Oleh: Suko Wahyudi
Sejak awal keberadaannya dalam sejarah umat manusia, agama tidak hanya sekedar sebagai suatu sistem keyakinan (belief system), tetapi juga sebagai kekuatan pencerah yang mampu menuntun umat manusia menuju kemuliaan hidup yang sejati. Peter L. Berger dalam karya monumental The Sacred Canopy menegaskan bahwa:
“Agama membangun suatu dunia makna yang mempertautkan manusia dengan realitas, sekaligus membentuk identitas mereka dalam perjalanan kehidupan.”
Dalam Islam, agama bukan hanya urusan ibadah ritual yang bersifat vertikal antara hamba dan Tuhannya (hablun min Allah), melainkan juga merupakan panduan hidup yang menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia secara komprehensif, baik spiritual, intelektual, moral, sosial, hingga budaya.
Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (Ali ‘Imran [3]:164).
Agama yang autentik mengajarkan manusia untuk mengenal dirinya dan Tuhannya secara mendalam. Pengenalan ini melahirkan kesadaran transendental yang tidak hanya membentuk hubungan spiritual dengan Sang Khalik, tetapi juga mendorong manusia untuk mengembangkan potensi akalnya, moralitasnya, dan tanggung jawab sosialnya.
Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. (Al-Maidah [5]: 8)
“Tidak sempurna iman seseorang di antara kamu, sampai ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri.” (HR. Bukhari)
Maka tidak mengherankan jika dalam Al-Qur’an terdapat seruan yang berulang-ulang kepada manusia agar menggunakan akal, berpikir, dan mengambil pelajaran dari sejarah dan fenomena alam semesta.
Firman Allah SWT dalam surah Az-Zumar ayat 9 menegaskan: “Katakanlah: Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Ayat ini mengisyaratkan bahwa ilmu dan kesadaran intelektual merupakan bagian integral dari pencerahan yang dibawa oleh agama. Islam bahkan meletakkan ilmu sebagai dasar peradaban, dan menjadikan wahyu pertama—“Iqra’” (bacalah)—sebagai panggilan abadi untuk berpikir dan menalar secara kritis serta produktif.
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia, Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. (Al-Alaq [96]: 1-5).
Dengan demikian, agama pada hakikatnya tidak pernah bertentangan dengan akal sehat. Bahkan, antara keduanya terjalin relasi yang sinergis dan saling melengkapi dalam mengantarkan manusia menuju pencerahan spiritual yang autentik. Dalam karyanya yang monumental, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Muhammad Iqbal menegaskan bahwa akal bukanlah antitesis dari wahyu. Ia menyatakan, “Reason is not the enemy of revelation. It is a close companion in the quest for God.” (Akal bukan musuh wahyu. Ia adalah sahabat karib dalam perjalanan pencarian terhadap Tuhan).
Dalam pandangan para ulama klasik, seperti Al-Ghazali, Al-Farabi, hingga Ibn Khaldun, ilmu dan iman adalah dua sayap yang mengangkat derajat manusia. Seseorang yang tercerahkan imannya namun hampa intelektualnya, bisa terjerumus pada fanatisme buta. Sebaliknya, seseorang yang cerdas secara intelektual namun kering imannya, dapat kehilangan orientasi nilai dalam hidupnya.
Dan sungguh, Kami telah menciptakan banyak dari jin dan manusia untuk (menjadi penghuni) neraka Jahanam. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah. (Al-A’raf [7]: 179)
Pencerahan dalam perspektif agama adalah integrasi antara akal dan wahyu, antara dzikir dan pikir. Inilah yang menjadi inti dari peradaban Islam klasik, ketika ulama tidak hanya menjadi ahli ibadah, tetapi juga menjadi ilmuwan, filsuf, dokter, astronom, hingga ahli hukum. Maka pencerahan yang ditawarkan agama adalah sebuah pencerahan multidimensional—bukan hanya soal iman, tapi juga tentang ilmu, etika, dan tanggung jawab sosial.
Pencerahan sebagai Jalan Transformasi Umat
Dalam konteks sosiologis, pencerahan agama memiliki dimensi transformasional. Ia tidak hanya berkutat pada aspek individual, melainkan juga mengarahkan umat menuju tatanan sosial yang adil, beradab, dan berkemajuan. Agama mengajarkan bahwa manusia adalah khalifah di muka bumi (khalifatullah fi al-ardh), yang harus menegakkan keadilan, menjaga amanah, memelihara alam, serta membangun masyarakat yang penuh kasih sayang dan kedamaian.
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (An-Nahl [16]: 90)
Namun demikian, fakta sejarah menunjukkan bahwa tidak semua umat beragama dapat menjalankan nilai-nilai luhur agamanya secara utuh. Sering kali agama tereduksi menjadi identitas simbolik dan slogan politik. Dalam situasi seperti itu, agama kehilangan daya pencerahnya dan justru menjadi alat legitimasi kekuasaan atau konflik. Oleh karena itu, penting untuk menghidupkan kembali semangat pencerahan dalam beragama, yaitu semangat yang mengedepankan substansi nilai, bukan hanya bentuk formalistik belaka.
