Menyelamatkan Homo Digitalis dari Kehidupan Inersia
Oleh: Agusliadi Massere
Era digital hari ini adalah suatu keniscayaan, tidak bisa lagi dihindari. Kehidupan inersia pun sebagai hasil transformasi dari kehidupan ekspansif, yang disebabkan oleh perkembangan pesat teknologi digital, termasuk teknologi informasi itu sendiri adalah sesuatu yang sangat sulit dihindari.
Menyelamatkan diri dari kehidupan inersia dengan cara menghindari atau lari darinya dengan menolak teknologi informasi maupun teknologi digital, bukanlah solusi. Dan memang sulit dilakukan, saya pun tidak merekomendasikan. Namun, bukan berarti bahwa kita akan membiarkan diri untuk terjerumus dalam lembah keburukannya. Masih ada solusi, termasuk untuk menyelamatkan homo digitalis agar tetap bisa menjadi homo sapiens. Manusia-manusia yang malas lagi berpikir, hanya mau instan dengan melakukan browsing, masih ada peluang untuk menyelamatkannya.
Kehidupan hari ini, banyak hal paradoks yang bisa ditemukan bahkan sering dirasakan. Sebagaimana salah satu ciri kehidupan inersia, di mana manusia dikitari atau dikelilingi miliaran informasi, justru kehilangan titik referensi. Tulisan saya sebelumnya, yang berjudul “Homo Digitalis Kehilangan Titik Referensi”, mengulas dan menegaskan terjadinya transformasi dari homo sapiens ke homo digitalis, dan salah satu cirinya model manusia yang disebutkan terakhir ini adalah kehilangan “titik referensi”.
Menyelamatkan mereka, para homo digitalis yang sudah kehilangan karakter homo sapiens-nya, pada dasarnya jika harus menyebut satu kata solusi, jawabannya adalah “literasi”, dan dalam konteks agama Islam adalah “iqra”. Literasi, dan enam literasi dasar yang di dalamnya termasuk literasi digital adalah suatu keniscayaan yang harus dipahami dan diimplementasikan dalam kehidupan hari ini.
Namun, sebelumnya yang harus dipahami dan disadari untuk menyelematikan homo digitalis, memberikan pemahaman dan menumbuhkan kesadaran kemanusiaannya. Salah satunya, bahwa potensi special yang diberikan kepada manusia oleh Allah, yang tidak diberikan kepada makhluk lainnya adalah kemampuan berpikir. Manusia harus senantiasa mengedepankan potensi pikirannya karena itu adalah salah satu hakikat dirinya.
Kapan manusia tidak berpikir, maka mustahil terjadi kemajuan dan pencapaian hidup dan kehidupan yang dirasakan hari ini. Kapan manusia berhenti berpikir maka bisa dipastikan, sulit lagi mencapai dan mengalami perubahan dan kemajuan-kemajuan berikutnya pada masa yang akan datang. Meskipun, teknologi seperti artificial intelligence (kecerdasan buatan) memiliki kedahsyatan dan kecanggihan yang luar biasa dalam mengproses suatu data, tetapi yang menggerakkan dan yang menentukan capaian atau tujuan dari proses itu, berada dalam kendali manusia. Hanya manusia yang memiliki harapan, teknologi semata-mata hanya mempermudah pencapaian harapan manusia yang mengendalikannya.
Manusia dalam kehidupan duniawi ini, bukan sekadar ada dan berada (being), tetapi esensi dan eksistensi kehadirannya mengada dan menjadi (becoming). Jadi manusia harus mampu memaknai keberadaannya di muka bumi ini, sekaligus memberikan makna dalam kehidupan. Dan memang, sebagaimana yang dikatakan oleh sahabat senior saya, Asratillah, hidup manusia bukan hanya dalam konteks vegetative (nutritive, reproduksi, dan tumbuh), dan konteks animalia (instingtif, sensasional, dan mobile) semata, tetapi menjadi makhluk yang memiliki kesadaran. Kesadaran sebagai hasil dari pikiran mendalam, dan dengan kesadarannya akan mampu memaknai dan memberikan makna.
Manusia pun harus menyadari dirinya, bahwa selain sebagai makhluk biologis, dirinya adalah makhluk psikologis dan spiritual. Termasuk, selain sebagai makhluk individual dirinya pun adalah makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia memang diberikan kebebasan memilih, tetapi konsekuensi atas pilihan-pilihannya itu, mereka tidak bisa bebas menentukannya. Atas kesadaran ini, maka manusia idealnya tidak boleh sepenuhnya atau semata-mata menjadi homo digitalis, yang hanya mengandalkan “I browse” dan mengabaikan “I think”.
Pikiran-pikiran positif, produktif, konstruktif, kontributif, berkemajuan, dan berkelanjutan, akan senantiasa dibutuhkan oleh zaman, apa bentuk dan nama zamannya. Apatah lagi, selain dengan kesadaran dan potensi-potensi yang disebutkan di atas, pikiran-pikirannyalah yang akan mampu menjadikan dirinya sebagai pelaksana mandat kosmis yang diberikan Allah terhadapnya. Sebagai khalifah atau wakil Allah di muka bumi ini.
