Mewujudkan Keikhlasan dalam BerMuhammadiyah
Oleh: Mohammad Nur Rianto Al Arif, Ketua PDM Jakarta Timur/ Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah
Di berbagai ruang percakapan internal Muhammadiyah, muncul kegelisahan yang semakin sering terdengar dimana sebagian kader merasa enggan terlibat aktif mengurus Persyarikatan karena mempertimbangkan aspek material. Ada yang menunda mengambil amanah karena khawatir waktu dan energi yang tersita tidak sebanding dengan kompensasi.
Ada pula yang terlibat hanya ketika terdapat insentif tertentu. Atau bahkan ada pimpinan yang mengatakan untuk tidak perlu serius mengurus Muhammadiyah, apabila ada uang yang kita bagi sama-sama. Fenomena ini, meskipun tidak mewakili seluruh kader, cukup untuk memantik diskursus serius yaitu adakah pergeseran nilai dalam tubuh gerakan yang sejak awal dibangun di atas keikhlasan?
Fenomena tersebut tidak perlu kita jawab dengan kemarahan atau saling menyalahkan. Kondisi ini justru memanggil kita semua untuk melakukan perenungan mendalam tentang bagaimana perubahan sosial, ekonomi, dan budaya turut memengaruhi cara kader berinteraksi dengan Persyarikatan.
Di tengah dinamika zaman yang semakin kompetitif, kebutuhan hidup yang meningkat, serta munculnya budaya transaksional dalam berbagai aspek kehidupan, tidak mengherankan apabila sebagian kader terutama generasi muda merasa bahwa kontribusi sosial tanpa kompensasi sudah tidak lagi realistis.
Namun di titik inilah pentingnya meneguhkan kembali nilai keikhlasan yang menjadi nafas panjang perjalanan Muhammadiyah sejak 1912. Keikhlasan bukan sekadar slogan moral, tetapi fondasi ideologis yang melahirkan begitu banyak amal usaha yang kita saksikan hari ini seperti rumah sakit yang dibangun tanpa modal, sekolah swasta yang lahir dari kantong pribadi guru-guru, hingga universitas yang berkembang berkat gotong royong, bukan investasi kapital.
Pertanyaannya kemudian ialah bagaimana menghadirkan kembali keikhlasan sebagai energi gerakan, tanpa menutup mata terhadap realitas hidup kader yang kian kompleks? Bagaimana Muhammadiyah bisa tetap menjadi gerakan moral sekaligus organisasi modern yang memperhatikan kesejahteraan aktivisnya?
Tulisan ini mencoba menjawab kegelisahan tersebut dengan menelusuri akar persoalan, memaknai ulang keikhlasan dalam konteks kekinian, serta merumuskan strategi strategis untuk menyuburkan kembali budaya ikhlas dalam bermuhammadiyah.
Untuk menjawab fenomena kader yang berharap materi, kita perlu memahami bahwa kondisi ini tidak tumbuh dalam ruang hampa. Terdapat beberapa faktor kultural dan struktural yang melatarbelakangi. Pertama, realitas ekonomi yang semakin menekan. Biaya hidup yang meningkat, persaingan kerja yang tinggi, serta tuntutan ekonomi keluarga membuat banyak kader harus penuh perhitungan dalam mengalokasikan waktu. Bagi sebagian orang, mengambil amanah berarti mengurangi jam kerja produktif, sementara kompensasi dari Persyarikatan tidak sebanding. Maka muncullah dilema yaitu idealisme atau keberlanjutan ekonomi?
Kedua, perubahan ekosistem sosial dan budaya digital. Generasi Milenial dan Gen Z hidup dalam budaya yang serba cepat, serba instan, dan serba terukur. Mereka dididik untuk menghitung “nilai” dari setiap aktivitas seperti apa manfaatnya, imbalannya, serta dampaknya bagi diri. Pola pikir ini secara perlahan merembes ke aktivitas sosial-keagamaan.
Ketiga, organisasi yang semakin membesar tetapi budaya kaderisasi tidak selalu seimbang. Muhammadiyah berkembang menjadi organisasi modern dengan multi-level birokrasi. Di satu sisi keberhasilan ini membanggakan, tetapi di sisi lain menciptakan jarak emosional antara kader dan Persyarikatan apabila tidak dikelola dengan baik. Terdapat kader muda yang merasa tidak cukup dihargai, tidak mendapatkan ruang peran, atau tidak merasakan relevansi pengabdian di ranah yang mereka jalani.
Keempat, persepsi keliru tentang hubungan antar dakwah dan insentif. Di beberapa ranah masyarakat, aktivitas organisasi sering dihubungkan dengan kompensasi bahkan dianggap sebagai ladang karier. Ketika persepsi seperti ini masuk ke dalam sebagian pikiran kader, maka pengabdian didekati dengan kacamata transaksional, bukan spiritual.
Fenomena ini menunjukkan bahwa pergeseran nilai bukan hanya disebabkan oleh lemahnya keikhlasan individu, tetapi juga karena adanya perubahan zaman yang perlu direspons Persyarikatan secara lebih sistematis dan empatik.
Keikhlasan dalam Muhammadiyah bukan sekadar ajaran abstrak. Ia adalah energi yang membangun fondasi Persyarikatan ini. Cukuplah kita mengingat kisah Kiai Ahmad Dahlan yang menjual perabot rumahnya demi mendirikan madrasah dan panti asuhan. Para aktivis awal bahkan kerap mengajar tanpa gaji, mengumpulkan dana dari kantong pribadi, dan bergotong royong mengelola sekolah serta rumah sakit.
Namun generasi saat ini menghadapi persoalan yang berbeda dengan era pendiri. Maka, memaksakan model pengabdian lama tanpa mempertimbangkan konteks baru tidaklah bijak. Keikhlasan perlu dimaknai ulang sebagai beberapa hal berikut.
Pertama, Keikhlasan yang realistis, bukan mengabaikan kebutuhan hidup. Ikhlas bukan berarti membiarkan kader hidup dalam kesulitan. Muhammadiyah harus memastikan aktivis kunci memiliki dukungan struktural yang memadai agar mereka dapat mengabdi dengan tenang dan bermartabat.
Kedua, Keikhlasan yang berbasis spirit, bukan ketiadaan insentif. Keikhlasan bukan lawan dari profesionalisme. Banyak amal usaha telah menerapkan manajemen modern, dan kompensasi bagi pekerja tetap harus wajar. Keikhlasan adalah orientasi hati, bukan absennya penghargaan material.
Ketiga, keikhlasan sebagai panggilan peradaban. Bermuhammadiyah bukan sekadar menjalankan program, tetapi membangun peradaban rahmatan lil alamin. Pengabdian di sini bernilai ibadah dan perjuangan kolektif yang berdampak luas.
Keempat, keikhlasan sebagai komitmen yang tumbuh dari keteladanan. Nilai ini lebih mudah tumbuh ketika kader melihat pimpinan dan sesepuh yang beramal tanpa pamrih. Keteladanan jauh lebih kuat daripada ceramah. Dengan perspektif ini, keikhlasan bukan lagi romantisme masa lalu, melainkan prinsip modern yang memadukan tanggung jawab moral dengan tata kelola organisasi yang sehat.
Keikhlasan tidak dapat sekadar diimbau; ia harus ditumbuhkan melalui sistem yang mendukung. Terdapat beberapa strategi yang dapat ditempuh Persyarikatan. Pertama, membangun etos kaderisasi yang memanusiakan.
Kader yang merasa dihargai akan berkontribusi lebih ikhlas. Maka Muhammadiyah perlu memperkuat pendampingan berkelanjutan bagi kader muda, ruang partisipasi yang lebih luas dan inklusif, program kaderisasi dengan pendekatan humanis, dan pemberdayaan kapasitas profesional kader. Kader muda tidak cukup hanya diberi amanah, tetapi juga perlu dipandu, dihargai, dan diberi ruang untuk tumbuh.
Kedua, menata sistem penghargaan tanpa mengubah spirit keikhlasan. Penghargaan bukan berarti transaksional. Organisasi modern harus memberikan kompensasi wajar untuk amanah struktural yang membutuhkan waktu intens, insentif non-material seperti pelatihan, peluang akademik, akses jejaring, atau seminar, dan penghargaan moral seperti apresiasi terbuka, testimoni, dan peneguhan peran. Dengan demikian, kader merasa diakui tanpa menjadikan pengabdian sebagai ladang mencari materi.
