Lagu, Seni Musik dan Puisi: Sebuah Wakaf Literasi
Oleh: Khafid Sirotudin
Pada upacara penutupan Musyawarah Wilayah Ikatan Pelajar Muhammadiyah (Muswil IPM) Jawa Tengah tahun 1990 di Pekajangan Pekalongan, Aris Muryasani dan Lina naik ke atas panggung dengan membawa gitar. Aris adalah Ketua PWIPM Jateng periode 1987-1990 yang baru saja mengakhiri masa kepemimpinan. Lina, istrinya yang juga aktivis IPM Jawa Tengah, teman kuliah saya di IESP FE Undip Semarang angkatan tahun 1987.
Sebuah lagu berjudul “Renungan Kader” dinyanyikan perdana berdua sebagai penutup serangkaian acara Muswil IPM. Secarik kertas foto copy berisi lirik lagu dibagikan panitia kepada peserta Muswil dan tamu undangan yang hadir malam itu.
Seusai tahajud kumerenung lagi
Siapa dimana diri hina ini
Lama ku tertidur dalam duniaku
Nanarku memandang alam sekelilingku
Beribu mujahid berguguran sudah
Beribu pun nampak semakin merenta
Namun kebatilan tiada kunjung sirna
Bahkan semakin menyesakkan dunia
Kini tiba waktu tuk tampilkan diri
Derita ummatku tak sabar menanti
Dalam ikatanku t’lah bersemi janji
Hidup di jalan-Nya atau mati syahid
Selama satu dasawarsa menjadi aktivis IPM (1984-1994), saya hanya mengenal sedikit kader yang biasa membuat lagu atau puisi. Aris Muryasani, Izul Muslimin dan Sani Ar-Rahman adalah Tiga nama beda angkatan yang saya kenal gemar bermain gitar dan seni musik. Eny Winaryati, senior kami di PW IPM Jateng, kader IPMawati yang suka membuat dan berpuisi di beberapa kegiatan IPM. Beruntung saya pernah diberi satu buku kumpulan puisi karyanya.
Minimnya warga persyarikatan yang berkhidmat di dunia seni musik dan puisi setidaknya tergambarkan dari sedikitnya kader pelajar Muhammadiyah yang menghasilkan karya lagu dan puisi. Boleh jadi kami yang kurang update informasi atau memang kenyataannya demikian. Atau bisa jadi masih ada sebagian warga dan aktivis “sein kanan” menganggap lagu dan seni musik sebagai budaya yang “haram”.
Padahal saat ini, hampir di setiap upacara dan kegiatan seremonial persyarikatan selalu ada rundwon acara menyanyikan lagu Kebangsaan Indonesia Raya dan Sang Surya karya Suwargi Djarnawi Hadikusumo. Lagu Sang Surya yang diciptakan pada Juni 1975, telah menjadi Lagu Wajib Muhammadiyah. Liriknya yang memiliki makna mendalam mampu menggetarkan hati kader dan warga yang menyanyikannya. Hampir sama getaran jiwa nasionalisme tatkala kita menyanyikan Indonesia Raya.
Begitu pula dengan beragam lagu Mars dan Hymne Organisasi Otonom (Ortom). Aisyiyah, Nasiyatul Aisyiyah, IPM/IRM, IMM, Pemuda Muhammadiyah dan Hizbul Wathan (HW). Beberapa AUM Pendidikan (terutama PTMA) dan AUM Kesehatan (RSMA Besar) mempunyai lagu mars tersendiri. Betapapun sebuah lagu mampu memompa semangat kebersamaan, persatuan, loyalitas, kerjasama dan daya juang “Esprit de Corps”.
Jangan salahkan Generasi Millenial dan Genzi saat ini jika mereka lebih fasih menyanyikan lagu “Nemen dan Kelingan Mantan” milik NDX AKA, lagu “Bajirut dan Rungokno Aku” karya Ndar Boy, atau lirik lagu Korea K-Pop ketimbang lagu “Panggung Sandiwara” karya Taufik Ismail atau “Keramat” nya Rhoma Irama.
Lagu, seni musik dan puisi bisa menjadi sarana wakaf literasi yang kita persembahkan untuk peradaban masyarakat dan umat agar lebih berbudaya adiluhung. Dengan kemajuan teknologi digital sekarang, kita lebih mudah untuk membuat sebuah karya lagu, aransemen musik dan puisi menjadi sebuah konten kreatif viral untuk mendapatkan benefit sekaligus profit. Mari kita viralkan beragam kebaikan yang kita miliki. Sebab satu keburukan kita telah diviralkan banyak orang.
Wallahu’alam