"Moralitas Terjun Bebas", Refleksi Akhir Tahun Bangsa Beragama

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
391
Dok Istimewa

Dok Istimewa

"Moralitas Terjun Bebas", Refleksi Akhir Tahun Bangsa Beragama

Oleh: Dani Yanuar Eka Putra

Penulis merasa kesulitan untuk memaparkan satu demi satu tentang perilaku menjauh dari moral (tuna moral) anak-anak bangsa. Mungkin dibutuhkan berjilid-jilid karya dan tak mungkin diuraikan hanya dalam bentuk resonansi, refleksi, atau opini yang sangat terbatas ini. Namun penulis mencoba untuk menuangkan berbagai kegundahan subyektifnya sejak dilahirkan lebih dari 39 tahun lalu di salah satu wilayah negara yang kedua ujung teritorialnya Sabang dan Merauke. 

Perilaku tak pantas membanjiri layaknya hujan deras yang turun akibat perubahan iklim yang melebihi intensitas dari biasanya. Arusnya melampaui tsunami Aceh yang menewaskan ratusan ribu orang yang terjadi lebih dari 20 tahun silam. Reruntuhannya melebihi longsor akibat banjir bandang yang terjadi di Sukabumi beberapa waktu lalu. Guncangannya melampui 9 magnitudo sebagaimana prediksi BMKG di wilayah ring of fire. Lelah jika harus menelusurinya, jenuh menyebutkannya, muak untuk membayangkannya, dan marah jika mendengarnya. Kalaulah tak ada iman dan agama melarang putus asa, mungkin penulis akan memilih tak lagi percaya bahwa akan ada orang-orang yang gigih membudayakan moral pada negeri ini.

Dari tuna moral individu hingga komunal. Mulai perilaku yang tak pantas hingga melanggar hukum. Bahkan saking terbiasanya, yang bermoral terasa begitu asing dari kebanyakan. Namun ada yang sungguh membuat lebih miris lagi, di negeri ini hukum dibuat untuk melindungi perilaku keburukan. Sehingga dengan mudahnya kita mengidentifikasi bahwa ada hukum yang lahir untuk melindungi pelaku eksploitasi, korupsi, kolusi, dan nepotisme. Penulis menyebutnya dengan tuna moral yang konstitusional.

"Sudahlah, tak perlu kaku-kaku dalam hidup, nanti akan sulit dalam bergerak", "Ya habis mau gimana lagi, kalau gak melakukan hal tersebut mana mungkin bisa lancar segala urusan?", "Ya memang seperti itu dari dulu, kalau gak gitu ya akan banyak dimusuhi". Demikianlah beberapa ungkapan sebagian orang di negeri ini. Entahlah, apakah ini ungkapan keputusasaan, ekspresi kebiasaan dalam bentuk kebudayaan, atau perilaku nir moral ini memang terbiasa dilakukan dan sulit rasanya menelusuri dari mana ujung pangkalnya. 

Negeri Beragama

Agama secara etimologis berasal dari bahasa sanskerta yang terdiri dari kata "a" bermakna tidak dan "gama" bermakna kacau. Sedangkan secara termonologis, agama adalah sistem kepercayaan kepada Tuhan yang dituangkan dalam bentuk praktik peribadatan tertentu. Berdasarkan kedua definisi tersebut, agama mengantarkan manusia agar hidupnya tenang, tidak kacau dan memiliki keyakinan tentang Dzat yang luar biasa di tengah kehidupan manusia yang penuh keterbatasan.

Hindia Belanda atau bahkan sebelum Majapahit dan Sriwijaya masyarakatnya telah beragama. Agama yang lahir berdasarkan sistem kepercayaan yang sudah terbangun sejak lampau. Inilah karakteristik masyarakat Indonesia. Sejak lampau telah memiliki sistem kepercayaan. Sehingga dengan keadaan ini, agama yang berasal dari wilayah lain begitu mudah masuk tanpa melalui berbagai pertentangan. Termasuk kehadiran Islam yang hadir dengan jalan damai tanpa peperangan.