Dalam upaya menyelamatkan homo digitalis, yang harus dipahami dan disadari pula adalah tiga misi mulia, sebagaimana yang pernah saya pahami dari Quraish Shihab. Satu di antaranya telah saya sebutkan—baru saja—di atas. Apa itu tiga misi mulia manusia dalam perspektif Quraish Shihab: beribadah, khalifah, dan berdakwah.
Kesadaran akan misi pertama manusia, beribadah, bukan hanya dalam bentuk kesadaran berupa ketekunan menjalan ibadah vertikal kepada Allah, seperti shalat. Kata kunci yang harus dipahami—dan sepertinya jarang disampaikan sebagai bentuk pemaknaan dari “beribadah”—adalah menjadikan rido Allah sebagai bingkai, landasan, dan barometer dalam bersikap dan bertindak.
Ketika homo digitalis, memiliki potensi menjadi brutalis sebagaimana dijelaskan oleh F. Budi Hardiman dalam buku karya bestseller-nya, “Aku Klik maka Aku Ada: Manusia dalam Revolusi Digital”. Begitu pun sebagaimana diulas dengan baik dalam buku Muslim Milenial, yang saya maknai bahwa homo digitalis adalah salah satu pemicu lahirnya hoax, post truth, dan beberapa kondisi chaos lainnya yang berawal dari media sosial, bisa teratasi dengan terlebih dahulu bertanya “Apakah semua sikap dan perbuatan saya tersebut di ridoi Allah atau tidak”.
Mengawali sikap dan perbuatan atau perilaku dengan pertanyaan, apakah Allah rido atau tidak, adalah cara terbaik untuk menghindari terjadi perbuatan negatif dan destruktif dalam kehidupan. Inilah penegasan pentingnya memahami misi mulia pertama manusia. Selanjutnya, terkait misi mulia kedua manusia, adalah tentang fungsi kekhalifaannya. Sebagai wakil Allah di muka bumi, yang akan menjaga dan merawati bumi dengan segala isinya.
Misi mulia ketiga manusia yang tidak kalah pentingnya, dan ini pun bisa menjadi solusi untuk menyelamatkan homo digitalis adalah “berdakwah”. Berdakwah tentunya tidak dimaknai secara sempit dengan hanya menyampaikan informasi dan/atau ajaran kebenaran dan kebaikan di atas mimbar masjid. Namun, hamparan luas bumi ini adalah ruang untuk berdakwah. Namun, fungsi dakwah akan semakin efektif dan efesien, selain dengan banyak belajar, banyak berpikir positif, produktif, dan konstruktif, adalah dengan memilih media yang tepat berdasarkan sasaran yang akan dituju dari pesan dakwah yang dilakukan .
Dalam konteks kehidupan era digital hari ini, model atau metode dakwah pun harus mengalami proses transformasi, tidak lagi hanya dilakukan secara konvensional, tetapi bisa menggunakan cara-cara baru, menggunakan media baru yang relevan dengan zamannya. Maka, dakwah digital adalah solusi untuk memenuhi harapan tersebut.
Namun, sebelum memaksimalkan dakwah digital, yang pertama yang harus diperbaiki pula, adalah masih adanya pandangan yang seakan-akan menilai teknologi itu produk kafir, tidak ada pada zaman nabi. Saya pernah berdebat terhadap orang-orang yang masih memiliki pandangan yang senada. Pemanfaat teknologi digital secara maksimal, bisa menjadi media dakwah yang memiliki daya jangkau yang sangat luas, bahkan mampu menembus kaum rebahan sekalipun.
Apatah lagi, jika kita menyadari, sebagaimana yang menjadi akumulasi lahirnya homo digitalis, bahwa hari ini, sebagian besar manusia lebih banyak menghabiskan waktunya di dunia virtual. Dan di dalamnya seringkali hal faktual yang berbasis ilmu pengetahuan kalah oleh luapan dan hamburan opini yang semata-mata berbasis emosi.
Atas dasar pemahaman dan kesadaran ini pula, sehingga selain memaksimalkan teknologi digital sebagai media dakwah digital, isi pesan, yang harus disampaikan kepada para sahabat virtual, bukan hanya semata-mata terkait persoalan surga-neraka, dan/atau persoalan fikih semata, perlu pun menyentuh dimensi kehidupan sosial, psikologi, dan politik netizen. Tanpa kecuali, terkait bagaimana kita memiliki kecerdasan dalam bermedia-sosial. Saring sebelum sharing.
Saya pribadi, tanpa bermaksud melebih-lebihkan dan semoga tidak terjerumus dalam lembah “riya”, yang menjadi penyemangat utama untuk terus menulis di media online untuk dibagikan ke media sosial, termasuk memproduksi video-video inspiratif, adalah sebagai jihad dengan pena, dan sekaligus sebagai dakwah digital. Saya sangat menyadari bahwa kehidupan hari ini, dibutuhkan optimalisasi dakwah digital untuk menyelamatkan para homo digitalis yang lebih cenderung “I browse” ketimbang “I think”.
Agusliadi Massere, Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PD. Muhammadiyah Bantaeng