah di Mamasa. Ia menegaskan kesiapan Muhammadiyah untuk bersinergi dengan pemerintah daerah, sejalan dengan visi besar Bupati menuju Mamasa yang mamase’.
Sebagai penutup, arahan penuh hikmah dari Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Barat, Ustadz Dr. Wahyun Mawardi. Dalam nasihatnya, beliau mengutip firman Allah dalam Surah Ar-Ra’d ayat 17. Dari ayat itu, beliau menekankan pesan bahwa para pengurus Muhammadiyah harus menjadi insan yang senantiasa menebarkan manfaat. Sebab, setiap kebaikan yang membawa manfaat akan kekal, terus dirasakan, dan akan selalu dikenang. Sebaliknya, keburukan diibaratkan seperti buih di lautan, yang cepat hilang tanpa jejak dan tidak memberi manfaat sedikit pun.
Ayat ini menjadi ruh bagi gerakan Muhammadiyah. Bahwa di mana pun berada, termasuk di tanah minoritas sekalipun, keberadaan Muhammadiyah harus menghadirkan manfaat, membawa cahaya kebaikan, dan menebar rahmat bagi semua.
Melihat wajah-wajah penuh optimisme para pengurus yang baru dikukuhkan, saya yakin, dari tangan-tangan mereka cahaya Islam akan terus tumbuh di Mamasa. Meski umat Islam hanya 18 persen, namun keberadaan mereka bukanlah angka yang kecil bila diisi dengan amal yang bermakna. Kehadiran Muhammadiyah di Mamasa adalah bukti bahwa dakwah Islam bisa berakar kokoh, bahkan di tanah yang dingin dan mayoritas berbeda keyakinan.
Dan ketika acara usai, suguhan hangat kembali hadir, sop ikan, ayam, dan berbagai menu khas Mamasa. Makanan sederhana itu menutup perjalanan dengan penuh rasa syukur. Di Mamasa, saya menemukan bahwa dakwah bukan soal jumlah, melainkan makna. Bukan tentang banyaknya suara, tetapi tentang cahaya yang menyinari hati. Dan 18 persen itulah cahaya yang bermakna.