Dalam konteks Islam, inilah fitrah manusia sejak pertama kali diciptakan. Sebelum dipertemukan dengan jasadnya, semua ruh telah membawa bekal dasar  sekaligus sebagai potensi mengakui adanya Yang Maha Kuasa (Allah Swt) (QS: Al-A'raf (7): 176). Fitrah ini disebut sebagai fitrah yang telah diterima oleh manusia sejak awal penciptaannya (fitrah maqbulah). Potensi keluhuran ini hakikatnya menjadikan manusia sebagai makhluk yang paling mulia dengan akal melahirkan budi yang luhur. Fitrah yang mendominasi jasadnya akan mencerminkan tabiat kebaikan yang bersifat universal.

Demikianlah negeri ini, potensi dasarnya adalah mengakui adanya Tuhan berimplikasi pada keberagamaan. Pemahaman paripurna atas keadaan ini dipahami betul oleh para Founding Parents negeri. Sehingga keadaan sosiologis berbasis teologis negeri dijadikan sebagai nilai-nilai dasar atau falsafah negara yang tercermin pada sila yang pertama Pancasila dan pasal 29 UUD 1945, hingga turunan pada peraturan, perundangan, dan lembaga-lembaganya. Bahkan jika dengan jujur dan terbuka hati serta fikiran, kita akan menemukan nilai-nilai budaya bangsa yang sangat luhur dengan kemuliaannya.

Moralitas Agama

Agama lahir turun dari langit. Keyakinan terhadapnya menjadi mutlak bagi para manusia yang menyadari akan keterbatasannya. Mereka yang tak yakin akan keterbatasannya adalah keangkuhan yang berbahaya bagi kehidupan. Tidak pernah terbayangkan jika seandainya Tuhan tak pernah menghadirkan panduan bagi kehidupan. Adanya saja masih begitu banyak kekacauan, apalagi tanpanya. Betapa kacaunya kehidupan tanpa aturan dari yang Maha Penyebab dan Mengatahui yang terbaik bagi yang dicipta.

Manusia disebut makhluk sempurna karena memiliki jasad, akal, dan ruh. Mengapa paling sempurna, karena makhluk lain ada yang memiliki jasad tanpa akal, ruh tanpa jasad dan akal, hingga makhluk-makhluk lain yang memang tak sesempurna manusia. Namun perlu dipahami, kalaulah manusia menggantungkan hanya pada akalnya maka betapa relatifnya. Kerelatifannya mengalami perubahan dalam setiap perkembangan kehidupan. Perubahannya diakibatkan pengetahuan yang terus-menerus namun tetap membutuhkan konfirmasi tentang kebenarannya melalui berbagaimacam interaksi. Tapi jika akal digunakan untuk mengenal dan mendalami segala macam yang ada di alam semesta berbasis pada kesuciannya, maka akan sampai pada kesempurnaan akal dengan kesadaran akan keterbatasannya berujung pada mengenal-Nya. 

Moral Skriptual (Kitab Suci) diperlukan karena begitu seringnya manusia menyimpang dari fitrahnya. Akal suci jika tak benar-benar dijaga dengannya, maka akan terbawa arus nafsu dalam diri yang seringkali tak terkendali. Apalagi jika sudah berkongsi dengan Iblis dan Syaitan dari luar diri, jatuhlah ia lebih rendah dari binatang ternak. Kitab suci (Al-Qur'an) memang seringkali bersifat mujmal (umum). Keumumannya membutuhkan rincian. Rincian yang paling otoritatif adalah apa yang dilekatkan kepada Nabi Saw. Baik perkataannya, perbuatannya, hingga ketetapannya. Al-Qur'an dan rinciannya sangatlah dibutuhkan oleh manusia.  

Manusia dengan segala keterbatasannya membutuhkan panduan untuk mampu mengendalikan potensi buruknya dan menuntun dirinya pada kebenaran sejati. Tuhan dengan segala kebijaksanaannya telah menurunkan agama yang dibawa oleh para Rasul (Nabi Muhammad Saw sebagai nabi terakhir) dengan membawa kitab suci yang berisikan buku manual operasional manusia dalam menjalani kehidupan (QS. al-Hijr (15): 9).

