Oleh: Gunawan Trihantoro, SPdI
Angkatan Muda Muhammadiyah, Anggota Satupena Jawa Tengah dan penulis buku-buku Moderasi Beragama
Dalam era modern yang diwarnai dengan arus informasi yang begitu deras, tugas seorang dai semakin kompleks dan menantang. Tidak lagi cukup hanya mengandalkan penyampaian pesan agama secara konvensional, seorang dai kini dituntut untuk memiliki kemampuan yang lebih luas, termasuk dalam merawat daya nalar kritis masyarakat. Hal ini penting untuk memastikan bahwa pesan-pesan agama yang disampaikan tidak hanya diterima secara pasif, tetapi juga dicerna dengan pemahaman yang mendalam dan kritis.
Di era digital, masyarakat sangat mudah terpapar berbagai informasi yang datang dari berbagai sumber. Sayangnya, tidak semua informasi tersebut valid atau dapat dipertanggungjawabkan. Banyak informasi yang bersifat hoaks atau mengandung disinformasi, yang jika tidak dihadapi dengan sikap kritis, bisa saja membelokkan pemahaman seseorang terhadap agama dan kehidupan. Oleh karena itu, seorang dai Muhammadiyah harus berperan sebagai filter yang mampu membantu masyarakat menyaring informasi yang benar dan bermanfaat.
Dai Muhammadiyah diharapkan tidak hanya fokus pada dakwah dengan mengedepankan moral dan akhlak, tetapi juga perlu mengintegrasikan pendekatan intelektual yang kritis dalam setiap ceramah atau kajian yang disampaikan. Hal ini selaras dengan semangat Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang mengedepankan ilmu pengetahuan, kemajuan, dan pembaruan.
Daya nalar kritis adalah kemampuan untuk berpikir secara jernih dan rasional, menganalisis informasi yang diterima, serta membuat keputusan berdasarkan pemahaman yang mendalam. Dalam konteks dakwah, nalar kritis ini berfungsi untuk membentengi umat dari berbagai pemahaman yang salah atau menyimpang yang bisa saja muncul dari penafsiran yang tidak tepat terhadap ajaran agama.
Merawat daya nalar kritis berarti mendorong masyarakat untuk tidak menerima begitu saja semua informasi yang datang, termasuk yang berkaitan dengan agama. Masyarakat harus diajak untuk memverifikasi informasi tersebut, merenungkan, dan memikirkan dampaknya. Dengan demikian, mereka tidak akan mudah terpengaruh oleh berita palsu, ujaran kebencian, atau pemikiran radikal yang bisa merusak tatanan sosial dan kehidupan beragama.
Dalam konteks ini, dai Muhammadiyah memiliki peran strategis. Mereka bukan hanya sebagai penyampai pesan agama, tetapi juga sebagai pemandu yang membentuk pola pikir kritis dalam masyarakat. Seorang dai harus mampu mengajarkan bagaimana cara berpikir kritis sesuai dengan tuntunan Al-Qur'an dan Sunnah, tanpa meninggalkan aspek spiritualitas yang menjadi inti dari ajaran Islam.
Sebagai contoh, ketika membahas isu-isu kontemporer seperti pluralisme, toleransi, dan kemajuan teknologi, seorang dai harus bisa memposisikan diri sebagai mediator yang menuntun masyarakat untuk memahami isu-isu tersebut secara bijak dan sesuai dengan nilai-nilai Islam. Ini membutuhkan kepekaan intelektual dan kemampuan untuk menganalisis berbagai sudut pandang secara kritis, sehingga pesan yang disampaikan tidak hanya bermuatan doktrin, tetapi juga memberi ruang bagi umat untuk berpikir dan berefleksi.
Untuk mengembangkan nalar kritis dalam masyarakat, ada beberapa strategi yang dapat dilakukan oleh dai Muhammadiyah. Pertama, dai harus meningkatkan kompetensi dirinya melalui pendidikan yang berkelanjutan. Hal ini bisa dilakukan dengan mengikuti pelatihan, seminar, atau kajian yang berkaitan dengan isu-isu terkini yang berhubungan dengan agama dan kehidupan sosial.
Kedua, dai perlu mengedepankan metode dakwah yang interaktif. Melibatkan jamaah dalam diskusi yang mendalam dan membuka ruang untuk bertanya akan memacu mereka untuk berpikir kritis. Metode ini juga memungkinkan dai untuk mengukur sejauh mana pemahaman jamaah terhadap materi yang disampaikan, serta memberikan kesempatan untuk meluruskan jika ada kesalahpahaman.
Ketiga, penggunaan media sosial dan platform digital sebagai sarana dakwah juga perlu dimanfaatkan secara optimal. Dengan memproduksi konten-konten yang mengedepankan analisis kritis, dai Muhammadiyah bisa menjangkau audiens yang lebih luas dan memberikan dampak yang signifikan dalam membentuk pola pikir masyarakat.
Keempat, dai harus mampu mencontohkan sikap kritis dalam kehidupan sehari-hari. Menunjukkan integritas, kejujuran, dan kebijaksanaan dalam mengambil keputusan akan memberikan teladan yang baik bagi umat. Sikap ini akan menginspirasi jamaah untuk menerapkan pola pikir yang serupa dalam kehidupan mereka.
Masyarakat yang memiliki daya nalar kritis akan lebih tangguh dalam menghadapi berbagai tantangan zaman. Mereka tidak akan mudah terombang-ambing oleh informasi yang menyesatkan atau terpengaruh oleh ideologi yang merusak. Sebaliknya, mereka akan menjadi masyarakat yang lebih mandiri, berwawasan luas, dan mampu berkontribusi positif bagi kemajuan umat dan bangsa.
Di sisi lain, dengan mengedepankan nalar kritis, umat Islam juga akan semakin mampu mengembangkan potensi diri dan komunitasnya. Mereka akan lebih kreatif dalam mencari solusi bagi berbagai persoalan yang dihadapi, baik dalam bidang ekonomi, sosial, maupun politik. Daya nalar kritis juga akan mendorong mereka untuk terus belajar dan mengembangkan diri, sehingga dapat menghadirkan Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin, yang membawa kebaikan bagi seluruh alam semesta.
Merawat daya nalar kritis bukanlah tugas yang mudah, namun sangat penting dalam memastikan dakwah Islam berjalan dengan efektif dan tepat sasaran. Dai Muhammadiyah, sebagai ujung tombak dakwah, harus senantiasa mengembangkan kemampuan intelektual dan spiritualnya agar mampu membimbing umat menuju pemahaman yang lebih baik terhadap agama dan kehidupan.
Dengan demikian, Islam akan semakin relevan dan berdaya guna dalam menjawab tantangan zaman, serta membawa umat menuju kehidupan yang lebih baik dan bermartabat.