Ketiga, menghadirkan keteladanan sebagai pilar utama. Sejarah Muhammadiyah mengajarkan bahwa gerakan ini tumbuh karena keteladanan para pimpinannya. Maka pimpinan harus menunjukkan kesungguhan bekerja, menghindari kesan menikmati fasilitas, menampilkan gaya hidup yang sederhana, dan mengedepankan pengabdian daripada kepentingan pribadi. Jika keteladanan kuat, nilai keikhlasan akan mengalir secara alami ke bawah.
Strategi keempat ialah dengan melakukan digitalisasi dakwah dan pengabdian. Generasi baru hidup di ruang digital. Maka Persyarikatan perlu memodernisasi cara kader berkontribusi, membuka kanal dakwah berbasis media sosial, memberikan pelatihan digital kreatif, dan menciptakan ekosistem yang memudahkan kader mengabdi dari mana saja. Dengan akses yang lebih mudah, partisipasi kader pun meningkat.
Strategi berikutnya ialah dengan membangun sistem pendukung ekonomi bagi aktivis. Untuk menekan kekhawatiran bahwa mengurus Muhammadiyah berarti mengorbankan ekonomi keluarga, dibutuhkan solusi konkret seperti pengembangan program pembinaan profesi bagi kader, kolaborasi dengan amal usaha untuk menyediakan beasiswa, magang, dan pekerjaan, pemanfaatan wakaf produktif untuk mendukung aktivis inti, dan penyediaan skema bantuan darurat bagi kader yang mengalami kesulitan. Keikhlasan akan lebih mudah tumbuh ketika kebutuhan dasar aktivis tidak terabaikan.
Strategi keenam ialah dengan menguatkan budaya musyawarah dan transparansi. Salah satu sumber kekecewaan kader adalah rasa tidak dilibatkan atau tidak mengetahui arah kebijakan organisasi. Karena itu proses musyawarah harus terbuka, keputusan organisasi harus komunikatif, tata kelola keuangan harus transparan, dan evaluasi kinerja harus terukur. Dengan demikian, kader merasa bahwa kontribusi mereka bermakna dan tidak sia-sia.
Strategi terakhir ialah dengan menanamkan narasi besar pengabdian Muhammadiyah. Gerakan tanpa narasi besar akan kehilangan daya tarik. Muhammadiyah perlu menegaskan kembali bahwa Muhammadiyah adalah gerakan peradaban, sehingga kontribusi kecil sekalipun berdampak luas dan menjadi kader Muhammadiyah berarti menjadi bagian dari perjuangan nasional dan global. Narasi ini perlu dikemas ulang secara inspiratif, menggunakan bahasa yang relevan dengan generasi kini.
Fakta bahwa sebagian kader berharap materi tidak boleh dipandang sebagai degradasi moral semata. Kondisi ini justru cermin bagi Persyarikatan untuk memperbaiki sistem, membangun empati, dan menata ulang budaya internal. Kita harus berani mengakui bahwa organisasi sebesar Muhammadiyah membutuhkan tata kelola modern tanpa menghilangkan spirit moralitas.
Keikhlasan bukan berarti menolak modernisasi. Sebaliknya, modernisasi harus menjadi alat untuk memperkuat keikhlasan. Ketika organisasi dikelola dengan baik, penghargaan diberikan secara adil, kader diberdayakan secara profesional, dan pimpinan menampilkan keteladanan, maka nilai ikhlas akan tumbuh dengan sendirinya.
Pada akhirnya, bermuhammadiyah adalah ibadah sosial yang panjang. Bermuhammadiyah adalah jalan pengabdian yang tidak selalu mudah, tidak selalu cepat memberikan hasil, tetapi penuh makna. Keikhlasan menjadi pelita yang menuntun langkah para kader sejak era Kiai Dahlan hingga kini.
Di tengah dunia yang semakin individualistik, menghidupkan keikhlasan bukan hanya kebutuhan internal Muhammadiyah, tetapi kontribusi bagi peradaban. Sebab gerakan yang berdiri di atas keikhlasan akan melahirkan amal usaha yang kokoh, dakwah yang mencerahkan, dan kader-kader yang bekerja tanpa pamrih karena yakin bahwa setiap amal akan berbalas, baik di dunia maupun di akhirat.
Muhammadiyah telah membuktikan selama lebih dari satu abad bahwa keikhlasan dapat menggerakkan perubahan besar. Maka tugas kita bersama kini adalah menjaga bara itu tetap menyala yaitu di hati, di organisasi, dan di masa depan gerakan.