Jika dikaitkan dengan moral, Islam sebenarnya sudah lebih dari cukup memberikan panduan. Istilah paling mudah dalam Islam tentang moral adalah Ihsan. Kata Ihsan berasal dari kata ahsana-yuhsinu dengan makna "berbuat baik, melakukan dengan baik, melampaui atau mengetahui dengan baik." Jika dikaitkan dengan hadist Jibril, nampaknya kata Ihsan adalah kata yang di dalamnya terdapat sifat dan sikap yang terbaik karena terus merasa dibersamai dengan Allah Swt. 

Ihsan adalah bagian dari trilogi ajaran Islam selain Iman dan Islam. Para ulama memadankan Ihsan dengan kata Akhlak sebagai buah dari keyakinan kokoh (Iman) dan Penghambaan (Islam). Seorang bertabiat Ihsan (muhsin), dalam hal kebajikan, terbiasa melakukan lebih dari apa yang semestinya. Misalnya kewajiban sholat, muhsin tidak sekedar bersungguh-sungguh menjaga sholat lima waktu, namu muhsin akan menambah dengan tathawu' (sunnah-sunnah) untuk menutupi kekurangan dari yang wajib. Jika hartanya telah mencapai nisab, maka muhsin akan meningkatkan standarnya lebih dari ketentuan. Jika di sakunya terdapat dua lembar uang dengan nilai sama, namun berbeda keadaan (baru dan terlipat), muhsin akan memberikan kepada yang membutuhkan uang dengan lembar yang lebih baik meskipun keduanya bernilai sama. Itulah kebajikan menurut muhsin.

Dalam hal kepatuhan terhadapa hukum, standar seorang muhsin berbasis pada nilai kepantasan. Muhsin akan menaikkan standar lebih dari sekedar taat. Namun pribadi muhsin akan berusaha meninggalkan yang tak patut/ pantas. Jadi bagi muhsin jangankan melanggar hukum, ya tak pantas saja ditinggalkan olehnya. Pribadi muhsin inilah yang sebagai pribadi bermoral luhur nan melangit. Moralitasnya lahir hasil dari proses pengenalan dirinya mengenal kepada yang Menciptakannya, penghambaan yang merendah sekaligus merunduk kepada-Nya, serta kekuatan akal yang terus dilatih sekaligus disucikan olehnya. Inilah yang darurat dibutuhkan oleh kita semua untuk menjawab berbagai persoalan tuna moral bangsa.

Pada ujung tahun 2024, penulis mengajak diri pribadi dan para pembaca sekalian untuk bersama-sama bercermin tentang tabiat kita yang berakibat pada keadaan melelahkan yang seolah tak berujung. Mari bersama untuk menaikan standar lebih dari sekedar baik dan taat pada kewajiban. Jikalau mayoritas dari kita telah terbiasa untuk melakukan kebaikan lebih dari semestinya, yang tak pantas ditinggalkan, kalaulah terjatuh, maka tentau terjatuhnya pada kebaikan pula meskipun yang minimal. Mari bersama bercita-cita menjadi muhsin agar setiap kita memiliki moral yang kuat dengan harapan menjadi budaya untuk masa depan hidup kita yang lebih maju sekaligus beradab.

Wallahu a’lam


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Menyelamatkan Homo Digitalis dari Kehidupan Inersia Oleh: Agusliadi Massere Era digital hari ini a....

Suara Muhammadiyah

12 November 2023

Wawasan

Meneladani Empat Sifat Utama Dr. Masud HMN, Dosen Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA)....

Suara Muhammadiyah

29 May 2024

Wawasan

Memakmurkan Masjid:  Karakter Terpuji Karyawan AUM Oleh: Amrozi Mufida Menurut Bahasa (Etimol....

Suara Muhammadiyah

7 September 2023

Wawasan

Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (27) Oleh: Mohammad Fakhrudin (warga Muhammadiyah tinggal di M....

Suara Muhammadiyah

8 March 2024

Wawasan

Manajemen Perubahan Bagi Mudir Untuk Pesantren Muhammadiyah Berkemajuan Oleh: Ahmad Alkhawarizmi, S....

Suara Muhammadiyah

16 May 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah