SEMARANG, Suara Muhammadiyah - Di balik gurita amal usaha yang luas—mulai dari sekolah modern hingga rumah sakit—terdapat sebuah prinsip yang tak tergoyahkan, sebuah janji yang melampaui masa jabatan seorang pemimpin. Prinsip itu adalah jaminan bahwa kekayaan yang diserahkan umat, yakni wakaf, akan tetap abadi dan murni.
Dr. Fachrur Rozi, M. Ag., Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Semarang, mengungkap inti dari prinsip ini dengan lugas: "Pimpinan boleh berganti, Muhammadiyah kan terus jalan."
Kalimat tersebut bukan sekadar semboyan, melainkan aturan hukum yang menopang kepercayaan tinggi masyarakat terhadap Muhammadiyah sebagai lembaga pengelola wakaf yang paling terpercaya. Kepercayaan ini berakar dari keyakinan banyak tokoh bahwa wakaf yang mereka serahkan akan dirawat dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Namun, amanah ini tak lepas dari tantangan fundamental, utamanya dalam menjaga integritas aset itu sendiri.
“Seluruh aset wakaf kita atas nama Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Tidak atas nama perseorangan atau pribadi pimpinan,” tegas Yai Rozi, nama akrab sang akademisi dan dosen UIN Walisongo Semarang itu, saat ditemui di rumahnya beberapa waktu lalu.
Prinsip yang terasa kaku ini adalah inti dari akuntabilitas. Ia menjamin bahwa kekayaan persyarikatan bahkan sertifikat tanah yang dibeli oleh PDM di tingkat kota harus terdaftar atas nama pimpinan pusat, sehingga tidak akan pernah menjadi milik pribadi.
Saat matahari mulai menghangatkan teras rumahnya, menembus rimbunnya pohon mangga dan kelengkeng di kawasan Semarang Barat, Yai Rozi beralih membahas strategi teknis. Fokusnya: bagaimana mengurai kerumitan status wakaf yang diserahkan tanpa proses hukum tuntas, dan bagaimana memastikan pemanfaatannya tidak terbebani oleh syarat-syarat yang mengekang.
“Pimpinan boleh berganti, Muhammadiyah kan terus jalan”. Kalimat ini diulang Yai Rozi, menekankan filosofi di balik manajemen aset. Ia menjelaskan, untuk melaksanakan akad penyerahan atau pembelian tanah, pimpinan daerah sekalipun harus mendapatkan surat mandat dari Pimpinan Pusat.
Langkah ini adalah upaya keras agar aset selalu terjaga dengan baik dan kepercayaan masyarakat tetap terpelihara. Pada akhirnya, aset-aset itu adalah kekayaan persyarikatan, bukan menjadi milik pribadi pimpinan. Manfaatnya pun harus kembali sebesar-besarnya untuk masyarakat, baik melalui sekolah, masjid, rumah sakit, maupun unit usaha lain.
Satuan Tugas Wakaf: Merapikan Amanah yang Terserak
Muhammadiyah menyadari bahwa mengelola wakaf tak semulus janji di atas kertas. Di lapangan, kerumitan hukum sering muncul. Ada kasus di mana aset diserahkan secara lisan, atau yang ia sebut dengan istilah: “Monggo saya serahkan sertifikatnya, prosesnya monggo terserah, pokoknya saya serahkan sepenuhnya”. Prosesnya menjadi terkatung-katung karena tidak disertai kejelasan ahli waris atau status hukum yang pasti.
Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan sinergi antarlembaga internal. Yai Rozi mengusulkan pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Wakaf. Tim ini akan bekerja sama dengan Majelis Hukum dan HAM serta Lembaga Pembinaan Hukum (LBH) Muhammadiyah.
Tugas utama Satgas adalah melakukan identifikasi dan kategorisasi menyeluruh terhadap aset-aset. Mereka harus memilah mana yang sudah bersertifikat atas nama persyarikatan, mana yang prosesnya belum tuntas, dan mana yang perlu diupayakan kejelasan ahli warisnya. Ini adalah kerja sunyi dan mendetail untuk memastikan status kepemilikan menjadi pasti.
Fleksibilitas Pemanfaatan: Prioritas Kebutuhan Umat
Aspek krusial dalam optimalisasi wakaf adalah bagaimana aset tersebut diberdayakan. Muhammadiyah kini menyarankan agar para pemberi wakaf (muwakif) tidak terlalu membebani dengan syarat peruntukan yang kaku.
“Kadang kan ada wakaf syarat, ‘Tolong harus dibikinkan ini’, itu akan menambah beban,” jelas Yai Rozi.
Organisasi kini lebih memilih diserahkan pengelolaannya secara fleksibel, sehingga peruntukan bisa disesuaikan dengan potensi dan kebutuhan masyarakat di sekitar lokasi.
Setiap aset, dari lokasi hingga luasannya, harus melalui perhitungan yang cermat. Tidak mungkin membangun masjid jika tanah itu berada di tengah lingkungan yang tak berwarga, misalnya.
Pemanfaatan wakaf pun meluas. Beberapa aset diubah menjadi unit usaha yang memberdayakan, seperti yang dilakukan pada bekas TK Aisyiyah di pinggir jalan raya yang kini menjadi pusat usaha. Usaha ini didesain untuk memberdayakan warga Muhammadiyah, baik sebagai penjual UMKM maupun sebagai pembeli.
Selain itu, wakaf juga diarahkan untuk menyentuh sektor yang kurang terperhatikan, seperti panti asuhan atau pengembangan wilayah untuk Sekolah Luar Biasa (SLB) bagi kebutuhan khusus. Pemanfaatan aset selalu mempertimbangkan kebutuhan dan potensi, bahkan menggunakan analisis seperti analisis SWOT, demi memaksimalkan manfaat bagi masyarakat banyak.
Di bawah rimbunnya pohon mangga dan kelengkeng, Yai Rozi menegaskan bahwa inti dari optimalisasi wakaf adalah niat yg sama dengan niat para pendiri persyarikatan: menjaga kepercayaan dan mengalirkan kebaikan, agar amal abadi ini terus mengalir, meski pimpinan berganti dan zaman berputar.(Agung S Bakti)


