Nabi Ishak dalam Al-Qur`an dan Alkitab

Publish

21 October 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
5827
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Nabi Ishak dalam Al-Qur`an dan Alkitab

Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Mari kita beralih ke kisah Ishak. Sebelumnya kita telah membahas tentang Ismail, dan menarik sekali bagaimana peran mereka berdua seakan tertukar dalam Perjanjian Lama dan Al-Qur`an. Mengapa hal ini bisa terjadi? Mengapa posisi mereka begitu berbeda, bahkan berlawanan, dalam kedua kitab suci tersebut?

Tentu, ini sebenarnya cukup mudah dipahami. Alkitab ditulis oleh keturunan Ishak, dan seperti kata pepatah, sejarah ditulis oleh mereka yang menang. Maka, wajar jika seluruh narasi keselamatan dalam Alkitab berpusat pada Ishak. Meskipun ia adalah putra kedua Ibrahim, dan biasanya anak sulunglah yang memiliki hak istimewa, Ishak justru digambarkan sebagai tokoh utama, nenek moyang para nabi, dan pewaris perjanjian Allah dengan Ibrahim.

Sementara itu, nasib Ismail dalam Alkitab justru sebaliknya. Ia digambarkan secara kurang positif, seorang pemanah yang akan menjadi seperti keledai liar, tangannya melawan semua orang dan semua orang melawannya. Bahkan, ditegaskan bahwa perjanjian Tuhan tidak akan melalui dia karena ia adalah anak dari seorang budak perempuan. Dalam narasi Alkitab, Ismail hanya mendapat peran minor, muncul sekilas di sana-sini, sementara kisah utama berfokus pada Ishak.

Namun, Al-Qur`an membalikkan keadaan ini, memberikan peran yang berbeda kepada kedua tokoh tersebut. Bukankah dalam Al-Qur`an, Ismail-lah yang menjadi kurban? Ya, ada anggapan seperti itu, tapi perlu saya klarifikasi bahwa Al-Qur`an tidak secara eksplisit menyebutkan siapa putra yang dikorbankan. Kisah pengorbanan itu tidak menyebut nama anak tersebut, bahkan nama Ishak dan Ismail keduanya muncul. Namun, para penafsir Muslim memiliki perbedaan pendapat mengenai hal ini. Beberapa penafsir awal, seperti At-Thabari, cenderung berpendapat bahwa Ishak-lah yang dimaksud, dipengaruhi oleh tradisi Alkitab. 

Di sisi lain, ada juga penafsir Muslim di kemudian hari, seperti Al-Qurthubi, yang berargumen berdasarkan petunjuk dalam Al-Qur`an bahwa putra yang dimaksud adalah Ismail.

Namun, terdapat pula pandangan berbeda dari kalangan ulama Muslim di kemudian hari. Tokoh seperti Imam Al-Qurthubi dari era pertengahan berargumen dengan kuat bahwa putra yang dimaksud dalam kisah pengorbanan adalah Ismail. Argumentasi ini dibangun berdasarkan petunjuk-petunjuk yang ditemukan dalam Al-Qur`an itu sendiri, dengan menganalisis secara cermat bagaimana berbagai peristiwa dan pernyataan disusun dalam teks suci tersebut.

Saya sendiri cenderung setuju dengan pandangan ini. Tampaknya memang ada indikasi kuat dalam Al-Qur`an yang mengarah pada Ismail sebagai putra yang akan dikorbankan. Dengan demikian, Al-Qur`an seolah menyeimbangkan narasi yang timpang dalam kitab-kitab sebelumnya. Jika dalam tradisi Yahudi-Kristen, Ishak mendapatkan peran yang lebih menonjol, maka Al-Qur`an mengangkat posisi Ismail. Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa penekanan pada peran Ismail lebih banyak ditemukan dalam tradisi Islam secara keseluruhan, bukan hanya dari penyebutan namanya dalam Al-Qur`an itu sendiri. Pada dasarnya, Al-Qur`an tetap menyebutkan kedua putra Nabi Ibrahim tersebut.

Lalu, bagaimana dengan Ishak? Apakah Al-Qur`an juga memberikan penghargaan khusus kepadanya? Tentu saja. Al-Qur`an menggambarkan Ishak sebagai anak yang lahir sebagai jawaban atas doa yang penuh harap. Kabar gembira tentang kelahirannya disampaikan kepada Sarah, yang awalnya tertawa karena merasa mustahil di usia senjanya, begitu pula suaminya, Ibrahim, yang juga telah lanjut usia. Namun, ia diyakinkan bahwa ini adalah kuasa Tuhan, dan Tuhan akan mewujudkannya. 

