Merawat Spirit ‘Idul Fitri
Oleh Muhammad Qorib, PWM Sumatera Utara dan Dekan FAI UMSU
‘Idul Fitri merupakan Hari Besar yang dirayakan oleh umat Islam di seluruh dunia. Menurut Ibnu Arabi, ‘Idul Fitri berarti kedatangan yang berulang dan mengandung kegembiraan. Ini karena ‘Idul Fitri datang setiap tahun dan orang-orang yang merayakannya merasa gembira. ‘Idul Fitri lahir dari serangkaian proses ritualisme puasa Ramadhan yang dilakukan oleh umat Islam selama satu bulan. Dapat dikatakan bahwa puasa Ramadhan merupakan proses penyegaran spiritualitas menuju ke level yang lebih tinggi. Berbagai nilai yang terkandung dalam Puasa Ramadhan ditanamkan ke dalam jiwa umat Islam. Secara empirik, ‘Idul Fitri menjadi momentum untuk mengejawantahkan nilai-nilai puasa Ramadhan menuju bulan-bulan berikutnya.
Menggali Makna
Puasa Ramadhan diperintahkan Allah untuk dilaksanakan oleh orang-orang yang beriman (Q.S. Al-Baqarah/ 2: 183). Panggilan kepada orang-orang yang beriman merupakan indikasi penting bahwa Allah menyeru kelompok orang secara spesifik. Ini memberi makna bahwa puasa Ramadhan bukan kewajiban yang mesti dilaksanakan setiap orang. Dalam Alquran ada seruan lain yang digunakan Allah untuk umat manusia secara umum, yaitu; yaa ayyunannaas (hai sekalian manusia). Biasanya seruan ini untuk hal-hal yang bersifat generik, seperti saling menghormati dan saling belajar, sebagaimana yang terdapat dalam Surah Al-Hujurat/ 39, ayat 13.
Puasa Ramadhan bukan ritualisme yang hanya dilaksanakan secara simbolik dan verbal saja. Banyak spirit kehidupan yang wajib digali agar puasa Ramadhan tidak kering, datang dan pergi tanpa meninggalkan jejak perubahan. Sejatinya, puasa Ramadhan dapat diumpamakan seperti sebuah madrasah yang mengintegrasikan dimensi fisikal dan dimensi spiritual. Semua pelaksana puasa Ramadhan akan mendapatkan pencerahan setelah melaksanakan ritualisme ini. Rasulullah memberikan warning (peringatan) bahwa kegagalan pelaksana puasa Ramadhan terlihat dari perhatiannya yang berlebihan terhadap rasa haus dan lapar saja, bukan pada ikhtiar untuk menggali spiritual wisdom (kearifan spiritual) sebagai living values (nilai-nilai yang harus dihidupkan) yang melekat di dalamnya.
Esensi puasa Ramadhan adalah terwujudnya keadaban publik yang tercermin dari perilaku terpuji setiap individu pelaksana puasa Ramadhan tersebut. Keadaban publik diawali dari tumbuh dan menguatnya sikap jujur di masyarakat. Kejujuran adalah fondasi yang akan melahirkan siklus kehidupan agar berjalan dengan baik dan seimbang. Kejujuran beririsan kuat dengan aspek kehidupan yang lain, seperti; aspek ekonomi, aspek pembangunan infrastruktur, aspek birokrasi, aspek keamanan, aspek politik dan aspek hukum. Puasa Ramadhan bermuara pada sifat itu. Jika ada pelaksana puasa Ramadhan namun mengabaikan spirit kejujuran tersebut, maka ritualisme puasa Ramadhan yang dilaksanakannya mengalami disorientasi dan perlu dicerahkan kembali.
Puasa Ramadhan mengikis egoisme personal yang tumbuh secara berlebihan dalam diri seseorang. Egoisme tersebut mewujud dalam sikap peduli dengan kesenangan diri sendiri dan mengabaikan nasib dan eksistensi orang lain. Pada konteks tertentu egoisme penting, namun jika tumbuh dan berkembang secara berlebihan maka akan melahirkan perilaku menyimpang. Perilaku menyimpang terlihat dari sifat rakus, tamak dan melegalkan berbagai cara untuk memenuhi keingingan pribadi. Sifat-sifat ini sebenarnya yang menjadi musuh abadi puasa Ramadhan itu. Karenanya, sifat-sifat hewani itu harus diamputasi agar tidak menguasai diri secara dominan.
Rasa haus dan rasa lapar mendidik pelaksana puasa Ramadhan agar sadar bahwa di sudut-sudut kehidupan lain ada saja orang-orang yang hidupnya sangat terbatas. Mereka tidak memiliki makanan pokok untuk bertahan hidup. Rasa haus dan rasa lapar yang mereka rasakan bersifat permanen dan seolah tak tahu kapan penderitaan itu berakhir. Para pelaksana puasa Ramadhan dituntut untuk berbagi dan bertanggung jawab untuk memutus kelaparan dan kehausan permanen itu dengan aktiftas filantropi. Zakat fitrah selain wajib dibayarkan juga menjadi simbol dari kepedulian sosial. Jika dikembangkan, selain zakat fitrah ada pula yang disebut zakat mal (zakat harta) untuk modal kerja dan modal usaha bagi mustahik (para penerimanya).
Dimensi kemanusiaan menjadi bagian tak terpisahkan dari pelaksanaan puasa Ramadhan itu. Sampai pada akhirnya, puasa Ramadhan berujung pada ‘Idul Fitri. ‘Idul Fitri menjadi sebuah momentum penting untuk melestarikan spirit Ramadhan sampai menjelang Ramadhan tahun berikutnya. ‘Idul Fitri adalah hari bahagia yang senantiasa dinantikan oleh umat Islam. ‘Idul Fitri datang dan menyapa umat Islam sedunia dalam berbagai keadaan, baik suka maupun duka. Takbir ‘Idul Fitri berkumandang di penjuru semesta sebagai pertanda kebesaran Allah. Takbir verbal yang dikumandangkan di malam ‘Idul Fitri harus diikuti dengan takbir sosial dalam berbagai dimensi kehidupan.
Jika Allah dihadirkan dalam setiap lisan umat Islam dalam kumandang takbir ‘Idul Fitri, maka Allah juga harus dihadirkan di tengah-tengah orang-orang yang kehausan dan kelaparan di setiap waktu. Jika kemudian pada akhirnya momentum ‘Idul Fitri berlalu, namun spiritnya senantiasa hidup dan berkelanjutan. Ini sesungguhnya Api ‘Idul Fitri itu. Api itu harus senantiasa menyala dan dirawat agar tidak padam. “Idul Fitri bukan ditandai dengan bagusnya berbagai asesoris kehidupan seperti pakaian dan ornamen-ornamen yang lain, namun ‘Idul Fitri ditandai dengan ketaatan pelaksana puasa Ramadhan yang kian membaik. Sifat bakhil bertransformasi ke dalam sifat dermawan, sifat egoistik bertransformasi ke dalam sifat peduli, sifat dusta bertransformasi ke dalam sifat jujur, sifat benci bertransformasi ke dalam sifat mencintai dan berbagai perilaku terpuji lainnya.
Perayaan ‘Idul Fitri harus bersifat substantif. Dalam sebuah pepatah disebutkan, laisal ‘id liman labisal jadid, walakinnal ‘id liman tha’atuhu tazid. Pepatah tersebut menjelaskan bahwa ‘Idul Fitri bukan terletak pada indahnya pakaian, namun ‘Idul Fitri terletak pada berbagai ketaatan yang kian bertambah. Ketaatan yang kian bertambah tersebut merupakan indikator beragama yang mencerahkan, yaitu beragama yang produktif dan fungsional, dimana nilai-nilai agama dalam hal ini nilai-nilai ‘Idul Fitri dirasakan manfaatnya dalam kehidupan. Jika demikian, maka spirit ‘Idul Fitri bersifat universal, bukan sebatas lokal apalagi untuk kepentingan yang bersifat individual. Api ‘Idul Fitri menghendaki agar setiap orang dibersamai Allah dengan cara membersamai anak-anak yatim, orang-orang miskin dan kaum dhu’afa yang lain. Allah senantiasa hadir dan bersama dengan orang-orang yang memuliakan kaum dhu’afa.
‘Idul Fitri adalah risalah langit yang mendarat di bumi. Spiritnya bersifat menggerakkan dan membebaskan kehidupan. ‘Idul Fitri bersifat melingkupi dan harus menjadi rahmat untuk semua. Bahkan secara empirik Rasulullah memberikan contoh bagaimana ‘Idul Fitri diberi makna. Rasulullah memaknai ‘Idul Fitri dengan memberikan advokasi kepada anak-anak yatim yang kelaparan dan kehilangan kasih sayang. Itulah sebabnya beliau menjelaskan bahwa antara dirinya dengan pemelihara anak yatim diibaratkan dengan jari tengah dan jari telunjuk (H.R. Bukhari). Tentu masih banyak spirit ‘Idul Fitri yang dapat digali dan menjadi pilar-pilar keadaban publik.
Dimensi Sosial
Memaknai ‘Idul Fitri bukan sekedar mengungkapkan kegembiraan karena bisa berkumpul bersama keluarga, makan makanan yang lezat, atau memakai pakaian yang baru. Spirit ‘Idul Fitri terletak pada apa yang disebut dengan takaaful ijtimaa’i, yaitu rasa peduli terhadap nasib orang lain. Dengan demikian, merawat spirit ‘Idul Fitri dapat dipahami sebagai sebuah proses internalisasi nilai-nilai puasa Ramadhan dan perayaan ‘Idul Fitri ke dalam berbagai dimensi kehidupan. Aktifitas tersebut kemudian menjadi sebuah tradisi yang diimplementasikan secara otomatis melalui perilaku pribadi dan kelompok. Bahkan akan lebih baik lagi jika spirit ‘Idul Fitri menjadi semacam “agama publik” yang terlembagakan dan mengandung dimensi transendensi, liberasi, emansipasi, dan humanisasi sebagaimana pesan Alquran dan teladan dari Rasulullah. Selamat ‘Idul Fitri. Taqabballahu minna wa minkum.