Dalam kerangka ini, peran para ulama, cendekiawan Muslim, dan tokoh agama sangat krusial. Mereka harus menjadi penafsir zaman yang mampu mengelaborasi ajaran agama sesuai dengan konteks sosial dan tantangan kemodernan. Pencerahan umat bukanlah pekerjaan instan, tetapi merupakan proses panjang yang membutuhkan kesungguhan dakwah, pendidikan, keteladanan, dan pembaharuan pemikiran keislaman.
Agama yang tercerahkan adalah agama yang mampu berdialog dengan realitas. Ia tidak menutup diri dari perubahan, tetapi tetap memegang nilai-nilai kebenaran yang abadi. Dalam hal ini, pembaruan (tajdid) dan ijtihad menjadi instrumen penting dalam menjaga relevansi ajaran Islam dalam setiap zaman. Seorang pemikir besar Islam, Muhammad Abduh, pernah berkata, “Islam itu senantiasa sesuai dengan setiap masa dan tempat, selama manusia menggunakan akalnya dengan jujur dan bertanggung jawab.”
Maka, pencerahan umat dalam kerangka agama bukan hanya sebatas mengajak kepada ibadah, tetapi juga membimbing umat dalam memaknai perubahan, menyikapi persoalan zaman dengan bijaksana, dan membentuk masyarakat yang unggul secara spiritual, intelektual, dan moral. Di sinilah letak keunggulan Islam sebagai agama yang bersifat universal dan kontekstual.
Tanggung Jawab Kolektif Menuju Masyarakat Beradab
Dalam Islam, tanggung jawab membangun umat tercerahkan bukanlah tugas personal semata, melainkan amanat kolektif. Masyarakat yang tercerahkan lahir dari kerja bersama antara individu, keluarga, lembaga pendidikan, tokoh agama, pemerintah, dan seluruh elemen bangsa.
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shaleh dan berkata : "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang Muslim". (Fushshilat [41]: 33)
Dalam terminologi Al-Qur’an, masyarakat seperti ini disebut dengan ummatan wasathan, umat yang adil dan seimbang, yang menjadi saksi atas kebenaran di tengah-tengah umat manusia.
Untuk mewujudkan masyarakat beradab (madani), perlu dibangun ekosistem nilai yang berpijak pada ajaran agama: kejujuran, tanggung jawab, keadilan, kasih sayang, toleransi, dan solidaritas sosial. Pencerahan agama bukanlah ilusi idealistik, melainkan suatu keniscayaan yang bisa dicapai jika umat Islam konsisten menjalankan ajaran agamanya secara menyeluruh dan progresif.
Kita hidup di zaman yang sarat dengan godaan materialisme, konsumerisme, dan dekadensi moral. Dalam situasi demikian, agama harus tampil sebagai cahaya (nur) yang menuntun umat keluar dari gelapnya kebodohan dan ketimpangan. Namun, cahaya itu tidak akan sampai ke hati umat jika para pemegang otoritas agama kehilangan integritas, dan jika institusi keagamaan lebih sibuk mempertahankan status quo daripada melakukan pembaruan nilai.
Oleh karena itu, tanggung jawab moral umat Islam hari ini adalah menjadikan agama sebagai energi pencerahan yang menyentuh seluruh bidang kehidupan: pendidikan, ekonomi, politik, budaya, dan teknologi. Pencerahan agama tidak berhenti di masjid atau mimbar, tetapi harus hadir dalam ruang publik dengan menawarkan solusi bagi problematika umat dan bangsa.
Prof. Dr. Nurcholish Madjid pernah mengatakan, “Modernisasi Islam adalah mengembalikan agama kepada semangat aslinya: sebagai pembebas, pemberdaya, dan pencerah manusia.” Maka tugas kita adalah melanjutkan semangat ini dengan kerja nyata: membangun pendidikan berbasis nilai, memperkuat etika sosial, memberantas kemiskinan struktural, serta menghidupkan kembali tradisi keilmuan Islam yang bersifat terbuka dan inklusif.
Agama yang sejati bukanlah beban, tetapi berkah. Ia bukan alat kekuasaan, tetapi sumber nilai yang membebaskan dan mencerdaskan. Dalam wajahnya yang murni, agama menjadi cahaya yang menuntun manusia kepada kebijaksanaan hidup, membebaskan dari kegelapan batin, dan mengarahkan kepada peradaban yang lebih luhur.
Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (Al-Baqarah [2]: 257).
Wahai manusia! Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Rabbmu. (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al-Qur’an). Adapun orang-orang yang beriman kepada Allâh dan berpegang teguh kepada (agama)-Nya niscaya Allâh akan memasukkan mereka ke dalam rahmat yang besar dari-Nya (surga) dan limpahan karunia-Nya. dan menunjuki mereka kepada jalan yang lurus (untuk sampai) kepada-Nya. (An-Nisa' [4]: 174-175).
Pencerahan yang sejati bukan hanya mencerdaskan otak, tetapi juga memuliakan hati. Inilah hakikat agama dalam kehidupan umat manusia: sebagai petunjuk menuju kebaikan, keadilan, dan kesejahteraan yang hakiki.
Semoga umat ini, dengan bimbingan agama, mampu menjadi cahaya bagi seluruh umat manusia, sebagaimana firman Allah: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia.” (Al-Baqarah [2]: 143)