Dengan demikian, kelahiran Ishak dikisahkan sebagai sebuah keajaiban dalam Al-Qur`an. Ia juga termasuk dalam jajaran para nabi dan orang-orang saleh yang disebutkan dalam kitab suci tersebut. 


Komentar

Jamaludin Kamal

Pernyataan bahwa Alkitab “menulis ulang sejarah karena yang menang” sehingga meminggirkan Ismael dan bahwa Al-Qur’an sekadar “menyeimbangkan” narasi—itu retorika mudah, tapi rapuh kalau diuji teks dan sejarah. 1. Alkitab tidak menghapus Ismael; ia diberkati dan dipertahankan sebagai nenek-moyang bangsa besar. Tuhan berfirman: “Aku telah mendengar engkau… Aku akan memberkati dia, dan membuat dia berbuah serta memperbanyaknya” (Kej.17:20; 21:13). Ini bukan pengabaian—melainkan penempatan teologis: Ishak dipilih sebagai saluran perjanjian kekal (covenant), bukan karena pengarang menang, melainkan karena fokus naratif Israel pada janji yang secara konsisten diklaim dan dipahami sebagai dasar identitas mereka. 2. Penjelasan kritis modern menunjukkan teks Kejadian tersusun dari sumber berlapis (J, E, P, dsb.); variasi sikap terhadap Ishmael/Ishak adalah hasil tradisi yang beragam, bukan sekadar manipulasi partisan sederhana. Studi sumber-kritik menjelaskan mengapa beberapa fragmen lebih menonjolkan Ishmael dan fragmen lain menegaskan Ishak. Klaim “ditulis oleh yang menang” mengabaikan kompleksitas komposisi tekstual ini. 3. Al-Qur’an dan tradisi Islam memang menafsirkan peran Ismail berbeda — terutama soal korban Ibrahim — tetapi perbedaan ini mencerminkan tujuan teologis yang berbeda: Al-Qur’an menegaskan garis kenabian yang berkaitan dengan Arab dan Muhammad; tradisi Muslim (termasuk mufasir klasik) mengembangkan pembacaan yang menempatkan Ismail dalam posisi sentral. Bahwa tafsir awal juga bervariasi (beberapa mufasir dipengaruhi tradisi Kitab Suci sebelumnya) menunjukkan dialog tekstual, bukan bukti bahwa salah satu “memperbaiki” kebohongan pihak lain. 4. Jadi: narasi Alkitab fokus pada Ishak bukan karena “kemenangan” semata, melainkan karena klaim teologis internal tentang saluran perjanjian. Al-Qur’an menyorot Ismail untuk alasan teologis dan identitas yang berbeda. Kedua tradisi menampilkan seleksi dan penekanan—itu sifat teks agama, bukan bukti manipulasi sejarah tunggal. Untuk debat intelektual yang jujur, akui perbedaan tujuan hermeneutik masing-masing teks, baca sumber asli (Kejadian 16–22) dan analisis komparatif akademis—barulah klaim besar seperti “disingkirkan karena pemenang” bisa dibuktikan. Pertanyaan saya, apakah argumenmu menjelaskan mengapa teks-teks itu berbeda tujuan dan tradisi penulisan? Jika tidak, maka retorikamu belum lolos uji historis-teologis.

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Khazanah

Meluruskan Makna Surat Al-Anfal Ayat 35: Batas Antara Ibadah Musyrik dan Ekspresi Muslim Oleh: Donn....

Suara Muhammadiyah

16 July 2025

Khazanah

Di Balik Kontroversi: Mengungkap Konteks Historis Ayat Pembuka Surah At-Taubah Oleh: Donny Syofyan,....

Suara Muhammadiyah

23 July 2025

Khazanah

Madrid: Satu Ibu Kota Eropa Dibangun oleh Muslim Oleh: Prof Syamsul Anwar MA, Ketua PP Muhammadiyah....

Suara Muhammadiyah

10 July 2024

Khazanah

Imam Malik: Pengawal Tradisi Madinah Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas An....

Suara Muhammadiyah

28 June 2024

Khazanah

Masyarakat Global Memerlukan Visi Ulang Kemanusiaan Oleh: Sudibyo Markus Setelah tertunda selama e....

Suara Muhammadiyah

17 May 2024